Banda Aceh (ANTARA) - Dosen Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (USK) Fitrah Asma Ulhusna mengatakan bahwa mikroplastik dapat mengancam keberadaan burung migrasi.
"Ketika melihat mikroplastik maka burung dan biota laut akan mengira bahwa itu merupakan makanan dan menimbulkan ilusi kenyang," kata Fitrah Asma Fitrah Ulhusna, di Banda Aceh, Ahad.
Pernyataan tersebut disampaikan Fitrah Asma Ulhusna saat memberikan Sosialisasi World Migratory Bird Day yang dilaksanakan pada 20-21 Mei di Desa Peulanggahan, Banda Aceh.
Dosen Biologi di FKIP USK itu menjelaskan, mikroplastik merupakan fragmen plastik yang berukuran kecil sekitar lima milimeter. Fragmen kecil tersebut berasal dari berbagai sumber seperti pembuangan sampah plastik yang tidak tepat, limbah plastik, atau dekomposisi plastik yang lebih besar.
Ancaman sampah plastik tersebut telah mengganggu habitat burung laut dan air salah satunya burung albatros. Anak burung dengan nama Latin, Diomedeidae mati lantaran induknya memberi makan sampah plastik.
"Itu sudah terjadi di beberapa negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris, sampah plastik mengganggu habitat burung laut maupun air," ujar Asma.
Sementara itu, peneliti burung dari Kelompok Studi Lingkungan Hidup, Heri Tarmizi menyebutkan burung migrasi adalah pergerakan populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat berbiak menuju tempat mencari makan selama iklim di tempat berbiak tidak memungkinkan.
"Migrasi tersebut dilakukan untuk mencari makanan dan mencari habitat yang sesuai agar dapat bertahan hidup," katanya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan kampanye global migrasi burung tersebut diperingati oleh dunia setiap pekan kedua di bulan Mei. Pada tahun ini, temanya adalah pentingnya air bagi burung yang bermigrasi dan menyerukan pentingnya aksi melindungi sumber daya air dan ekosistem perairan.
Adapun saat ini, habitat burung migrasi sendiri terancam akibat polusi air oleh plastik dan mikroplastik di feeding area. Data kematian burung akibat plastik pun meningkat.
"Sebanyak 89 persen burung ditemukan mati karena partikel plastik di perutnya dan sebanyak 90 persen burung laut di seluruh dunia memakan plastik setiap tahunnya," ujarnya.
Ia menjelaskan, plastik dan mikroplastik sendiri dapat menyebabkan efek gangguan fisik kepada burung, yakni terjerat, cedera, tenggelam, hingga mati lemas, dan dapat menyebabkan tukak lambung, obstruksi usus, perforasi usus, dan rasa kenyang palsu.
Selain itu, mikroplastik juga menjadi efek toksik/racun bagi burung yang dapat menyebabkan penundaan ovulasi, tertunda pematangan seksual, hasil reproduksi berkurang, terganggu pencernaan, dan rusaknya imun.
Baca juga: Ekonomi digital muncul di bidang lingkungan hidup
Baca juga: Standar industri hijau tingkatkan daya saing
"Karena itu, semua pihak diharapkan dapat menjaga habitat dan kawasan feeding dari sampah plastik dengan cara mengurangi penggunaan bahan plastik, mendaur ulang sampah plastik, memilah sampah, dan membersihkan pantai," demikian Heri Tarmizi.
"Ketika melihat mikroplastik maka burung dan biota laut akan mengira bahwa itu merupakan makanan dan menimbulkan ilusi kenyang," kata Fitrah Asma Fitrah Ulhusna, di Banda Aceh, Ahad.
Pernyataan tersebut disampaikan Fitrah Asma Ulhusna saat memberikan Sosialisasi World Migratory Bird Day yang dilaksanakan pada 20-21 Mei di Desa Peulanggahan, Banda Aceh.
Dosen Biologi di FKIP USK itu menjelaskan, mikroplastik merupakan fragmen plastik yang berukuran kecil sekitar lima milimeter. Fragmen kecil tersebut berasal dari berbagai sumber seperti pembuangan sampah plastik yang tidak tepat, limbah plastik, atau dekomposisi plastik yang lebih besar.
Ancaman sampah plastik tersebut telah mengganggu habitat burung laut dan air salah satunya burung albatros. Anak burung dengan nama Latin, Diomedeidae mati lantaran induknya memberi makan sampah plastik.
"Itu sudah terjadi di beberapa negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris, sampah plastik mengganggu habitat burung laut maupun air," ujar Asma.
Sementara itu, peneliti burung dari Kelompok Studi Lingkungan Hidup, Heri Tarmizi menyebutkan burung migrasi adalah pergerakan populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat berbiak menuju tempat mencari makan selama iklim di tempat berbiak tidak memungkinkan.
"Migrasi tersebut dilakukan untuk mencari makanan dan mencari habitat yang sesuai agar dapat bertahan hidup," katanya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan kampanye global migrasi burung tersebut diperingati oleh dunia setiap pekan kedua di bulan Mei. Pada tahun ini, temanya adalah pentingnya air bagi burung yang bermigrasi dan menyerukan pentingnya aksi melindungi sumber daya air dan ekosistem perairan.
Adapun saat ini, habitat burung migrasi sendiri terancam akibat polusi air oleh plastik dan mikroplastik di feeding area. Data kematian burung akibat plastik pun meningkat.
"Sebanyak 89 persen burung ditemukan mati karena partikel plastik di perutnya dan sebanyak 90 persen burung laut di seluruh dunia memakan plastik setiap tahunnya," ujarnya.
Ia menjelaskan, plastik dan mikroplastik sendiri dapat menyebabkan efek gangguan fisik kepada burung, yakni terjerat, cedera, tenggelam, hingga mati lemas, dan dapat menyebabkan tukak lambung, obstruksi usus, perforasi usus, dan rasa kenyang palsu.
Selain itu, mikroplastik juga menjadi efek toksik/racun bagi burung yang dapat menyebabkan penundaan ovulasi, tertunda pematangan seksual, hasil reproduksi berkurang, terganggu pencernaan, dan rusaknya imun.
Baca juga: Ekonomi digital muncul di bidang lingkungan hidup
Baca juga: Standar industri hijau tingkatkan daya saing
"Karena itu, semua pihak diharapkan dapat menjaga habitat dan kawasan feeding dari sampah plastik dengan cara mengurangi penggunaan bahan plastik, mendaur ulang sampah plastik, memilah sampah, dan membersihkan pantai," demikian Heri Tarmizi.