Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak akan jadi “kiamat” bagi industri nikel di Indonesia.
Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait larangan ekspor bijih nikel yang dilakukan sejak 2020. “Kekalahan ini bukan kiamat bagi industri nikel karena banyak hal yang bisa dilakukan. Masih ada waktu bagi Indonesia untuk mengajukan appeal atau banding, sekitar 1-2 tahun. Menurut saya waktu tersebut perlu dimanfaatkan menggenjot ekosistem pengembangan nikel,” katanya dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Fahmy menilai putusan tersebut harus bisa jadi cambuk buat pemerintah agar bisa segera menggenjot pengembangan hilirisasi nikel sekaligus ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Menurutnya, dalam dua tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah cukup berhasil membangun ekosistem hilirisasi nikel sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan. Produk hilirisasi itu termasuk sejumlah produk stainless steel hingga bahan baku baterai kendaraan listrik.
“Maka menurut saya, selama menunggu keputusan hasil banding, tetap saja larangan ekspor tidak perlu dicabut, hilirisasi juga dipercepat, juga produksi produk turunan dipercepat sehingga bisa menghasilkan nilai tambah dan memperkuat ekosistem produk nikel sampai mobil listrik,” katanya.
Dengan berkembangnya ekosistem hilir produk nikel di dalam negeri, diharapkan akan dapat menyerap produksi nikel sehingga mendongkrak harga bijih nikel di dalam negeri meningkat dan mencapai keekonomian sebagaimana harga di luar negeri. “Kalau harga keekonomian bisa dicapai, maka mereka (pengusaha nikel) akan menjual ke dalam negeri karena harganya yang sudah terbentuk,” katanya.
Pada akhirnya, lanjut Fahmy, ketika memang Indonesia kembali kalah dalam banding, Indonesia telah siap jika harus mengikuti aturan untuk kembali membuka kran ekspor bijih nikel. “Jadi putusan WTO itu bukan kiamat bagi kita karena ekosistem nikel tadi sudah terbentuk. Kemudian jika diputuskan Indonesia tetap harus mengekspor dalam bentuk bijih, karena dibuka aksesnya dengan mekanisme pasar, maka harga yang terbentuk dalam bijih nikel baik yang diekspor maupun di dalam negeri, harganya sama,” ungkapnya.
Dengan mekanisme pasar, pengusaha nikel dalam negeri tentu akan lebih memilih memasok nikel untuk dalam negeri ketimbang ekspor dengan pertimbangan risiko dan biaya pengiriman yang tidak kecil.
Baca juga: HIPMI ingatkan jangan terbuai dengan status negara maju
Baca juga: Pemerintah Indonesia resmi gugat Uni Eropa ke WTO terkait sawit
Maka, menurut Fahmy, pemerintah perlu menjaga agar nikel tetap bisa diekspor tapi dengan harga pasar dengan terus mengembangkan industri hilirisasi nikel di dalam negeri. Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI pada Senin (21/11) lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa Indonesia akan mengajukan banding atas putusan WTO yang menyatakan bahwa Indonesia kalah dalam sengketa gugatan larangan ekspor nikel yang diajukan Uni Eropa.
Dalam putusan WTO itu dinyatakan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait larangan ekspor bijih nikel yang dilakukan sejak 2020. “Kekalahan ini bukan kiamat bagi industri nikel karena banyak hal yang bisa dilakukan. Masih ada waktu bagi Indonesia untuk mengajukan appeal atau banding, sekitar 1-2 tahun. Menurut saya waktu tersebut perlu dimanfaatkan menggenjot ekosistem pengembangan nikel,” katanya dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Fahmy menilai putusan tersebut harus bisa jadi cambuk buat pemerintah agar bisa segera menggenjot pengembangan hilirisasi nikel sekaligus ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Menurutnya, dalam dua tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah cukup berhasil membangun ekosistem hilirisasi nikel sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan. Produk hilirisasi itu termasuk sejumlah produk stainless steel hingga bahan baku baterai kendaraan listrik.
“Maka menurut saya, selama menunggu keputusan hasil banding, tetap saja larangan ekspor tidak perlu dicabut, hilirisasi juga dipercepat, juga produksi produk turunan dipercepat sehingga bisa menghasilkan nilai tambah dan memperkuat ekosistem produk nikel sampai mobil listrik,” katanya.
Dengan berkembangnya ekosistem hilir produk nikel di dalam negeri, diharapkan akan dapat menyerap produksi nikel sehingga mendongkrak harga bijih nikel di dalam negeri meningkat dan mencapai keekonomian sebagaimana harga di luar negeri. “Kalau harga keekonomian bisa dicapai, maka mereka (pengusaha nikel) akan menjual ke dalam negeri karena harganya yang sudah terbentuk,” katanya.
Pada akhirnya, lanjut Fahmy, ketika memang Indonesia kembali kalah dalam banding, Indonesia telah siap jika harus mengikuti aturan untuk kembali membuka kran ekspor bijih nikel. “Jadi putusan WTO itu bukan kiamat bagi kita karena ekosistem nikel tadi sudah terbentuk. Kemudian jika diputuskan Indonesia tetap harus mengekspor dalam bentuk bijih, karena dibuka aksesnya dengan mekanisme pasar, maka harga yang terbentuk dalam bijih nikel baik yang diekspor maupun di dalam negeri, harganya sama,” ungkapnya.
Dengan mekanisme pasar, pengusaha nikel dalam negeri tentu akan lebih memilih memasok nikel untuk dalam negeri ketimbang ekspor dengan pertimbangan risiko dan biaya pengiriman yang tidak kecil.
Baca juga: HIPMI ingatkan jangan terbuai dengan status negara maju
Baca juga: Pemerintah Indonesia resmi gugat Uni Eropa ke WTO terkait sawit
Maka, menurut Fahmy, pemerintah perlu menjaga agar nikel tetap bisa diekspor tapi dengan harga pasar dengan terus mengembangkan industri hilirisasi nikel di dalam negeri. Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI pada Senin (21/11) lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa Indonesia akan mengajukan banding atas putusan WTO yang menyatakan bahwa Indonesia kalah dalam sengketa gugatan larangan ekspor nikel yang diajukan Uni Eropa.
Dalam putusan WTO itu dinyatakan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.