Mataram, (AntaraNTB) - Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram yang dipimpin Sutarno menolak nota keberatan atau eksepsi Edi Rahman, penasihat hukum H Mahrip, terdakwa kasus dugaan penyimpangan pelaksanaan surat perintah perjalanan dinas (SPPD).
Penolakan itu disampaikan majelis hakim dalam agenda penyampaian putusan sela, Rabu, dalam sidang tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Mataram.
"Setelah mendengar tanggapan dari jaksa penuntut umum yang disampaikan Selasa (10/2) mengenai eksepsi yang dibacakan penasihat hukum terdakwa pada Senin (9/2), majelis hakim telah menimbang dan memutuskan untuk melanjutkan persidangan dan menyatakan pengajuan eksepsi terdakwa di tolak," kata Sutarno.
Dijelaskan, setelah mempelajari dan menelaah surat pengajuan eksepsi terdakwa yang disampaikan oleh penasihat hukum, majelis hakim tidak menemukan adanya kekurangan dan kelebihan maupun kekeliruan dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU dalam sidang perdana Kamis (5/2).
"Karena majelis hakim tidak menemukan adanya cacat formil dalam surat dakwaan yang disampaikan JPU, maka secara hukum, surat dakwaannya dinyatakan sah dan tetap menjadi dasar untuk proses peradilan terdakwa," ucapnya.
Terkait hal itu, persidangan akan tetap dilanjutkan dan diagendakan pada pekan depan dengan dasar surat dakwaan JPU. "Karena eksepsi terdakwa ditolak, maka persidangan akan dilanjutkan kembali pada pekan depan," tegasnya.
Majelis hakim yang dipimpin Sutarno didampingi anggotanya M Idris Moh Amin dan Edward Samosir, menyepakati untuk melanjutkan persidangan pada Rabu (18/2) pukul 09.00 WITA.
Sementara itu, Edi Rahman, penasihat hukum terdakwa H Mahrip, mantan Wakil Bupati Lombok Barat, menanggapi hasil putusan sela yang disampaikan majelis hakim, mengatakan hal itu merupakan hasil "final".
Namun timnya akan terus menngikuti persidangan dan mendampingi kliennya hingga proses akhir.
"Kita hadapi saja, kita akan buktikan dalam sidang selanjutnya," ujar Edi Rahman sembari meninggalkan ruangan.
H Mahrip, Wakil Bupati Lombok Barat periode 2009-2014, ditahan pada 7 Januari 2015 terkait adanya dugaan penyalahgunaan SPPD selama lima tahun berturut-turut, terhitung sejak 2009 hingga 2012 dengan kerugian negara mencapai Rp431.675.000.(*)
Penolakan itu disampaikan majelis hakim dalam agenda penyampaian putusan sela, Rabu, dalam sidang tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Mataram.
"Setelah mendengar tanggapan dari jaksa penuntut umum yang disampaikan Selasa (10/2) mengenai eksepsi yang dibacakan penasihat hukum terdakwa pada Senin (9/2), majelis hakim telah menimbang dan memutuskan untuk melanjutkan persidangan dan menyatakan pengajuan eksepsi terdakwa di tolak," kata Sutarno.
Dijelaskan, setelah mempelajari dan menelaah surat pengajuan eksepsi terdakwa yang disampaikan oleh penasihat hukum, majelis hakim tidak menemukan adanya kekurangan dan kelebihan maupun kekeliruan dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU dalam sidang perdana Kamis (5/2).
"Karena majelis hakim tidak menemukan adanya cacat formil dalam surat dakwaan yang disampaikan JPU, maka secara hukum, surat dakwaannya dinyatakan sah dan tetap menjadi dasar untuk proses peradilan terdakwa," ucapnya.
Terkait hal itu, persidangan akan tetap dilanjutkan dan diagendakan pada pekan depan dengan dasar surat dakwaan JPU. "Karena eksepsi terdakwa ditolak, maka persidangan akan dilanjutkan kembali pada pekan depan," tegasnya.
Majelis hakim yang dipimpin Sutarno didampingi anggotanya M Idris Moh Amin dan Edward Samosir, menyepakati untuk melanjutkan persidangan pada Rabu (18/2) pukul 09.00 WITA.
Sementara itu, Edi Rahman, penasihat hukum terdakwa H Mahrip, mantan Wakil Bupati Lombok Barat, menanggapi hasil putusan sela yang disampaikan majelis hakim, mengatakan hal itu merupakan hasil "final".
Namun timnya akan terus menngikuti persidangan dan mendampingi kliennya hingga proses akhir.
"Kita hadapi saja, kita akan buktikan dalam sidang selanjutnya," ujar Edi Rahman sembari meninggalkan ruangan.
H Mahrip, Wakil Bupati Lombok Barat periode 2009-2014, ditahan pada 7 Januari 2015 terkait adanya dugaan penyalahgunaan SPPD selama lima tahun berturut-turut, terhitung sejak 2009 hingga 2012 dengan kerugian negara mencapai Rp431.675.000.(*)