Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Laksamana Madya TNI Harjo Susmoro mengatakan perlu menyiapkan kemandirian industri pertahanan agar Indonesia menjadi negara yang kuat.
"Karena tanpa kemandirian industri pertahanan nonsense kita akan menjadi negara yang kuat," kata Harjo di Ruang Nakula, Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan bahwa keinginan industri pertahanan agar mandiri sudah dicanangkan sejak tahun 2010 yang kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pada 2012.
"Namun hingga saat ini belum mendapatkan hasil yang signifikan, bahkan masih jauh dari yang kita harapkan atau targetkan. Pemerintah berkeinginan tahun 2029 sudah mandiri ternyata kita masih jauh," katanya.
Dari hasil pengamatan dan hasil diskusi terkait industri pertahanan, ia menyebut bahwa kemandirian industri pertahanan Indonesia masih berada pada angka belasan persen. Meski Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terkesan tinggi, kata Harjo, hal itu masih berada pada level pertama saja, sedangkan pada level kedua masih rendah. "Sampai dengan saat ini memang TKDN kelihatannya agak tidak tinggi sudah di atas 40 persen, tapi kalau kita lihat kemandiriannya masih jauh dari yang kita harapkan," ucapnya.
Sebagai ilustrasi, ia mencontohkan pembelian Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia, misalnya membeli dari PT Pindad, namun kenyataannya bagaimana Pindad memproduksi bahan baku dan peralatannya masih tergantung luar negeri. "Jadi uang negara, APBN tetap bergulirnya di luar," tuturnya.
Oleh karena itu, ujarnya, sulit mencapai kemandirian di bidang lainnya bila bidang industri pertahanan yang notabene untuk menjaga keamanan itu sendiri tidak mandiri. "Maka untuk mandiri tidak bisa kita langsung hebat, tapi kita harus bertahap, mumpung belum ada konflik. Kita saatnya untuk menyiapkan kemandirian dan kita masih punya cukup waktu," kata Harjo.
Harjo berharap Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dapat semakin maju dengan berbagai kelebihannya dalam mendukung kemandirian industri pertahanan Indonesia. "Kita coba untuk benchmarking dengan negara yang melaksanakan kemandirian (industri pertahanan) yang sukses, salah satunya Turki dan UAE (Uni Emirat Arab)," jelasnya.
Baca juga: Kemenperin mendorong kemandirian industri kesehatan
Selain soal kemandirian industri pertahanan, katanya, dalam agenda prasidang penyempurnaan naskah rancangan dokumen strategi membahas rekomendasi perihal isu internasionalisasi Papua, optimalisasi sistem resi gudang, dan percepatan talenta digital. "Setelah kita tadi mendengarkan masukan-masukan kita akan ada revisi sedikit dan kita segera (beri) masukan kepada Presiden," kata Harjo.
Agenda prasidang itu turut diikuti oleh anggota tetap dan anggota tidak tetap Dewan Ketahanan Nasional yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga, di antaranya perwakilan Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kantor Staf Presiden (KSP), Polri, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), dan lainnya.
"Karena tanpa kemandirian industri pertahanan nonsense kita akan menjadi negara yang kuat," kata Harjo di Ruang Nakula, Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan bahwa keinginan industri pertahanan agar mandiri sudah dicanangkan sejak tahun 2010 yang kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pada 2012.
"Namun hingga saat ini belum mendapatkan hasil yang signifikan, bahkan masih jauh dari yang kita harapkan atau targetkan. Pemerintah berkeinginan tahun 2029 sudah mandiri ternyata kita masih jauh," katanya.
Dari hasil pengamatan dan hasil diskusi terkait industri pertahanan, ia menyebut bahwa kemandirian industri pertahanan Indonesia masih berada pada angka belasan persen. Meski Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terkesan tinggi, kata Harjo, hal itu masih berada pada level pertama saja, sedangkan pada level kedua masih rendah. "Sampai dengan saat ini memang TKDN kelihatannya agak tidak tinggi sudah di atas 40 persen, tapi kalau kita lihat kemandiriannya masih jauh dari yang kita harapkan," ucapnya.
Sebagai ilustrasi, ia mencontohkan pembelian Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia, misalnya membeli dari PT Pindad, namun kenyataannya bagaimana Pindad memproduksi bahan baku dan peralatannya masih tergantung luar negeri. "Jadi uang negara, APBN tetap bergulirnya di luar," tuturnya.
Oleh karena itu, ujarnya, sulit mencapai kemandirian di bidang lainnya bila bidang industri pertahanan yang notabene untuk menjaga keamanan itu sendiri tidak mandiri. "Maka untuk mandiri tidak bisa kita langsung hebat, tapi kita harus bertahap, mumpung belum ada konflik. Kita saatnya untuk menyiapkan kemandirian dan kita masih punya cukup waktu," kata Harjo.
Harjo berharap Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dapat semakin maju dengan berbagai kelebihannya dalam mendukung kemandirian industri pertahanan Indonesia. "Kita coba untuk benchmarking dengan negara yang melaksanakan kemandirian (industri pertahanan) yang sukses, salah satunya Turki dan UAE (Uni Emirat Arab)," jelasnya.
Baca juga: Kemenperin mendorong kemandirian industri kesehatan
Selain soal kemandirian industri pertahanan, katanya, dalam agenda prasidang penyempurnaan naskah rancangan dokumen strategi membahas rekomendasi perihal isu internasionalisasi Papua, optimalisasi sistem resi gudang, dan percepatan talenta digital. "Setelah kita tadi mendengarkan masukan-masukan kita akan ada revisi sedikit dan kita segera (beri) masukan kepada Presiden," kata Harjo.
Agenda prasidang itu turut diikuti oleh anggota tetap dan anggota tidak tetap Dewan Ketahanan Nasional yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga, di antaranya perwakilan Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kantor Staf Presiden (KSP), Polri, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), dan lainnya.