Mataram (ANTARA) - Saksi yang hadir dalam sidang lanjutan perkara korupsi pada program bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) pada tahun anggaran 2018 untuk kalangan petani di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, mengungkap ada penarikan biaya administrasi dalam penyaluran.
"Ada uang Rp13 juta yang saya diminta untuk biaya administrasi, Rp5 juta untuk traktor roda dua, dan 4 unit mesin air masing-masing senilai Rp750 ribu," kata Fauzul Aryandi, saksi dari kalangan petani yang memberikan keterangan di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Rabu.
Ia menyerahkan uang tersebut kepada Amrullah, orang yang menawarkan bantuan alsintan.
"Saya tidak tahu uang itu untuk apa. Akan tetapi, yang jelas uang itu saya berikan kepada Amrullah," ujarnya.
Terkait dengan kelompok petani (poktan) miliknya masuk dalam daftar penerima bantuan alsintan, Fauzul mengaku tidak mengetahui hal tersebut.
"Apakah sudah ditetapkan sebagai penerima melalui SK? Saya tidak tahu itu. Saya hanya ditawarkan saja sama Amrullah," ucap Fauzul yang kini tercatat sebagai anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur tersebut.
Meskipun demikian, Fauzul meyakinkan bahwa alsintan tersebut kini menjadi sarana utama dalam memenuhi kebutuhan operasi pertanian milik kelompoknya.
"Mesinnya ada semua di poktan, dan saat ini masih digunakan oleh para petani," katanya.
Saksi lainnya yang turut memberikan keterangan adalah Mariana, anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur.
Kepada hakim, dia mengaku menerima bantuan alsintan berupa 4 unit mesin pompa air dari terdakwa Asri Mardianto.
"Mesin pompa air seluruhnya masih ada dimanfaatkan kelompok tani kami, sementara untuk traktor tidak dapat," ujar Mariana.
Mariana mendapatkan bantuan tersebut dari Asri Mardianto berdasarkan adanya informasi poktan lain sudah menerima bantuan.
"Setelah ada poktan yang kabarnya mendapat bantuan, langsung saya tagih kepada Pak Saprudin (terdakwa)," katanya.
Ia menagih bantuan tersebut karena sebelum program bergulir, Saprudin memberikan janji jatah alsintan.
"Jadi, setelah saya tagih Saprudin, saya diminta ambil di tempat Pak Asri (terdakwa)," ucapnya.
Asri Mardianto dalam perkara ini menerima perintah dari Saprudin yang saat itu juga menjabat sebagai anggota legislatif pada tahun 2018 untuk membentuk tiga usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA), yakni UPJA Lemor Maju, UPJA Cahaya Pelita, dan UPJA Pelita Jaya.
Namun, jaksa menyatakan bahwa pembentukan UPJA tersebut tidak sesuai dengan aturan. Menurut jaksa, pembentukan UPJA harus memiliki struktur organisasi kepengurusan dan melalui pengesahan bupati/wali kota. Dalam proses persidangan, jaksa mengungkap bahwa pembentukan UPJA hanya formalitas.
Meskipun demikian, Saprudin tetap menyerahkan berkas pembentukan UPJA tersebut kepada terdakwa Zaeni yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian Lombok Timur.
Selain itu, Saprudin memerintahkan saksi Mastur yang menjabat sebagai Kasi Alsintan pada Dinas Pertanian Lombok Timur untuk membuat surat keputusan (SK) calon penerima bantuan alsintan. Jaksa pun mengungkap dalam persidangan bahwa pembuatan daftar penerima alsintan tidak melalui proses verifikasi.
Nama penerima bantuan alsintan pun dikatakan tidak sesuai dengan pedoman dan ketentuan program.
Dengan adanya penerbitan SK tersebut, alsintan disalurkan Kementerian Pertanian ke Dinas Pertanian Lombok Timur. Usai penerimaan, Asri bersama Saprudin menyimpan seluruh alsintan.
Dalam hal ini, jaksa menyatakan dalam dakwaan bahwa Asri dan Saprudin telah mengambil, menyimpan, dan mengelola secara pribadi seluruh alsintan.
Sesuai dengan perincian data, ada 14 unit traktor roda dua dan 1 unit traktor roda empat yang dikelola Asri Mardianto. Sementara itu, yang dikelola Saprudin sebanyak 16 unit traktor roda dua. Untuk 65 unit pompa air dan 117 hand sprayer dikelola bersama oleh Saprudin dan Asri.
Dalam perkara ini, jaksa menguraikan adanya kerugian negara sebesar Rp3,81 miliar. Sesuai dengan hasil audit ahli dari BPKP NTB, angka tersebut muncul dari penyaluran alsintan yang tidak sesuai dengan prosedur dan adanya unsur pemanfaatan untuk kepentingan pribadi ketiga terdakwa.
"Ada uang Rp13 juta yang saya diminta untuk biaya administrasi, Rp5 juta untuk traktor roda dua, dan 4 unit mesin air masing-masing senilai Rp750 ribu," kata Fauzul Aryandi, saksi dari kalangan petani yang memberikan keterangan di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Rabu.
Ia menyerahkan uang tersebut kepada Amrullah, orang yang menawarkan bantuan alsintan.
"Saya tidak tahu uang itu untuk apa. Akan tetapi, yang jelas uang itu saya berikan kepada Amrullah," ujarnya.
Terkait dengan kelompok petani (poktan) miliknya masuk dalam daftar penerima bantuan alsintan, Fauzul mengaku tidak mengetahui hal tersebut.
"Apakah sudah ditetapkan sebagai penerima melalui SK? Saya tidak tahu itu. Saya hanya ditawarkan saja sama Amrullah," ucap Fauzul yang kini tercatat sebagai anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur tersebut.
Meskipun demikian, Fauzul meyakinkan bahwa alsintan tersebut kini menjadi sarana utama dalam memenuhi kebutuhan operasi pertanian milik kelompoknya.
"Mesinnya ada semua di poktan, dan saat ini masih digunakan oleh para petani," katanya.
Saksi lainnya yang turut memberikan keterangan adalah Mariana, anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur.
Kepada hakim, dia mengaku menerima bantuan alsintan berupa 4 unit mesin pompa air dari terdakwa Asri Mardianto.
"Mesin pompa air seluruhnya masih ada dimanfaatkan kelompok tani kami, sementara untuk traktor tidak dapat," ujar Mariana.
Mariana mendapatkan bantuan tersebut dari Asri Mardianto berdasarkan adanya informasi poktan lain sudah menerima bantuan.
"Setelah ada poktan yang kabarnya mendapat bantuan, langsung saya tagih kepada Pak Saprudin (terdakwa)," katanya.
Ia menagih bantuan tersebut karena sebelum program bergulir, Saprudin memberikan janji jatah alsintan.
"Jadi, setelah saya tagih Saprudin, saya diminta ambil di tempat Pak Asri (terdakwa)," ucapnya.
Asri Mardianto dalam perkara ini menerima perintah dari Saprudin yang saat itu juga menjabat sebagai anggota legislatif pada tahun 2018 untuk membentuk tiga usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA), yakni UPJA Lemor Maju, UPJA Cahaya Pelita, dan UPJA Pelita Jaya.
Namun, jaksa menyatakan bahwa pembentukan UPJA tersebut tidak sesuai dengan aturan. Menurut jaksa, pembentukan UPJA harus memiliki struktur organisasi kepengurusan dan melalui pengesahan bupati/wali kota. Dalam proses persidangan, jaksa mengungkap bahwa pembentukan UPJA hanya formalitas.
Meskipun demikian, Saprudin tetap menyerahkan berkas pembentukan UPJA tersebut kepada terdakwa Zaeni yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian Lombok Timur.
Selain itu, Saprudin memerintahkan saksi Mastur yang menjabat sebagai Kasi Alsintan pada Dinas Pertanian Lombok Timur untuk membuat surat keputusan (SK) calon penerima bantuan alsintan. Jaksa pun mengungkap dalam persidangan bahwa pembuatan daftar penerima alsintan tidak melalui proses verifikasi.
Nama penerima bantuan alsintan pun dikatakan tidak sesuai dengan pedoman dan ketentuan program.
Dengan adanya penerbitan SK tersebut, alsintan disalurkan Kementerian Pertanian ke Dinas Pertanian Lombok Timur. Usai penerimaan, Asri bersama Saprudin menyimpan seluruh alsintan.
Dalam hal ini, jaksa menyatakan dalam dakwaan bahwa Asri dan Saprudin telah mengambil, menyimpan, dan mengelola secara pribadi seluruh alsintan.
Sesuai dengan perincian data, ada 14 unit traktor roda dua dan 1 unit traktor roda empat yang dikelola Asri Mardianto. Sementara itu, yang dikelola Saprudin sebanyak 16 unit traktor roda dua. Untuk 65 unit pompa air dan 117 hand sprayer dikelola bersama oleh Saprudin dan Asri.
Dalam perkara ini, jaksa menguraikan adanya kerugian negara sebesar Rp3,81 miliar. Sesuai dengan hasil audit ahli dari BPKP NTB, angka tersebut muncul dari penyaluran alsintan yang tidak sesuai dengan prosedur dan adanya unsur pemanfaatan untuk kepentingan pribadi ketiga terdakwa.