Mataram (ANTARA) - Pasca penetapan partai politik peserta pemilu 2024 pada 14 Desember 2022 lalu, muncul sebuah fakta aneh: banyak orang mengadukan keberatan karena merasa nama dan identitasnya terdaftar sebagai anggota partai politik tanpa sepengetahuannya.
Pengurus partai politik (parpol) pun mengeluarkan surat pernyataan yang membenarkan bahwa para pengadu memang bukan anggota parpolnya.
Gambaran fakta
Maraknya pengaduan itu setidaknya tergambar di Kabupaten Lombok Tengah pada pembentukan badan adhoc penyelenggara pemilu. Sebut saja Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD), dan pada pendaftaran Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih).
Berdasarkan hasil pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Lombok Tengah, pendaftar PPS yang nama dan identitasnya terdata di dalam Sipol sebanyak 3 orang, pendaftar PKD sebanyak 55 orang. Dan puncaknya, pendaftar Pantarlih sebanyak 165 orang yang terdaftar sebagai anggota parpol.
Untuk memenuhi persyaratan administratif, mereka harus menyertakan surat keterangan bahwa dirinya bukan anggota parpol. Surat keterangan tersebut dikeluarkan oleh parpol dimana nama dan identitas mereka terdaftar.
Tanpa dokumen itu, mereka tidak dapat diluluskan secara administratif karena dianggap benar sebagai anggota partai politik.
Para pendaftar pun meminta surat pernyataan kepada pengurus parpol, dan mengisi aduan keberatan melalui situs KPU. Sedangkan kewenangan penghapusan nama pengadu dari keanggotaan parpol diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing parpol.
Kita ketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 18 parpol nasional sebagai peserta pemilu 2024. Parpol yang ditetapkan sebagai peserta pemilu adalah yang dinyatakan lulus verifikasi. Proses verifikasi pun cukup panjang, mulai dari Agustus hingga pertengahan Desember 2022.
Bagaimana verifikasi dilakukan?
Substansi dari verifikasi adalah untuk menguji kelengkapan, keabsahan, serta kebenaran dokumen persyaratan partai politik calon peserta pemilu yang diserahkan ke KPU. Dokumen persyaratan itu meliputi kepengurusan, kantor tetap, dan keanggotaan.
Sederhananya, proses pengujian itu dilakukan oleh KPU melalui tiga tahap. Pertama, mengecek kelengkapan dokumen persyaratan. Kedua, verifikasi administrasi untuk memastikan keabsahan terhadap dokumen parpol yang dinyatakan lengkap. Ketiga, verifikasi faktual terhadap dokumen persyaratan parpol yang dinyatakan lulus verifikasi administrasi.
Parpol pun tersaring dalam setiap tahapan verifikasi. Dari 40 parpol nasional yang mendaftar, sebanyak 24 parpol dinyatakan dokumen persyaratannya lengkap. Dari 24 parpol tersebut, sebanyak 18 parpol yang dinyatakan lulus verifikasi administrasi.
Di antaranya 9 parpol telah memenuhi ambang batas 4 persen pada pemilu 2019 sehingga tidak perlu dilakukan verifikasi faktual. Sedangkan 9 parpol lainnya dilakukan verifikasi faktual.
Pada babak verifikasi faktual inilah dokumen persyaratan dikonfirmasi dengan fakta di lapangan. Pengurus dan anggota parpol pun ditemui dan ditanyakan langsung oleh tim verifikator terkait kebenaran statusnya sebagai pengurus dan anggota. Demikian pula kantor tetap didatangi dan dipastikan kesesuaiannya dengan dokumen administratif.
Dari hasil verifikasi tersebut, maka KPU menyatakan 18 parpol nasional memenuhi syarat dan menetapkannya sebagai peserta pemilu 2024.
Sebuah Kontradiksi
Kembali ke fakta pasca penetapan parpol peserta pemilu sebagaimana uraian di bagian awal. Fakta itu tampak kontradiktif dengan hasil verifikasi yang telah disahkan oleh KPU.
Di satu sisi, KPU menyatakan keanggotaan parpol absah dan benar. Sedangkan di sisi lain, parpol—dengan surat pernyataannya—mengakui bahwa banyak orang yang terdaftar sebagai anggota sebenarnya bukan anggotanya.
Dengan kata lain, hasil verifikasi KPU dimentahkan dengan pengakuan dari parpol itu sendiri. Itulah kontradiksi model pertama.
Kontradiksi model kedua adalah: KPU terkesan mementahkan hasil verifikasinya sendiri. Mari kita cermati persyaratan administratif bagi calon petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) yang ditentukan oleh KPU.
Salah satunya berupa “surat pernyataan bermaterai yang memuat informasi bahwa nama dan identitas calon Pantarlih digunakan oleh partai politik tanpa sepengetahuan yang bersangkutan bagi calon Pantarlih yang nama dan identitasnya digunakan oleh partai politik tanpa sepengetahuan yang bersangkutan”.
Jika ditelaah dengan cermat, persyaratan yang dibuat oleh KPU tersebut tampak kontradiktif dengan hasil verifikasi yang dilakukan KPU sendiri. Dalam persyaratan itu tersirat keraguan KPU terhadap kebenaran dokumen keanggotaan parpol. Muncullah paradoks dalam hal ini.
Di satu sisi KPU menyatakan parpol memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, tapi di sisi lain KPU mengakui bahwa persyaratan keanggotaan yang disampaikan oleh parpol adalah dokumen yang kebenarannya diragukan.
Hal ini berpotensi menggadaikan asas kejujuran dalam penyelenggaraan pemilu. Logikanya, hasil verifikasi semestinya bisa menjadi jaminan atas kebenaran dokumen persyaratan peserta pemilu, sehingga kontradiksi itu tidak perlu terjadi.
Mengapa kontradiksi terjadi?
Dalam konteks ini, penulis meninjau soal metode verifikasi. Munculnya kontradiksi itu disebabkan metode sampling yang diterapkan pada verifikasi faktual keanggotaan.
Di samping hasilnya tidak akan bisa akurat, metode sampling dalam verifikasi faktual membuka peluang bagi ketidakadilan dalam proses pemilu. Mereka yang menjadi sampel diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan secara langsung.
Sedangkan yang tidak menjadi sampel tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Dengan sendirinya, penggunaan metode ini berimplikasi kepada perlakuan yang tidak adil terhadap mereka yang terdaftar sebagai anggota parpol.
Hal ini bisa berdampak pada distorsi makna asas jujur dan adil dalam verifikasi parpol.
Kontradiksi ini barangkali tidak akan terjadi jika dalam verifikasi faktual digunakan metode sensus. Dengan metode sensus, setiap orang akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyampaikan klarifikasi keanggotaannya.
Sehingga akan dapat dipastikan bahwa anggota parpol yang terdata dalam sistem KPU adalah benar sesuai fakta.
Demikian pula halnya dengan verifikasi dukungan bakal calon perseorangan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang saat ini sedang berlangsung dengan metode sampling, berpotensi menimbulkan kontradiksi serupa.
Dengan demikian, metode verifikasi faktual perlu dikaji kembali, demi menjamin kejujuran dan keadilan dalam proses verifikasi calon peserta pemilu. Kita ketahui, parpol dan perseorangan adalah kendaraan politik bagi para calon pemimpin yang akan dipilih oleh rakyat. Karena itu diperlukan metode yang tepat untuk menghasilkan pemimpin sebagaimana diharapkan.
Wallahu a’lamu bisshawab.
L. Fauzan Hadi (Anggota Bawaslu Kabupaten Lombok Tengah)
Pengurus partai politik (parpol) pun mengeluarkan surat pernyataan yang membenarkan bahwa para pengadu memang bukan anggota parpolnya.
Gambaran fakta
Maraknya pengaduan itu setidaknya tergambar di Kabupaten Lombok Tengah pada pembentukan badan adhoc penyelenggara pemilu. Sebut saja Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD), dan pada pendaftaran Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih).
Berdasarkan hasil pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Lombok Tengah, pendaftar PPS yang nama dan identitasnya terdata di dalam Sipol sebanyak 3 orang, pendaftar PKD sebanyak 55 orang. Dan puncaknya, pendaftar Pantarlih sebanyak 165 orang yang terdaftar sebagai anggota parpol.
Untuk memenuhi persyaratan administratif, mereka harus menyertakan surat keterangan bahwa dirinya bukan anggota parpol. Surat keterangan tersebut dikeluarkan oleh parpol dimana nama dan identitas mereka terdaftar.
Tanpa dokumen itu, mereka tidak dapat diluluskan secara administratif karena dianggap benar sebagai anggota partai politik.
Para pendaftar pun meminta surat pernyataan kepada pengurus parpol, dan mengisi aduan keberatan melalui situs KPU. Sedangkan kewenangan penghapusan nama pengadu dari keanggotaan parpol diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing parpol.
Kita ketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 18 parpol nasional sebagai peserta pemilu 2024. Parpol yang ditetapkan sebagai peserta pemilu adalah yang dinyatakan lulus verifikasi. Proses verifikasi pun cukup panjang, mulai dari Agustus hingga pertengahan Desember 2022.
Bagaimana verifikasi dilakukan?
Substansi dari verifikasi adalah untuk menguji kelengkapan, keabsahan, serta kebenaran dokumen persyaratan partai politik calon peserta pemilu yang diserahkan ke KPU. Dokumen persyaratan itu meliputi kepengurusan, kantor tetap, dan keanggotaan.
Sederhananya, proses pengujian itu dilakukan oleh KPU melalui tiga tahap. Pertama, mengecek kelengkapan dokumen persyaratan. Kedua, verifikasi administrasi untuk memastikan keabsahan terhadap dokumen parpol yang dinyatakan lengkap. Ketiga, verifikasi faktual terhadap dokumen persyaratan parpol yang dinyatakan lulus verifikasi administrasi.
Parpol pun tersaring dalam setiap tahapan verifikasi. Dari 40 parpol nasional yang mendaftar, sebanyak 24 parpol dinyatakan dokumen persyaratannya lengkap. Dari 24 parpol tersebut, sebanyak 18 parpol yang dinyatakan lulus verifikasi administrasi.
Di antaranya 9 parpol telah memenuhi ambang batas 4 persen pada pemilu 2019 sehingga tidak perlu dilakukan verifikasi faktual. Sedangkan 9 parpol lainnya dilakukan verifikasi faktual.
Pada babak verifikasi faktual inilah dokumen persyaratan dikonfirmasi dengan fakta di lapangan. Pengurus dan anggota parpol pun ditemui dan ditanyakan langsung oleh tim verifikator terkait kebenaran statusnya sebagai pengurus dan anggota. Demikian pula kantor tetap didatangi dan dipastikan kesesuaiannya dengan dokumen administratif.
Dari hasil verifikasi tersebut, maka KPU menyatakan 18 parpol nasional memenuhi syarat dan menetapkannya sebagai peserta pemilu 2024.
Sebuah Kontradiksi
Kembali ke fakta pasca penetapan parpol peserta pemilu sebagaimana uraian di bagian awal. Fakta itu tampak kontradiktif dengan hasil verifikasi yang telah disahkan oleh KPU.
Di satu sisi, KPU menyatakan keanggotaan parpol absah dan benar. Sedangkan di sisi lain, parpol—dengan surat pernyataannya—mengakui bahwa banyak orang yang terdaftar sebagai anggota sebenarnya bukan anggotanya.
Dengan kata lain, hasil verifikasi KPU dimentahkan dengan pengakuan dari parpol itu sendiri. Itulah kontradiksi model pertama.
Kontradiksi model kedua adalah: KPU terkesan mementahkan hasil verifikasinya sendiri. Mari kita cermati persyaratan administratif bagi calon petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) yang ditentukan oleh KPU.
Salah satunya berupa “surat pernyataan bermaterai yang memuat informasi bahwa nama dan identitas calon Pantarlih digunakan oleh partai politik tanpa sepengetahuan yang bersangkutan bagi calon Pantarlih yang nama dan identitasnya digunakan oleh partai politik tanpa sepengetahuan yang bersangkutan”.
Jika ditelaah dengan cermat, persyaratan yang dibuat oleh KPU tersebut tampak kontradiktif dengan hasil verifikasi yang dilakukan KPU sendiri. Dalam persyaratan itu tersirat keraguan KPU terhadap kebenaran dokumen keanggotaan parpol. Muncullah paradoks dalam hal ini.
Di satu sisi KPU menyatakan parpol memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, tapi di sisi lain KPU mengakui bahwa persyaratan keanggotaan yang disampaikan oleh parpol adalah dokumen yang kebenarannya diragukan.
Hal ini berpotensi menggadaikan asas kejujuran dalam penyelenggaraan pemilu. Logikanya, hasil verifikasi semestinya bisa menjadi jaminan atas kebenaran dokumen persyaratan peserta pemilu, sehingga kontradiksi itu tidak perlu terjadi.
Mengapa kontradiksi terjadi?
Dalam konteks ini, penulis meninjau soal metode verifikasi. Munculnya kontradiksi itu disebabkan metode sampling yang diterapkan pada verifikasi faktual keanggotaan.
Di samping hasilnya tidak akan bisa akurat, metode sampling dalam verifikasi faktual membuka peluang bagi ketidakadilan dalam proses pemilu. Mereka yang menjadi sampel diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan secara langsung.
Sedangkan yang tidak menjadi sampel tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Dengan sendirinya, penggunaan metode ini berimplikasi kepada perlakuan yang tidak adil terhadap mereka yang terdaftar sebagai anggota parpol.
Hal ini bisa berdampak pada distorsi makna asas jujur dan adil dalam verifikasi parpol.
Kontradiksi ini barangkali tidak akan terjadi jika dalam verifikasi faktual digunakan metode sensus. Dengan metode sensus, setiap orang akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyampaikan klarifikasi keanggotaannya.
Sehingga akan dapat dipastikan bahwa anggota parpol yang terdata dalam sistem KPU adalah benar sesuai fakta.
Demikian pula halnya dengan verifikasi dukungan bakal calon perseorangan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang saat ini sedang berlangsung dengan metode sampling, berpotensi menimbulkan kontradiksi serupa.
Dengan demikian, metode verifikasi faktual perlu dikaji kembali, demi menjamin kejujuran dan keadilan dalam proses verifikasi calon peserta pemilu. Kita ketahui, parpol dan perseorangan adalah kendaraan politik bagi para calon pemimpin yang akan dipilih oleh rakyat. Karena itu diperlukan metode yang tepat untuk menghasilkan pemimpin sebagaimana diharapkan.
Wallahu a’lamu bisshawab.
L. Fauzan Hadi (Anggota Bawaslu Kabupaten Lombok Tengah)