Mataram (ANTARA) - Surat permohonan izin tambang pasir besi PT Anugrah Mitra Graha (AMG) di Blok Dedalpak, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ternyata terbit tidak melalui prosedur yang sah.

Kepala Subbagian Umum Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB Muslim yang hadir sebagai saksi dalam sidang praperadilan tersangka Zainal Abidin di Pengadilan Negeri Mataram, Jumat, mengatakan bahwa surat tersebut tidak melalui bagian umum, melainkan langsung ke kepala bidang mineral dan batu bara (minerba) dan masuk ke kepala dinas.

"Jadi, surat itu tidak masuk dalam catatan registrasi saya di bagian umum," kata Muslim.

Baca juga: Kejati NTB telusuri keterlibatan pihak lain kasus korupsi tambang
Baca juga: Mantan Kepala Dinas ESDM NTB mengajukan praperadilan

Dalam kesaksian di bawah sumpah, Muslim menjelaskan bahwa prosedur permohonan izin tambang seharusnya melalui bagian umum. Setelah teregistrasi, petugas bagian umum akan meneruskan ke kepala dinas.

Dia mengaku tidak mengetahui adanya surat permohonan izin PT AMG tersebut dan baru mengetahui saat penyidik Kejati NTB melakukan penggeledahan di kantor ESDM NTB.

"Saya tahunya setelah ditunjukkan penyidik saat penggeledahan. Di situ ada tanda tangan kepala dinas," ujarnya.

Sebelumnya, Umayah selaku penasihat hukum Zainal Abidin menepis bahwa kliennya menandatangani surat tersebut dan melempar tanggung jawab kepada kabid minerba.

Umayah mengklaim pihak kejaksaan salah sasaran dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka karena pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus ini adalah kabid minerba.

Pada sidang tersebut juga hadir saksi ahli Prof. Amirudin selaku guru besar Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Dalam keterangannya, Amirudin menyatakan sidang praperadilan difokuskan mengenai sah atau tidaknya seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

"Kalau sudah menyinggung materi perkara itu nanti dibahas pada sidang lainnya," ujar Amirudin.

Mengenai sangkaan pidana Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dia mengatakan bahwa penyidik wajib menguatkan dengan alat bukti, salah satunya angka kerugian negara.

"Kerugian negara harus dipastikan jumlahnya. Yang berhak mengaudit kerugian tersebut adalah BPK, bukan BPKP," ucap dia.

Dalam perkara yang kini sedang berproses pada tahap penyidikan tersebut, kejaksaan menggandeng BPKP untuk melakukan audit kerugian negara.

Menurut Amirudin, hal tersebut dilakukan penyidik untuk mempersingkat waktu penanganan.

"Penyidik ini tidak mau repot dan tidak mau lelah makanya menggunakan BPKP karena kalau menggunakan BPK harus menggunakan prosedur dan persetujuan BPK Pusat," katanya.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024