Lombok Barat, (Antara) - Lahan seluas 3.487 hektare yang merupakan areal kerja Hutan Kemasyarakatan Sesaot di Kecamatan Narmada dan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dikelola oleh masyarakat secara ilegal karena belum ada izin dari Kementerian Kehutanan.
"Dari total luas areal kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sesaot yang mencapai 3.672 hektare (ha), baru 185 hektare yang sudah terbit izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut), sisanya belum," kata Ketua Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot Ahmad Mulyadi, di Lombok Barat, Senin.
Hal itu diakui Ahmad Mulyadi di depan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, yang melakukan kunjungan kerja ke lokasi areal kerja HKm Sesaot, Kabupaten Lombok Barat.
Ia mengatakan pihaknya sudah mengusulkan sejak 2010 agar Kemenhut menerbitkan izin pencadangan areal kawasan (PAK) dan IUPHKm untuk seluruh areal kerja HKm Sesaot.
Namun hingga saat ini belum ada kejelasan dari Kemenhut. Di sisi lain, masyarakat tetap melakukan aktivitas di dalam kawasan berupa pengambilan hasil hutan bukan kayu (HHBK), meskipun dianggap ilegal.
Dengan belum adanya izin resmi dari Kemenhut, kata Ahmad, pihaknya belum bisa mengontrol bagaimana mekanisme pengelolaan kawasan hutan Sesaot.
"Karena tanpa ada legal formal dari Kemenhut dan bupati, kami sangat sulit mengontrol kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan," ucapnya.
Ahmad menjelaskan, masyarakat berani mengelola karena Hutan Sesaot itu merupakan kawasan hutan produksi terbatas yang dikelola pada 1982 oleh perusahaan. Masyarakat hanya diberdayakan sebagai buruh tebang dan buruh pikul.
Ketika perusahaan selesai melakukan eksploitasi, masyarakat kemudian diberikan akses untuk masuk ke kawasan hutan yang kayunya sudah ditebang untuk ditanami kembali dengan tanaman pokok. Setelah tiga tahun mereka kemudian keluar mencari lokasi lain.
Dalam perjalanan, kata dia, pemerintah kemudian memutuskan kawasan Hutan Sesaot menjadi hutan lindung, sehingga memutuskan tali ekonomi masyarakat yang dulunya menjadi buruh tebang dan buruh pikul.
Melihat kondisi tersebut, Gubernur NTB ketika itu H Gatot Soeherman (alm) mengeluarkan surat keputusan (SK) tentang pemanfaatan kopi di bawah tegakan. Kebijakan itu diterbitkan pada tahun 1986.
"Jadi itulah ruang masyarakat untuk bisa mendapatkan hasil dari kawasan hutan. Sejarahnya demikian. Tapi SK itu sudah dicabut apa belum, kami belum tahu," ucap Ahmad.
Meskipun dikelola secara ilegal, kata dia, bukan berarti masyarakat melakukan perusakan fungsi hutan. Masyarakat justru sangat tergantung dari kelestarian hutan dengan mengambil manfaat berupa HHBK.
Sistem pengelolaan dilakukan melalui empat lembaga kelompok, yakni Kelompok Wana Dharma, Wana Lestari, KMPH dan Wana Abadi. Semua kelompok berada di bawah payung Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot.
"Satu kelompok beranggotakan lebih dari 1.000 orang. Mereka mengelola kawasan sesuai dengan blok yang sudah disepakati bersama," katanya.
"Dari total luas areal kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sesaot yang mencapai 3.672 hektare (ha), baru 185 hektare yang sudah terbit izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut), sisanya belum," kata Ketua Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot Ahmad Mulyadi, di Lombok Barat, Senin.
Hal itu diakui Ahmad Mulyadi di depan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, yang melakukan kunjungan kerja ke lokasi areal kerja HKm Sesaot, Kabupaten Lombok Barat.
Ia mengatakan pihaknya sudah mengusulkan sejak 2010 agar Kemenhut menerbitkan izin pencadangan areal kawasan (PAK) dan IUPHKm untuk seluruh areal kerja HKm Sesaot.
Namun hingga saat ini belum ada kejelasan dari Kemenhut. Di sisi lain, masyarakat tetap melakukan aktivitas di dalam kawasan berupa pengambilan hasil hutan bukan kayu (HHBK), meskipun dianggap ilegal.
Dengan belum adanya izin resmi dari Kemenhut, kata Ahmad, pihaknya belum bisa mengontrol bagaimana mekanisme pengelolaan kawasan hutan Sesaot.
"Karena tanpa ada legal formal dari Kemenhut dan bupati, kami sangat sulit mengontrol kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan," ucapnya.
Ahmad menjelaskan, masyarakat berani mengelola karena Hutan Sesaot itu merupakan kawasan hutan produksi terbatas yang dikelola pada 1982 oleh perusahaan. Masyarakat hanya diberdayakan sebagai buruh tebang dan buruh pikul.
Ketika perusahaan selesai melakukan eksploitasi, masyarakat kemudian diberikan akses untuk masuk ke kawasan hutan yang kayunya sudah ditebang untuk ditanami kembali dengan tanaman pokok. Setelah tiga tahun mereka kemudian keluar mencari lokasi lain.
Dalam perjalanan, kata dia, pemerintah kemudian memutuskan kawasan Hutan Sesaot menjadi hutan lindung, sehingga memutuskan tali ekonomi masyarakat yang dulunya menjadi buruh tebang dan buruh pikul.
Melihat kondisi tersebut, Gubernur NTB ketika itu H Gatot Soeherman (alm) mengeluarkan surat keputusan (SK) tentang pemanfaatan kopi di bawah tegakan. Kebijakan itu diterbitkan pada tahun 1986.
"Jadi itulah ruang masyarakat untuk bisa mendapatkan hasil dari kawasan hutan. Sejarahnya demikian. Tapi SK itu sudah dicabut apa belum, kami belum tahu," ucap Ahmad.
Meskipun dikelola secara ilegal, kata dia, bukan berarti masyarakat melakukan perusakan fungsi hutan. Masyarakat justru sangat tergantung dari kelestarian hutan dengan mengambil manfaat berupa HHBK.
Sistem pengelolaan dilakukan melalui empat lembaga kelompok, yakni Kelompok Wana Dharma, Wana Lestari, KMPH dan Wana Abadi. Semua kelompok berada di bawah payung Forum Kawasan Hutan Lindung Sesaot.
"Satu kelompok beranggotakan lebih dari 1.000 orang. Mereka mengelola kawasan sesuai dengan blok yang sudah disepakati bersama," katanya.