Mataram, 27/12 (ANTARA) - Penyidikan dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan tahun anggaran 2008 senilai Rp3,78 miliar untuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Selong, Kabupaten Lombok Timur, belum bisa rampung karena terkendala hasil audit ulang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Belum bisa rampung karena petunjuk kejaksaan harus ada datang pembanding, dan itu hasil audit ulang dari BPKP," kata Direktur Reserse dan Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda NTB Kombes Pol Triyono Basuki Pujono, di Mataram, Kamis.
Penyidik Polda NTB menangani perkara dugaan korupsi di RSUD Selong itu sejak 2009, dan telah menetapkan Utun Supriya (mantan Direktur RSUD dr Soejono Selong) dan lima orang panitia pengadaan barang dan jasa proyek tersebut sebagai tersangka.
Utun selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan lima panitia pengadaan barang ternyata melakukan proses penunjukan langsung (PL) proyek tersebut.
Padahal dalam Keppres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, mengharuskan tender bagi proyek dengan nilai diatas Rp50 juta.
KPA dan panitia pernah dua kali melakukan proses tender tapi gagal, kemudian menggunakan alasan mendesak sehubungan tahun anggaran akan segera berakhir, untuk memilih proses penunjukan langsung.
Keenam tersangka itu dijerat pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Berkas perkara untuk keenam tersangka itu pun sudah pernah diserahkan ke kejaksaan (penyerahan tahap pertama) namun pihak kejaksaan menghendaki data pembanding dari kontraktor lain untuk mengetahui nilai kerugian negara.
Dalam berkas yang diserahkan ke kejaksaan itu, penyidik menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp800 juta dari nilai proyek sesuai kontrak kerja sebesar Rp3,788 miliar. Pagu anggaran pada proyek tersebut sebesar Rp4,175 miliar.
Namun, auditor BPKP Perwakilan Denpasar hanya menyebut nilai kerugian negara dalam proyek pengadaan alkes untuk RSUD Selong itu hanya Rp125,45 juta.
Karena itu, kejaksaan membutuhkan data pembanding untuk memperkirakan nilai kerugian negara yang riil, sehingga berkas perkara tersebut dinyatakan belum lengkap (P19).
"Memang sudah P19 tetapi petunjuk kejaksaan harus ada data pembanding. Dari hasil koordinasi dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seyogyanya data pembanding itu hasil audit ulang dari BPKP untuk memunculkan kerugian negara yang riil. Itu yang belum ada," ujar Triyono.
Dia mengakui, penyidiknya yang menangani perkara itu menghendaki kasus dugaan korupsi itu segera rampung karena sudah ditangani sejak 2009, namun polisi tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa BPKP mempercepat audit ulang.
"Penyidikmaunya cepat, tapi legitimasi itu milik BPKP, kami tidak bisa memaksa mereka," ujar Triyono ketika menanggapi tudingan pihak tertentu bahwa penanganan kasus dugaan korupsi itu tergolong lambat karena sudah ada tersangkanya. (*)
"Belum bisa rampung karena petunjuk kejaksaan harus ada datang pembanding, dan itu hasil audit ulang dari BPKP," kata Direktur Reserse dan Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda NTB Kombes Pol Triyono Basuki Pujono, di Mataram, Kamis.
Penyidik Polda NTB menangani perkara dugaan korupsi di RSUD Selong itu sejak 2009, dan telah menetapkan Utun Supriya (mantan Direktur RSUD dr Soejono Selong) dan lima orang panitia pengadaan barang dan jasa proyek tersebut sebagai tersangka.
Utun selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan lima panitia pengadaan barang ternyata melakukan proses penunjukan langsung (PL) proyek tersebut.
Padahal dalam Keppres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, mengharuskan tender bagi proyek dengan nilai diatas Rp50 juta.
KPA dan panitia pernah dua kali melakukan proses tender tapi gagal, kemudian menggunakan alasan mendesak sehubungan tahun anggaran akan segera berakhir, untuk memilih proses penunjukan langsung.
Keenam tersangka itu dijerat pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Berkas perkara untuk keenam tersangka itu pun sudah pernah diserahkan ke kejaksaan (penyerahan tahap pertama) namun pihak kejaksaan menghendaki data pembanding dari kontraktor lain untuk mengetahui nilai kerugian negara.
Dalam berkas yang diserahkan ke kejaksaan itu, penyidik menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp800 juta dari nilai proyek sesuai kontrak kerja sebesar Rp3,788 miliar. Pagu anggaran pada proyek tersebut sebesar Rp4,175 miliar.
Namun, auditor BPKP Perwakilan Denpasar hanya menyebut nilai kerugian negara dalam proyek pengadaan alkes untuk RSUD Selong itu hanya Rp125,45 juta.
Karena itu, kejaksaan membutuhkan data pembanding untuk memperkirakan nilai kerugian negara yang riil, sehingga berkas perkara tersebut dinyatakan belum lengkap (P19).
"Memang sudah P19 tetapi petunjuk kejaksaan harus ada data pembanding. Dari hasil koordinasi dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seyogyanya data pembanding itu hasil audit ulang dari BPKP untuk memunculkan kerugian negara yang riil. Itu yang belum ada," ujar Triyono.
Dia mengakui, penyidiknya yang menangani perkara itu menghendaki kasus dugaan korupsi itu segera rampung karena sudah ditangani sejak 2009, namun polisi tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa BPKP mempercepat audit ulang.
"Penyidikmaunya cepat, tapi legitimasi itu milik BPKP, kami tidak bisa memaksa mereka," ujar Triyono ketika menanggapi tudingan pihak tertentu bahwa penanganan kasus dugaan korupsi itu tergolong lambat karena sudah ada tersangkanya. (*)