Bogor, 18/11 (ANTARA) - Salah satu kandidat Rektor Institut Pertanian Bogor Dr Asep Saefuddin menyatakan kesiapannya untuk "mewakafkan" dirinya jika mendapat amanah memimpin perguruan tinggi itu.
"Dalam artian, saya akan mengabdikan diri secara total untuk IPB, sehingga saya tidak akan mau diganggu dengan hal yang tidak relevan," katanya di Bogor, Jawa Barat, Minggu, saat diwawancara ANTARA mengenai kesiapannya jika terpilih menjadi Rektor IPB masa bakti 2012-2017.
Saat ini, proses pemilihan rektor IPB telah masuk tahap penetapan oleh Majelis Wali Amanat MWA), dari tiga calon terpilih yakni Dr Asep Saefudin, Prof Herry Suhardiyanto (petahana), dan Prof Zairin Junior.
Penetapan Rektor IPB yang ditetapkan melalui sidang pleno MWA IPB mestinya dilaksanakan pada Senin (19/11).
Namun, Ketua MWA IPB Prof M.A. Chozin menyatakan jadwal itu diundur antara 28-29 November, karena Mendikbud Muhammad Nuh berhalangan hadir pada jadwal pemilihan yang ditetapkan, karena mendapat tugas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendampingi kunjungan Ratu Thailand ke Indonesia.
Dalam pemilihan rektor oleh MWA, Mendikbud sebagai salah satu anggota memiliki suara terbesar 35 persen, sedangkan sisa suara dibagi rata kepada 19 anggota MWA lainnya, sedangkan petahana sebagai anggota MWA "ex-officio" tidak memiliki hak suara.
Asep Saefuddin mengatakan bahwa dalam konteks mengabdi penuh kepada IPB, misalnya jika saat menjabat kemudian ditawari menjadi dirjen dan bahkan menteri, maka dirinya akan menyampaikan bahwa sedang fokus mengurus institusi itu.
"Artinya, saya akan meminta maaf untuk tidak bisa menerima, karena harus konsisten bahwa menjadi rektor bukanlah untuk 'batu loncatan'," katanya.
Ia menjelaskan tentang maksud "mewakafkan diri" itu.
"Jadi, 'mewakafkan diri' adalah memberikan sepenuhnya (waktu) untuk kepentingan IPB," kata dosen Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, yang menyelesaikan doktor di University of Guelph, Kanada itu.
Ia menjelaskan bahwa rektor seharusnya adalah "academic leader", sehingga amanah itu harus diemban dengan penuh pengabdian kepada institusi.
"Sehingga tidak bisa dilakukan dengan 'nyambi', karena di situlah akan tahu persoalan pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat secara integratif," kata Asep Saefuddin, yang pernah menjabat Wakil Rektor IPB Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Kerja Sama pada 2003-2008.
Tidak defensif
Menjawab pertanyaan mengenai adanya kritik bahwa IPB selalu diindentikkan dengan belum sejahteranya petani-nelayan, ia melihat bahwa sorotan semacam itu sebagai sesuatu yang normal saja.
"Dan semestinya kita di IPB tidak perlu defensif menanggapinya, itu bagus karena rakyat menaruh harapan besar pada IPB, dan kita mengabdi untuk kesejahteraan petani dan nelayan yang belum
sejahtera itu," katanya.
Menurut dia, paradigma baru yang mesti dilakukan untuk pembenahan di IPB, adalah IPB harus punya kepedulian terhadap nasib mereka.
"Dan IPB diharapkaan menjadi corong suara petani dan nelayan, serta menjadi inspirasi mereka untuk berbuat lebih baik," katanya.
Ia mengatakan bahwa pengabdian yang baik, tidak saja di dalam kampus, melainkan yang lebih penting juga dalam proses di masyarakat.
Ia mengatakan, jika mau jujur sejarah Tridarma Perguruan Tinggi itu lahir dari IPB.
"Jadi pendidikan itu tidak hanya dari kelas. Saya lihat itu belum terintegrasi," katanya
Untuk itu, dirinya ingin melihat ada integrasi tersebut, sehingga mahasiswa tidak teralineasi dari persoalan masyarakat, dan masyarakat juga terbantu dengan kehadiran IPB.
"Mahasiswa jangan hanya untuk kepentingan sendiri, sehingga harus tahu apa yang terjadi di masyarakat terkait lingkungan hidup, kesehatan dan pangan," katanya.
IPB pun, kata dia, akan dibutuhkan pemerintah untuk memberikan masukan masalah pertanian, karena pemerintah pasti membutuhkan institusi yang berbasis riset untuk kebijakan-kebijakannya.
"Dan kebijakan berbasis riset itu, nantinya juga untuk kepentingan masyarakat, khususnya petani dan nelayan," katanya.
Ia mengaku sudah menyiapkan Program Studi "Integrated Farming", sebagai suatu solusi sekaligus salah satu jawaban atas kritik bahwa lulusan IPB tidak banyak yang terjun di bidang pertanian.
Keluaran dari program itu, katanya, adalah "Sarjana Bertani", di mana mestinya harus lebih banyak mahasiswa yang bisa menggumuli pertanian.
"Dan itu diawali sejak mahasiswa baru, dan kita siapkan semacam kelas khusus, bekerja sama dengan pemda-pemda, dengan maksimum 100 orang," katanya.
Asep Saefuddin mengatakan bahwa program-program di IPB yang sudah ada tidak akan diganggu.
"Kita tekankan pentingnya mahasiswa bagi masyarkat, dan menyiapkan 'agrotechnopreneur' sejak dari SMA," katanya.(*)
"Dalam artian, saya akan mengabdikan diri secara total untuk IPB, sehingga saya tidak akan mau diganggu dengan hal yang tidak relevan," katanya di Bogor, Jawa Barat, Minggu, saat diwawancara ANTARA mengenai kesiapannya jika terpilih menjadi Rektor IPB masa bakti 2012-2017.
Saat ini, proses pemilihan rektor IPB telah masuk tahap penetapan oleh Majelis Wali Amanat MWA), dari tiga calon terpilih yakni Dr Asep Saefudin, Prof Herry Suhardiyanto (petahana), dan Prof Zairin Junior.
Penetapan Rektor IPB yang ditetapkan melalui sidang pleno MWA IPB mestinya dilaksanakan pada Senin (19/11).
Namun, Ketua MWA IPB Prof M.A. Chozin menyatakan jadwal itu diundur antara 28-29 November, karena Mendikbud Muhammad Nuh berhalangan hadir pada jadwal pemilihan yang ditetapkan, karena mendapat tugas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendampingi kunjungan Ratu Thailand ke Indonesia.
Dalam pemilihan rektor oleh MWA, Mendikbud sebagai salah satu anggota memiliki suara terbesar 35 persen, sedangkan sisa suara dibagi rata kepada 19 anggota MWA lainnya, sedangkan petahana sebagai anggota MWA "ex-officio" tidak memiliki hak suara.
Asep Saefuddin mengatakan bahwa dalam konteks mengabdi penuh kepada IPB, misalnya jika saat menjabat kemudian ditawari menjadi dirjen dan bahkan menteri, maka dirinya akan menyampaikan bahwa sedang fokus mengurus institusi itu.
"Artinya, saya akan meminta maaf untuk tidak bisa menerima, karena harus konsisten bahwa menjadi rektor bukanlah untuk 'batu loncatan'," katanya.
Ia menjelaskan tentang maksud "mewakafkan diri" itu.
"Jadi, 'mewakafkan diri' adalah memberikan sepenuhnya (waktu) untuk kepentingan IPB," kata dosen Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, yang menyelesaikan doktor di University of Guelph, Kanada itu.
Ia menjelaskan bahwa rektor seharusnya adalah "academic leader", sehingga amanah itu harus diemban dengan penuh pengabdian kepada institusi.
"Sehingga tidak bisa dilakukan dengan 'nyambi', karena di situlah akan tahu persoalan pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat secara integratif," kata Asep Saefuddin, yang pernah menjabat Wakil Rektor IPB Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Kerja Sama pada 2003-2008.
Tidak defensif
Menjawab pertanyaan mengenai adanya kritik bahwa IPB selalu diindentikkan dengan belum sejahteranya petani-nelayan, ia melihat bahwa sorotan semacam itu sebagai sesuatu yang normal saja.
"Dan semestinya kita di IPB tidak perlu defensif menanggapinya, itu bagus karena rakyat menaruh harapan besar pada IPB, dan kita mengabdi untuk kesejahteraan petani dan nelayan yang belum
sejahtera itu," katanya.
Menurut dia, paradigma baru yang mesti dilakukan untuk pembenahan di IPB, adalah IPB harus punya kepedulian terhadap nasib mereka.
"Dan IPB diharapkaan menjadi corong suara petani dan nelayan, serta menjadi inspirasi mereka untuk berbuat lebih baik," katanya.
Ia mengatakan bahwa pengabdian yang baik, tidak saja di dalam kampus, melainkan yang lebih penting juga dalam proses di masyarakat.
Ia mengatakan, jika mau jujur sejarah Tridarma Perguruan Tinggi itu lahir dari IPB.
"Jadi pendidikan itu tidak hanya dari kelas. Saya lihat itu belum terintegrasi," katanya
Untuk itu, dirinya ingin melihat ada integrasi tersebut, sehingga mahasiswa tidak teralineasi dari persoalan masyarakat, dan masyarakat juga terbantu dengan kehadiran IPB.
"Mahasiswa jangan hanya untuk kepentingan sendiri, sehingga harus tahu apa yang terjadi di masyarakat terkait lingkungan hidup, kesehatan dan pangan," katanya.
IPB pun, kata dia, akan dibutuhkan pemerintah untuk memberikan masukan masalah pertanian, karena pemerintah pasti membutuhkan institusi yang berbasis riset untuk kebijakan-kebijakannya.
"Dan kebijakan berbasis riset itu, nantinya juga untuk kepentingan masyarakat, khususnya petani dan nelayan," katanya.
Ia mengaku sudah menyiapkan Program Studi "Integrated Farming", sebagai suatu solusi sekaligus salah satu jawaban atas kritik bahwa lulusan IPB tidak banyak yang terjun di bidang pertanian.
Keluaran dari program itu, katanya, adalah "Sarjana Bertani", di mana mestinya harus lebih banyak mahasiswa yang bisa menggumuli pertanian.
"Dan itu diawali sejak mahasiswa baru, dan kita siapkan semacam kelas khusus, bekerja sama dengan pemda-pemda, dengan maksimum 100 orang," katanya.
Asep Saefuddin mengatakan bahwa program-program di IPB yang sudah ada tidak akan diganggu.
"Kita tekankan pentingnya mahasiswa bagi masyarkat, dan menyiapkan 'agrotechnopreneur' sejak dari SMA," katanya.(*)