Jakarta (ANTARA) - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Fadhi menyebut dua instrumen yang bisa digunakan pemerintah untuk bisa tetap mendorong hilirisasi nikel meski terhadang putusan WTO soal larangan ekspor nikel.
Kedua instrumen itu yakni pengenaan pajak ekspor dan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Namun, Fahmy menyebut kedua instrumen itu harus dilakukan ketika nanti sudah ada putusan inkrah dari WTO.
"Banding (di WTO) itu butuh waktu 1-2 tahun. Selama menunggu putusan inkrah, menurut saya larangan ekspor jangan dicabut dulu. Baru setelah inkrah, kemudian dicabut, pemerintah bisa menggunakan dua instrumen tersebut," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Fahmy menilai baik pajak ekspor maupun aturan DMO tidak melanggar ketentuan WTO soal larangan ekspor bijih nikel yang digugat oleh Uni Eropa. Pajak ekspor, lanjut Fahmy, juga dinilai perlu diterapkan lantaran selama ini ketentuan tersebut belum pernah dikenakan pada komoditas mineral seperti nikel dan batu bara.
"Maka, barangkali pemerintah bisa membuat instrumen pajak ekspor tadi sehingga dijual di dalam negeri itu bisa lebih murah dibanding kalau diekspor. Kalau ekspor kan plus pajak ekspornya. Kalau dijual di dalam negeri tidak ada pajaknya, harganya bisa lebih murah sehingga pengusaha nikel mau tidak mau jual nikelnya di dalam negeri dan mendorong hilirisasi tadi," katanya.
Lebih lanjut, Fahmy juga menilai ketentuan DMO atau kewajiban untuk menjual di dalam negeri untuk komoditas nikel akan dapat mendorong upaya hilirisasi di salam negeri.
Baca juga: Pemerintah imbau UMKM manfaatkan teknologi masuk pasar global
Baca juga: Tanaman hias anthurium dinilai punya potensi ekspor
"Dengan dua instrumen tadi, kekalahan di WTO saya kira tidak masalah sama sekali. Apalagi dalam waktu pelarangan (ekspor bijih nikel) sampai sekarang, ekosistem industri nikel dari hulu ke hilir sudah mulai terbentuk, sudah ada pasarnya," katanya.
Fahmy mengakui kecerdasan dan keberanian Presiden Jokowi untuk mendorong peningkatan nilai tambah di dalam negeri melalui hilirisasi yang dimulai dari larangan ekspor bijih nikel pada 2020. Ia menilai kebijakan terhadap nikel akan menjadi preseden yang baik untuk komoditas tambang lain seperti bauksit, timah hingga tembaga yang selanjutnya juga disebut akan didorong peningkatan nilai tambahnya di dalam negeri. "Saya kira ini langkah Jokowi yang cukup cerdas dan berani. Dan saya harap ini diterapkan untuk bauksit, timah dan komoditas lainnya," tutur Fahmy.
Kedua instrumen itu yakni pengenaan pajak ekspor dan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Namun, Fahmy menyebut kedua instrumen itu harus dilakukan ketika nanti sudah ada putusan inkrah dari WTO.
"Banding (di WTO) itu butuh waktu 1-2 tahun. Selama menunggu putusan inkrah, menurut saya larangan ekspor jangan dicabut dulu. Baru setelah inkrah, kemudian dicabut, pemerintah bisa menggunakan dua instrumen tersebut," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Fahmy menilai baik pajak ekspor maupun aturan DMO tidak melanggar ketentuan WTO soal larangan ekspor bijih nikel yang digugat oleh Uni Eropa. Pajak ekspor, lanjut Fahmy, juga dinilai perlu diterapkan lantaran selama ini ketentuan tersebut belum pernah dikenakan pada komoditas mineral seperti nikel dan batu bara.
"Maka, barangkali pemerintah bisa membuat instrumen pajak ekspor tadi sehingga dijual di dalam negeri itu bisa lebih murah dibanding kalau diekspor. Kalau ekspor kan plus pajak ekspornya. Kalau dijual di dalam negeri tidak ada pajaknya, harganya bisa lebih murah sehingga pengusaha nikel mau tidak mau jual nikelnya di dalam negeri dan mendorong hilirisasi tadi," katanya.
Lebih lanjut, Fahmy juga menilai ketentuan DMO atau kewajiban untuk menjual di dalam negeri untuk komoditas nikel akan dapat mendorong upaya hilirisasi di salam negeri.
Baca juga: Pemerintah imbau UMKM manfaatkan teknologi masuk pasar global
Baca juga: Tanaman hias anthurium dinilai punya potensi ekspor
"Dengan dua instrumen tadi, kekalahan di WTO saya kira tidak masalah sama sekali. Apalagi dalam waktu pelarangan (ekspor bijih nikel) sampai sekarang, ekosistem industri nikel dari hulu ke hilir sudah mulai terbentuk, sudah ada pasarnya," katanya.
Fahmy mengakui kecerdasan dan keberanian Presiden Jokowi untuk mendorong peningkatan nilai tambah di dalam negeri melalui hilirisasi yang dimulai dari larangan ekspor bijih nikel pada 2020. Ia menilai kebijakan terhadap nikel akan menjadi preseden yang baik untuk komoditas tambang lain seperti bauksit, timah hingga tembaga yang selanjutnya juga disebut akan didorong peningkatan nilai tambahnya di dalam negeri. "Saya kira ini langkah Jokowi yang cukup cerdas dan berani. Dan saya harap ini diterapkan untuk bauksit, timah dan komoditas lainnya," tutur Fahmy.