Jakarta, 14/2 (ANTARA) - Panitia Khusus DPRD Nusa Tenggara Barat mengupayakan rancangan perda pengelolaan tambang minerba yang tengah digodok akan mengatur hal yang lebih spesifik.
"Pengaturan itu untuk memastikan Perda tambang minerba itu tidak tumpang tindih dengan peraturan yang lebih tinggi," kata Ruslan Turmuzi, Ketua Pansus Raperda Pengelolaan Tambang Minerba DPRD NTB, seusai pertemuan konsultasi di Direktorat Jendral Mineral dan Batubara, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta, Selasa.
Pada kegiatan konsultasi itu, Pansus DPRD NTB diterima Deputy Direktur Hubungan Komersial Dirjen Minerba Kementrian ESDM, Muhammad Taswin, yang didampingi Sony Heru Prasetyo dari Bagian Hukum dan Perundang Undangan Dirjen Minerba.
Dalam pertemuan tersebut, Pansus DPRD NTB nenyampaikan sejumlah hal krusial untuk dikonsultasikan, diantaranya kemungkinan perlunya kepala daerah berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPRD, saat hendak menerbitkan izin pertambangan.
Selain itu, diperlukan dukungan dari Kementrian ESDM, untuk memastikan keterlibatan pemerintah daerah dalam hal pengaturan pengelolaan lingkungan perusahaan tambang, dan juga pengelolaan dana tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Ruslan mengatakan, Pansus DPRD NTB itu membutuhkan referensi tambahan untuk menyempurnakan rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan tambang mineral dan batubara.
"Ada banyak hal yang masih dirasa kurang dalam naskah raperda pengelolaan tambang meskipun telah dibahas berkali-kali bersama tim eksekutif, sehingga kami membutuhkan referensi tambahan untuk kesempurnaannya," ujarnya.
Ruslan menyontohkan referensi terkait pengaturan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan kepala daerah, namun dikehendaki pencabutannya oleh masyarakat banyak.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Bima, yakni adanya tuntutan pencabutan IUP usaha pertambangan, namun Bupati Bima merasa tidak punya dasar, dan gubernur pun demikian. Itu salah satu yang mau dimasukkan dalam pasal raperda pengelolaan tambang NTB," ujarnya.
Persoalan lainnya yang membutuhkan referensi tambahan, yakni definisi jelas soal wilayah usaha pertambangan pada setiap tahapan kegiatan, yang sekarang masih dirasakan multitafsir sehingga memicu aksi-aksi massa yang berujung tindakan anarkis.
Pansus DPRD NTB itu menghendaki adanya pembatasan yang jelas tentang wilayah pertambangan pada setiap tahapan kegiatan. Tahapan eksplorasi, misalnya, yang boleh mencakup wilayah mana saja agar tidak melibatkan lokasi permukiman dalam areal wilayah tambang pada tahapan itu.
"Demikian pula pada tahapan eksploitasi, harus jelas definisi wilayah usaha pertambangannya pada tahapan itu, agar menutup ruang protes pihak-pihak tertentu. Masalah ini juga telah mencuat di Kabupaten Bima,’’ ujarnya.
Ruslan juga menyebut permasalahan "smelter" atau penampungan konsentrat hasil eksploitasi yang membutuhkan referensi tambahan guna memperkuat pemahaman pasal tertentu dalam raperda pengelolaan tambang itu.
Menurut dia, berbagai permasalahan tersebut belum diatur secara tegas dalam Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, sehingga dibutuhkan referensi tambahan.
Pada kesempatan itu, Taswin mengingatkan, perda yang akan dibuat oleh Pemprov NTB, harus mengatur hal yang lebih spesifik.
"Jika memang dirasa perlu mengatur adanya konsultasi kepala daerah ke DPRD untuk sebuah izin tambang yang akan diterbitkan, itu juga boleh," ujarnya.
Taswin mengatakan, mengatakan, Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara termasuk Peraturan Pemerintah yang terbit dan menjadi amanah UU itu, mengatur hal yang sifatnya umum.
Karena itu, ia mempersilahkan jika daerah ingin membuat perda maka harus mengatur hal yang lebih spesifik.
"Pada prinsipnya, kami mendukung suatu peraturan daerah, sejauh tidak tumpang tindih dan mengatur hal yang sama seperti yang telah diatur dalam Undang Undang dan Peraturan Pemerintah," ujarnya.
Sementara Sony menambahkan, Kementerian ESDM sudah melakukan telaah terhadap puluhan perda terkait pertambangan minerba, yang umumnya dibuat oleh pemerintah kabupaten.
"Pertambangan ini memang menjadi salah satu kewenangan yang sudah didesentralisasikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Namun ini bukan urusan wajib, tetapi menjadi urusan pilihan. Jadi memang tidak semua daerah perlu membuat aturan dan mengatur soal pertambangan," ujarnya.(*)