Mataram (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memonitor penanganan kasus dugaan korupsi wakil bupati (wabup) berinisial DKF terkait proyek pembangunan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Budi Waluya di Mataram, Jumat, mengatakan pihaknya hanya sebatas memonitor penanganan, mengingat kasus tersebut kini sedang berada di bawah pantauan dan evaluasi Kejaksaan Agung.
"Jadi, untuk kasus itu kami masih sebatas monitor dan koordinasi saja, belum melakukan supervisi," kata Budi Waluya.
Baca juga: Alasan sakit, Wabup Lombok Utara tak penuhi panggilan Kejati NTB
Baca juga: Inspektorat NTB hitung ulang kerugian kasus korupsi IGD RSUD Lombok Utara
Baca juga: Kejati NTB agendakan pemeriksaan Wabup Lombok Utara sebagai tersangka
Apabila KPK melakukan supervisi (pengawasan utama), jelas dia, pasti harus ada pendalaman. Salah satunya dengan melakukan gelar perkara secara berkala bersama pihak yang menangani perkara.
"Supervisi itu bagaimana upaya kami mengawal perkara yang sedang ditangani agar perkara itu bisa berjalan lancar, efektif, dan efisien," ujarnya.
Kepala Kejati NTB Sungarpin menjelaskan kasus yang melibatkan Wabup Lombok Utara sebagai tersangka tersebut kini masih menunggu agenda gelar perkara di Kejagung.
Agenda tersebut menyusul kabar terakhir penyidik kejaksaan yang menerima hasil hitung ulang kerugian negara dari Inspektorat NTB.
Meskipun enggan membuka hasil hitung ulang kerugian, namun Sungarpin meyakinkan bahwa Inspektorat NTB sudah mencabut hasil audit pertama dari Inspektorat Lombok Utara.
"Jadi, kerugian awal yang nilainya Rp240 juta lebih itu dicabut oleh Inspektorat NTB. Yang digunakan yang baru, hasil hitung ulang," kata Sungarpin.
Proyek dengan nama pekerjaan penambahan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Lombok Utara ini dikerjakan PT. Batara Guru Group. Proyek dikerjakan dengan nilai Rp5,1 miliar yang bersumber dari APBD Lombok Utara.
Dugaan korupsi muncul pascapemerintah memutus kontrak proyek di tengah progres pengerjaan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kerugian negara hasil hitung awal dari Inspektorat Lombok Utara.
Modus korupsi dari kasus ini berkaitan dengan pekerjaan proyek yang tetap dinyatakan selesai meskipun masih ada dugaan kekurangan volume pekerjaan. Angka kerugian negara itu muncul dari dugaan tersebut.
Dalam kasus ini, Kejati NTB menetapkan Wakil Bupati Lombok Utara sebagai tersangka ketika mengemban jabatan staf ahli dari konsultan pengawas proyek, CV. Indo Mulya Consultant.
DKF menjadi tersangka bersama pimpinan CV. Indo Mulya Consultant, berinisial LFH, Direktur RSUD Lombok Utara, berinisial SH, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial HZ, dan kuasa direktur PT. Batara Guru Group, MF.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Budi Waluya di Mataram, Jumat, mengatakan pihaknya hanya sebatas memonitor penanganan, mengingat kasus tersebut kini sedang berada di bawah pantauan dan evaluasi Kejaksaan Agung.
"Jadi, untuk kasus itu kami masih sebatas monitor dan koordinasi saja, belum melakukan supervisi," kata Budi Waluya.
Baca juga: Alasan sakit, Wabup Lombok Utara tak penuhi panggilan Kejati NTB
Baca juga: Inspektorat NTB hitung ulang kerugian kasus korupsi IGD RSUD Lombok Utara
Baca juga: Kejati NTB agendakan pemeriksaan Wabup Lombok Utara sebagai tersangka
Apabila KPK melakukan supervisi (pengawasan utama), jelas dia, pasti harus ada pendalaman. Salah satunya dengan melakukan gelar perkara secara berkala bersama pihak yang menangani perkara.
"Supervisi itu bagaimana upaya kami mengawal perkara yang sedang ditangani agar perkara itu bisa berjalan lancar, efektif, dan efisien," ujarnya.
Kepala Kejati NTB Sungarpin menjelaskan kasus yang melibatkan Wabup Lombok Utara sebagai tersangka tersebut kini masih menunggu agenda gelar perkara di Kejagung.
Agenda tersebut menyusul kabar terakhir penyidik kejaksaan yang menerima hasil hitung ulang kerugian negara dari Inspektorat NTB.
Meskipun enggan membuka hasil hitung ulang kerugian, namun Sungarpin meyakinkan bahwa Inspektorat NTB sudah mencabut hasil audit pertama dari Inspektorat Lombok Utara.
"Jadi, kerugian awal yang nilainya Rp240 juta lebih itu dicabut oleh Inspektorat NTB. Yang digunakan yang baru, hasil hitung ulang," kata Sungarpin.
Proyek dengan nama pekerjaan penambahan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Lombok Utara ini dikerjakan PT. Batara Guru Group. Proyek dikerjakan dengan nilai Rp5,1 miliar yang bersumber dari APBD Lombok Utara.
Dugaan korupsi muncul pascapemerintah memutus kontrak proyek di tengah progres pengerjaan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kerugian negara hasil hitung awal dari Inspektorat Lombok Utara.
Modus korupsi dari kasus ini berkaitan dengan pekerjaan proyek yang tetap dinyatakan selesai meskipun masih ada dugaan kekurangan volume pekerjaan. Angka kerugian negara itu muncul dari dugaan tersebut.
Dalam kasus ini, Kejati NTB menetapkan Wakil Bupati Lombok Utara sebagai tersangka ketika mengemban jabatan staf ahli dari konsultan pengawas proyek, CV. Indo Mulya Consultant.
DKF menjadi tersangka bersama pimpinan CV. Indo Mulya Consultant, berinisial LFH, Direktur RSUD Lombok Utara, berinisial SH, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial HZ, dan kuasa direktur PT. Batara Guru Group, MF.