Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Umum DPP Badan Persaudaraan Antariman (DPP Berani) Ardy Susanto menegaskan penggunaan politik identitas harus untuk membangun bangsa dan negara.
"Politik identitas itu tidak tabu karena memang semua terlahir dengan berbagai identitas. Akan tetapi, memang perbedaan identitas harus dipakai untuk membangun, bukan untuk merusak," kata Ardy Susanto di Jakarta, Selasa.
Ardy mengatakan hal itu usai menghadiri acara diskusi bertajuk Politik Identitas Jelang Pemilu 2024, Efektifkah? dengan penyelenggara Badan Persaudaraan Antariman (Berani). Dalam sejarah bangsa Indonesia, kata dia, R.A. Kartini memperjuangkan emansipasi wanita yang merupakan politik identitas berdasarkan gender.
Kartini, lanjut Ardy, menggunakan politik identitas untuk sesuatu yang baik, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga kemanusiaan pada umumnya. "Begitu juga Reformasi 98 sebagai tanda keberhasilan mahasiswa meruntuhkan kekuasaan Orde Baru, juga menunjukkan keberhasilan dengan identitas mahasiswa," katanya menegaskan.
Oleh karena itu, kata Ardy, politik identitas sah-sah saja sejauh untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta merajut keragaman dan persaudaraan. Menurut dia, identitas yang berbeda bukan menjadi alasan bagi elemen masyarakat untuk saling menjelekkan, menghina, dan memecah belah bangsa.
Baca juga: Kapolda Bali minta hindari politik identitas dalam Pemilu 2024
Baca juga: Dewan Pers keluarkan pedoman pemberitaan cegah politik identitas
"Jadi, politik identitas itu tidak menjadi hal yang terlarang apabila dalam konteks yang positif, bukan dalam konteks memecah belah persatuan bangsa," katanya.
Ardy mengimbau kepada para elite politik, partai politik, dan kandidat calon presiden serta para pendukungnya agar tidak memanfaatkan politik identitas pada Pemilu 2024 dengan tujuan memecah belah masyarakat.
Ia berpendapat bahwa politik identitas demikian membuat masyarakat terpolarisasi dan bisa berdampak besar pada integrasi bangsa. "Jangan sampai hanya memanfaatkan politik identitas demi keuntungan elektoral semata tanpa memperhatikan dampak pada keutuhan masyarakat. Sudah saatnya menggunakan politik identitas untuk membangun bangsa seperti R.A. Kartini atau para mahasiswa dan aktivis 98 lalu," katanya.
"Politik identitas itu tidak tabu karena memang semua terlahir dengan berbagai identitas. Akan tetapi, memang perbedaan identitas harus dipakai untuk membangun, bukan untuk merusak," kata Ardy Susanto di Jakarta, Selasa.
Ardy mengatakan hal itu usai menghadiri acara diskusi bertajuk Politik Identitas Jelang Pemilu 2024, Efektifkah? dengan penyelenggara Badan Persaudaraan Antariman (Berani). Dalam sejarah bangsa Indonesia, kata dia, R.A. Kartini memperjuangkan emansipasi wanita yang merupakan politik identitas berdasarkan gender.
Kartini, lanjut Ardy, menggunakan politik identitas untuk sesuatu yang baik, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga kemanusiaan pada umumnya. "Begitu juga Reformasi 98 sebagai tanda keberhasilan mahasiswa meruntuhkan kekuasaan Orde Baru, juga menunjukkan keberhasilan dengan identitas mahasiswa," katanya menegaskan.
Oleh karena itu, kata Ardy, politik identitas sah-sah saja sejauh untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta merajut keragaman dan persaudaraan. Menurut dia, identitas yang berbeda bukan menjadi alasan bagi elemen masyarakat untuk saling menjelekkan, menghina, dan memecah belah bangsa.
Baca juga: Kapolda Bali minta hindari politik identitas dalam Pemilu 2024
Baca juga: Dewan Pers keluarkan pedoman pemberitaan cegah politik identitas
"Jadi, politik identitas itu tidak menjadi hal yang terlarang apabila dalam konteks yang positif, bukan dalam konteks memecah belah persatuan bangsa," katanya.
Ardy mengimbau kepada para elite politik, partai politik, dan kandidat calon presiden serta para pendukungnya agar tidak memanfaatkan politik identitas pada Pemilu 2024 dengan tujuan memecah belah masyarakat.
Ia berpendapat bahwa politik identitas demikian membuat masyarakat terpolarisasi dan bisa berdampak besar pada integrasi bangsa. "Jangan sampai hanya memanfaatkan politik identitas demi keuntungan elektoral semata tanpa memperhatikan dampak pada keutuhan masyarakat. Sudah saatnya menggunakan politik identitas untuk membangun bangsa seperti R.A. Kartini atau para mahasiswa dan aktivis 98 lalu," katanya.