Mataram (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram, Nusa Tenggara Barat, memutuskan terdakwa Darsito yang berperan sebagai pelaksana proyek pengadaan ruang operasi dan ICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Lombok Utara (KLU) tahun anggaran 2019 tetap menjalani vonis hukuman 7 tahun penjara.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Selasa, membenarkan putusan tersebut sesuai amar putusan yang sudah tersiar resmi dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram.
"Jadi, sesuai dengan putusan banding nomor: 14/PID.TPK/2022/PT MTR, majelis hakim banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama untuk terdakwa Darsito," kata Kelik.
Hakim banding yang diketuai I Gede Mayun dengan anggota Bambang Sasmito dan Mahsan, jelas dia, menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram nomor: 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN.Mtr, tanggal 24 Oktober 2022.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama itu, terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer.
Dakwaan tersebut berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Karena menguatkan, maka terdakwa tetap menjalani vonis hukuman sesuai putusan pengadilan tingkat pertama," ujarnya.
Selain hukuman 7 tahun penjara, terdakwa Darsito juga dijatuhi hukuman pidana denda Rp300 juta subsider 3 bulan.
Terdakwa juga tetap dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,75 miliar subsider 2 tahun penjara.
Nilai kerugian yang disampaikan hakim tersebut lebih tinggi dari bukti audit Inspektorat NTB Rp1,57 miliar. Keputusan hakim menyatakan nilai kerugian lebih tinggi dari hasil audit melihat adanya denda keterlambatan pekerjaan yang sedikitnya bernilai Rp300 juta muncul dalam fakta persidangan.
Namun, dalam amar putusan banding tersebut, hakim tidak menyertakan terdakwa Darsito yang merupakan penerima kuasa sebagai pelaksana proyek dari PT Apro Megatama tetap berada dalam tahanan.
Lebih lanjut, Kelik menyampaikan bahwa terdakwa Darsito melalui kuasa hukumnya telah menyatakan kasasi. Pernyataan upaya hukum lanjutan tersebut belum termasuk pengajuan memori kasasi.
"Soal menyatakan kasasi dari terdakwa Darsito sudah kami terima. Memori kasasi belum," ucap Kelik.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Selasa, membenarkan putusan tersebut sesuai amar putusan yang sudah tersiar resmi dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram.
"Jadi, sesuai dengan putusan banding nomor: 14/PID.TPK/2022/PT MTR, majelis hakim banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama untuk terdakwa Darsito," kata Kelik.
Hakim banding yang diketuai I Gede Mayun dengan anggota Bambang Sasmito dan Mahsan, jelas dia, menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram nomor: 16/Pid.Sus-TPK/2022/PN.Mtr, tanggal 24 Oktober 2022.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama itu, terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer.
Dakwaan tersebut berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Karena menguatkan, maka terdakwa tetap menjalani vonis hukuman sesuai putusan pengadilan tingkat pertama," ujarnya.
Selain hukuman 7 tahun penjara, terdakwa Darsito juga dijatuhi hukuman pidana denda Rp300 juta subsider 3 bulan.
Terdakwa juga tetap dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,75 miliar subsider 2 tahun penjara.
Nilai kerugian yang disampaikan hakim tersebut lebih tinggi dari bukti audit Inspektorat NTB Rp1,57 miliar. Keputusan hakim menyatakan nilai kerugian lebih tinggi dari hasil audit melihat adanya denda keterlambatan pekerjaan yang sedikitnya bernilai Rp300 juta muncul dalam fakta persidangan.
Namun, dalam amar putusan banding tersebut, hakim tidak menyertakan terdakwa Darsito yang merupakan penerima kuasa sebagai pelaksana proyek dari PT Apro Megatama tetap berada dalam tahanan.
Lebih lanjut, Kelik menyampaikan bahwa terdakwa Darsito melalui kuasa hukumnya telah menyatakan kasasi. Pernyataan upaya hukum lanjutan tersebut belum termasuk pengajuan memori kasasi.
"Soal menyatakan kasasi dari terdakwa Darsito sudah kami terima. Memori kasasi belum," ucap Kelik.