Mataram (ANTARA) - Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat menelusuri kerugian negara dalam perkara dugaan korupsi penyelewengan aset milik pemerintah provinsi yang berada di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Senin, mengatakan dalam penelusuran ini penyidik masih sebatas diskusi dengan ahli audit kerugian negara.

"Siapa ahlinya, itu nanti saja. Yang jelas, penelusuran kerugian turut menjadi upaya kelengkapan berkas penanganan," kata Ely.

Selain memperkuat alat bukti dari ahli audit kerugian negara, lanjut dia, penyidik juga masih melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap saksi.

Dengan menjelaskan penanganan demikian, Ely meyakinkan bahwa penyidikan dari perkara ini belum mengarah pada penelusuran tersangka.

"Itu (penetapan tersangka), belum. Nanti itu. Masih saksi-saksi diperiksa, termasuk ahli. Masih kami agendakan," ujarnya.

Kepala Kejati NTB dalam perkara ini telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022, tanggal 9 Februari 2022.

Pemeriksaan saksi terakhir terungkap dilaksanakan pada 25 Oktober 2022. Pemeriksaan terungkap sesuai surat panggilan saksi bernama Marwi yang diterbitkan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan Nomor: SP-1116/N.2.5/Fd.1/10/2022, tanggal 21 Oktober 2022.

Dalam surat yang ditandatangani Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati, meminta Marwi hadir menghadap tim penyidik Ema Mulyawati pada Selasa (25/10).

Lokasi pemeriksaan Marwi sebagai saksi tertulis di Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.

Sebelumnya, Marwi dikonfirmasi atas pemeriksaan jaksa mengakui dirinya menduduki lahan dengan luas mencapai 3 are (300 m2). Dia mendirikan rumah dan toko tempat usaha.

Lahan yang tercatat sebagai aset Pemprov NTB itu sudah dia huni sejak kecil. Alasan dia bersama keluarga menduduki lahan karena dahulunya seperti hutan, tidak bertuan.

Dia pun menyadari penguasaan lahan tersebut tanpa ada alas hak kepemilikan, hanya berbekal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas usaha toko miliknya.

Penanganan perkara ini merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat yang mengarah ke dugaan pungutan liar (pungli) sewa dan jual beli lahan secara ilegal.

Dugaan tersebut berkaitan dengan lahan yang sebelumnya masuk dalam kesepakatan kontrak produksi untuk pemanfaatan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov NTB.

Dari hasil penyelidikan pun terungkap indikasi bahwa persoalan itu mulai muncul di tahun 1998, terhitung sejak PT GTI mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB.

Dalam periode tersebut terindikasi adanya sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Dugaan itu berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal.

Untuk kondisi terkini di areal seluas 65 hektare kawasan Gili Trawangan, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat penunjang pariwisata.

Pemetaan situasi di atas lahan itu pun telah dilakukan pihak kejaksaan. Hal itu sesuai dengan hasil Kejati NTB saat menjalankan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) dalam penyelamatan dan penerbitan aset di kawasan wisata tersebut.

Upaya penyelamatan aset ini pun menjadi harapan pemerintah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah yang berpotensi memberikan keuntungan hingga triliunan rupiah.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024