Mataram (ANTARA) - Dewan Pers mengingatkan para jurnalis maupun perusahaan pers untuk mengedepankan kaidah dan pedoman jurnalistik dalam memberitakan informasi radikalisme dan terorisme kepada publik atau masyarakat.
Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Dewan Pers, M Agung Dharmajaya mengatakan media massa memiliki peran penting dalam memberantas dan menangkal radikalisme dan terorisme, termasuk juga jurnalis atau wartawan.
"Kami mengingatkan kepada rekan-rekan jurnalis saat meliput, menulis maupun mengambil sebuah video terorisme atau mencari berita harus memegang pedoman dan kaidah jurnalistik dan ini mestinya harus dipahami," kata Agung Dharmajaya pada kegiatan diskusi bertajuk "peran pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme untuk mewujudkan Indonesia harmoni yang dilaksanakan BNPT bersama Dewan Pers di Kota Mataram, Senin.
Menurut dia, kaidah dan pedoman jurnalistik ini penting menjadi acuan dan dipegang oleh seluruh jurnalis, sehingga para jurnalis tidak melanggar kode etik jurnalistik seperti yang tercantum dalam 11 butir kode etik jurnalistik.
"Memang terkait pemberitaan kewajiban kita untuk menyampaikan informasi ke masyarakat, namun kaidah dan pedomannya juga harus dipatuhi oleh rekan-rekan jurnalis," ujarnya.
Agung pun kemudian memberi contoh ketika jurnalis meliput kegiatan penangkapan teroris baik itu langsung dan tidak langsung harus juga memikirkan keamanannya.
"Contoh pada situasi rekan jurnalis meliput kegiatan penangkapan teroris ketika live dan tidak live masyarakat butuh informasi dan rekan-rekan jurnalis juga butuh berita yang ekslusif. Namun bukan berarti juga satu berita satu nyawa, sehingga ini menjadi penting ketika penangkapan berlangsung rekan jurnalis terlibat langsung misalnya dalam kontak tembak menembak," terangnya.
Oleh karena itu, ketika terjadi persoalan atau terjadi sesuatu, kemudian ketika diberitakan, pentingkah kemudian membawa narasi nama daerah, agama, membawa nama keluarga dan lingkungannya.
"Karena terus terang itu menjadi penjelasan ke pada semua pihak yang belum tentu keterlibatan-nya berhubungan dengan pelaku," kata Agung Dharmajaya
Hal ini menurut dia, persoalan itu tidak berlaku kepada jurnalis, dengan aparat penegak hukum pun yang melakukan penindakan di lapangan baik ketika proses penyidikan dan persidangan, sehingga sekali lagi ini menjadi ancaman aparat penegak hukum yang melakukan perlawanan dari sejumlah pihak.
"Ekslusif berita perlu tetapi bagaimana rekan-rekan membuat berita mengemas berita sesuai dengan pedoman. artinya tidak semua fakta boleh diungkapkan dalam artian kalaupun iya dikemas dengan baik. contoh fakta gambar audio, faktanya demikian tetapi apakah relevan itu disampaikan apalagi secara live kepada masyarakat," katanya.
Disinggung pelanggaran jurnalis dalam peliputan terorisme, ia menyebut jika dari laporan yang diterima hanya sedikit sekali pelanggaran, namun dirinya lebih menyoroti permasalahan lain seperti clickbait dan pemberitaan yang tidak berimbang.
"September 2022 pelanggaran kasus sekitar 800. Permasalahan pemberitaan teroris spesifik tak banyak dan bisa dihitung dengan jari. Masalah sekarang adalah media membuat berita hanya dari rilis. Kalau hanya satu sumber bagaimana kita bisa tahu kalau berita itu betul atau tidak. Masalah kualitas berita," katanya.
Kasubdit Pengamanan Lingkungan BNPT Kolonel Setyo mengatakan jika dalam mencegah meluasnya paham radikalisme perlu kerja sama berbagai sektor dan lapisan masyarakat.
"Generasi muda Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap persoalan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Sebagai calon pemimpin bangsa, generasi muda jangan sampai mengalami diorientasi terhadap bangsanya," ucapnya.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi multi pihak (pentahelix) oleh seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan Indonesia Harmoni dalam penanggulangan teroris dan intoleran.
"Kita terus memberikan semangat bahwa teroris adalah musuh negara, musuh agama, yang perlu melakukan repetisi, sehingga tidak ada keraguan dalam menghadapi terorisme dan media atau kantor berita itu salah satu bagian penting untuk mencegah perluasan paham radikalisme di Indonesia khususnya," katanya.
Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Dewan Pers, M Agung Dharmajaya mengatakan media massa memiliki peran penting dalam memberantas dan menangkal radikalisme dan terorisme, termasuk juga jurnalis atau wartawan.
"Kami mengingatkan kepada rekan-rekan jurnalis saat meliput, menulis maupun mengambil sebuah video terorisme atau mencari berita harus memegang pedoman dan kaidah jurnalistik dan ini mestinya harus dipahami," kata Agung Dharmajaya pada kegiatan diskusi bertajuk "peran pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme untuk mewujudkan Indonesia harmoni yang dilaksanakan BNPT bersama Dewan Pers di Kota Mataram, Senin.
Menurut dia, kaidah dan pedoman jurnalistik ini penting menjadi acuan dan dipegang oleh seluruh jurnalis, sehingga para jurnalis tidak melanggar kode etik jurnalistik seperti yang tercantum dalam 11 butir kode etik jurnalistik.
"Memang terkait pemberitaan kewajiban kita untuk menyampaikan informasi ke masyarakat, namun kaidah dan pedomannya juga harus dipatuhi oleh rekan-rekan jurnalis," ujarnya.
Agung pun kemudian memberi contoh ketika jurnalis meliput kegiatan penangkapan teroris baik itu langsung dan tidak langsung harus juga memikirkan keamanannya.
"Contoh pada situasi rekan jurnalis meliput kegiatan penangkapan teroris ketika live dan tidak live masyarakat butuh informasi dan rekan-rekan jurnalis juga butuh berita yang ekslusif. Namun bukan berarti juga satu berita satu nyawa, sehingga ini menjadi penting ketika penangkapan berlangsung rekan jurnalis terlibat langsung misalnya dalam kontak tembak menembak," terangnya.
Oleh karena itu, ketika terjadi persoalan atau terjadi sesuatu, kemudian ketika diberitakan, pentingkah kemudian membawa narasi nama daerah, agama, membawa nama keluarga dan lingkungannya.
"Karena terus terang itu menjadi penjelasan ke pada semua pihak yang belum tentu keterlibatan-nya berhubungan dengan pelaku," kata Agung Dharmajaya
Hal ini menurut dia, persoalan itu tidak berlaku kepada jurnalis, dengan aparat penegak hukum pun yang melakukan penindakan di lapangan baik ketika proses penyidikan dan persidangan, sehingga sekali lagi ini menjadi ancaman aparat penegak hukum yang melakukan perlawanan dari sejumlah pihak.
"Ekslusif berita perlu tetapi bagaimana rekan-rekan membuat berita mengemas berita sesuai dengan pedoman. artinya tidak semua fakta boleh diungkapkan dalam artian kalaupun iya dikemas dengan baik. contoh fakta gambar audio, faktanya demikian tetapi apakah relevan itu disampaikan apalagi secara live kepada masyarakat," katanya.
Disinggung pelanggaran jurnalis dalam peliputan terorisme, ia menyebut jika dari laporan yang diterima hanya sedikit sekali pelanggaran, namun dirinya lebih menyoroti permasalahan lain seperti clickbait dan pemberitaan yang tidak berimbang.
"September 2022 pelanggaran kasus sekitar 800. Permasalahan pemberitaan teroris spesifik tak banyak dan bisa dihitung dengan jari. Masalah sekarang adalah media membuat berita hanya dari rilis. Kalau hanya satu sumber bagaimana kita bisa tahu kalau berita itu betul atau tidak. Masalah kualitas berita," katanya.
Kasubdit Pengamanan Lingkungan BNPT Kolonel Setyo mengatakan jika dalam mencegah meluasnya paham radikalisme perlu kerja sama berbagai sektor dan lapisan masyarakat.
"Generasi muda Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap persoalan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Sebagai calon pemimpin bangsa, generasi muda jangan sampai mengalami diorientasi terhadap bangsanya," ucapnya.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi multi pihak (pentahelix) oleh seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan Indonesia Harmoni dalam penanggulangan teroris dan intoleran.
"Kita terus memberikan semangat bahwa teroris adalah musuh negara, musuh agama, yang perlu melakukan repetisi, sehingga tidak ada keraguan dalam menghadapi terorisme dan media atau kantor berita itu salah satu bagian penting untuk mencegah perluasan paham radikalisme di Indonesia khususnya," katanya.