Jakarta (ANTARA) - Associate Professor Universitas Monash Indonesia Ika Idris mengatakan perlu terobosan baru dalam menyampaikan isu krisis iklim yang kini banyak dibumbui oleh praktik politisasi. "Membicarakan isu lingkungan dan iklim di tahun politik, tentu tidak lepas dari kandidat yang bertarung. Masalahnya, jangan sampai isu politiknya lebih mendominasi ketimbang permasalahan lingkungan itu sendiri," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Ika menuturkan isu perubahan iklim di Indonesia selama ini masih terbilang sulit dipahami dan menarik perhatian masyarakat. Menurutnya, selama ini bukan tidak ada gerakan untuk menyadarkan masyarakat dan mendorong pemerintah, namun dampak dari strategi yang selama ini dilakukan aktivis lingkungan di tingkat lokal maupun afiliasi internasional belum mampu mendorong perubahan di level struktural, seperti mendorong pekerjaan rumah pemerintah terkait kebijakan energi dan lingkungan yang berkelanjutan.
Selama ini strategi yang umumnya dilancarkan aktivis lingkungan lokal maupun internasional adalah dengan melakukan advokasi. Di satu sisi, pendekatan advokasi memang berpotensi mendapatkan atensi masyarakat dan media, namun di sisi lain pendekatan edukasi tetap diperlukan untuk membantu masyarakat memahami argumen-argumen seputar isu lingkungan dan perubahan iklim.
Pada Pemilihan Umum 2019, sebuah dokumenter yang mengangkat isu dampak pertambangan batu bara terhadap lingkungan dan kesehatan sempat menghebohkan masyarakat karena berhasil mengungkap keterlibatan para kandidat politik dalam usaha tambang batu bara.
"Diskursus publik terkait dokumenter tersebut masih berpusat pada isu politik, dan belum berhasil menyadarkan masyarakat terkait dengan isu kerusakan lingkungan ataupun kebijakan energi berkelanjutan," kata Ika.
Baca juga: 36 peneliti melakukan riset di Gunung Rinjani Lombok pada 2022
Baca juga: Peneliti UGM lakukan pengeboran tanah di jalan ambles Sriharjo
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa diskusi yang terbentuk dari upaya advokasi tersebut masih terjebak dalam isu-isu kontestan politik, kejadian pada dokumenter, dan baru isu lingkungan. Namun, saat membicarakan lingkungan, sentimen yang muncul masih dominan positif dimana ada pemakluman atas kerusakan lingkungan yang terjadi karena negara butuh memenuhi kebutuhan energi masyarakat.
"Riset saya menunjukkan bahwa tema percakapan terkait lingkungan hanya sekitar 27 persen, sisanya membincangkan tema yang lain," kata Ika. "Percakapan terkait korban juga hanya 12,2 persen, sisanya membincangkan tentang si pembuat film dokumenter, pemerintah pusat, dan kandidat politik,” imbuhnya.
Ika menuturkan isu perubahan iklim di Indonesia selama ini masih terbilang sulit dipahami dan menarik perhatian masyarakat. Menurutnya, selama ini bukan tidak ada gerakan untuk menyadarkan masyarakat dan mendorong pemerintah, namun dampak dari strategi yang selama ini dilakukan aktivis lingkungan di tingkat lokal maupun afiliasi internasional belum mampu mendorong perubahan di level struktural, seperti mendorong pekerjaan rumah pemerintah terkait kebijakan energi dan lingkungan yang berkelanjutan.
Selama ini strategi yang umumnya dilancarkan aktivis lingkungan lokal maupun internasional adalah dengan melakukan advokasi. Di satu sisi, pendekatan advokasi memang berpotensi mendapatkan atensi masyarakat dan media, namun di sisi lain pendekatan edukasi tetap diperlukan untuk membantu masyarakat memahami argumen-argumen seputar isu lingkungan dan perubahan iklim.
Pada Pemilihan Umum 2019, sebuah dokumenter yang mengangkat isu dampak pertambangan batu bara terhadap lingkungan dan kesehatan sempat menghebohkan masyarakat karena berhasil mengungkap keterlibatan para kandidat politik dalam usaha tambang batu bara.
"Diskursus publik terkait dokumenter tersebut masih berpusat pada isu politik, dan belum berhasil menyadarkan masyarakat terkait dengan isu kerusakan lingkungan ataupun kebijakan energi berkelanjutan," kata Ika.
Baca juga: 36 peneliti melakukan riset di Gunung Rinjani Lombok pada 2022
Baca juga: Peneliti UGM lakukan pengeboran tanah di jalan ambles Sriharjo
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa diskusi yang terbentuk dari upaya advokasi tersebut masih terjebak dalam isu-isu kontestan politik, kejadian pada dokumenter, dan baru isu lingkungan. Namun, saat membicarakan lingkungan, sentimen yang muncul masih dominan positif dimana ada pemakluman atas kerusakan lingkungan yang terjadi karena negara butuh memenuhi kebutuhan energi masyarakat.
"Riset saya menunjukkan bahwa tema percakapan terkait lingkungan hanya sekitar 27 persen, sisanya membincangkan tema yang lain," kata Ika. "Percakapan terkait korban juga hanya 12,2 persen, sisanya membincangkan tentang si pembuat film dokumenter, pemerintah pusat, dan kandidat politik,” imbuhnya.