Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menyampaikan isu-isu medis krusial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang dibahas oleh DPR RI.
"Ini adalah isu-isu krusial di bidang medis yang juga disuarakan oleh teman-teman dari YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)," kata Adib dalam seminar nasional mengenai RUU Kesehatan yang diikuti via daring dari Jakarta, Ahad.
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Jamkes Watch, dia mengatakan bahwa isu medis krusial dalam RUU Kesehatan salah satunya berkenaan dengan masa berlaku Surat Tanda Registrasi (STR), dokumen hukum/tanda bukti tertulis bagi dokter dan dokter spesialis bahwa yang bersangkutan telah mendaftarkan diri dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan serta telah diregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia.
Ia mengatakan bahwa menurut usul pemerintah STR diberlakukan seumur hidup, sementara dalam draf RUU Kesehatan dari Badan Legislatif dibuat per lima tahun.
"Bedakan antara pengakuan kualifikasi, kompetensi, dengan administrasi. Kalau SIP (Surat Izin Praktik) itu administrasi, tapi kalau pengakuan kualifikasi maka harus teregister," katanya.
Adib mengemukakan bahwa re-sertifikasi STR yang berlaku di seluruh negara rata-rata per dua tahun, sedangkan di Indonesia per lima tahun.
"Tapi yang disampaikan suara di luar sana, sepertinya STR/SIP dipersulit oleh IDI atau organisasi profesi," katanya.
Adib menyampaikan hasil survei IDI yang menunjukkan lebih dari 80 persen responden merasa tidak mengalami kesulitan mengurus STR dan SIP, hanya satu dua orang saja yang mengaku masih kesulitan.
"Itu yang kemudian di-blow up seakan-akan dipersulit," katanya.
Isu krusial lainnya, ia mengatakan, berkenaan dengan izin tenaga kesehatan asing masuk ke Indonesia hanya dengan portofolio yang menunjukkan yang bersangkutan pernah berpraktik selama lima tahun.
Menurut Adib, kebijakan yang demikian berpotensi menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dan membuka peluang masuknya dokter palsu.
"Pernah di BSD, Tangerang, kami usir karena dia berpraktik dan ternyata dia ada masalah. Pernah ada juga dokter ahli kanker dari Singapura, ke mana-mana dia jualan sebagai ahli onkologi dan pasiennya banyak, setelah kami telusuri dia bukan pakar onkologi," katanya.
Adib mengemukakan bahwa kolega dalam organisasi profesi juga menjalankan fungsi pengawasan mutu dan keamanan layanan dokter kepada pasien.
"Keberadaan organisasi profesi adalah membantu negara dalam menjamin keselamatan pasien dan rakyat," ujarnya.
IDI dan organisasi profesi kesehatan juga menyoroti masalah pengelolaan data kesehatan yang dapat dilakukan penyelenggara sistem informasi yang berada di luar negeri.
IDI mengkritik rencana pemberian kewenangan kepada Menteri Kesehatan untuk mentransfer data ke luar negeri dengan tujuan spesifik.
"Namun, tidak dijelaskan apa tujuan spesifiknya, termasuk data genetik," kata Adib.
Baca juga: Ombudsman sarankan pembagian wewenang dipertegas di RUU kesehatan
Baca juga: Pemprov Lampung menerima aspirasi nakes mengenai RUU Kesehatan
Di samping itu, IDI menyoroti persoalan penghapusan amanah anggaran kesehatan serta pemanfaatan organ transplantasi tanpa persetujuan keluarga dalam RUU Kesehatan.
"Ini adalah isu-isu krusial di bidang medis yang juga disuarakan oleh teman-teman dari YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)," kata Adib dalam seminar nasional mengenai RUU Kesehatan yang diikuti via daring dari Jakarta, Ahad.
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Jamkes Watch, dia mengatakan bahwa isu medis krusial dalam RUU Kesehatan salah satunya berkenaan dengan masa berlaku Surat Tanda Registrasi (STR), dokumen hukum/tanda bukti tertulis bagi dokter dan dokter spesialis bahwa yang bersangkutan telah mendaftarkan diri dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan serta telah diregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia.
Ia mengatakan bahwa menurut usul pemerintah STR diberlakukan seumur hidup, sementara dalam draf RUU Kesehatan dari Badan Legislatif dibuat per lima tahun.
"Bedakan antara pengakuan kualifikasi, kompetensi, dengan administrasi. Kalau SIP (Surat Izin Praktik) itu administrasi, tapi kalau pengakuan kualifikasi maka harus teregister," katanya.
Adib mengemukakan bahwa re-sertifikasi STR yang berlaku di seluruh negara rata-rata per dua tahun, sedangkan di Indonesia per lima tahun.
"Tapi yang disampaikan suara di luar sana, sepertinya STR/SIP dipersulit oleh IDI atau organisasi profesi," katanya.
Adib menyampaikan hasil survei IDI yang menunjukkan lebih dari 80 persen responden merasa tidak mengalami kesulitan mengurus STR dan SIP, hanya satu dua orang saja yang mengaku masih kesulitan.
"Itu yang kemudian di-blow up seakan-akan dipersulit," katanya.
Isu krusial lainnya, ia mengatakan, berkenaan dengan izin tenaga kesehatan asing masuk ke Indonesia hanya dengan portofolio yang menunjukkan yang bersangkutan pernah berpraktik selama lima tahun.
Menurut Adib, kebijakan yang demikian berpotensi menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dan membuka peluang masuknya dokter palsu.
"Pernah di BSD, Tangerang, kami usir karena dia berpraktik dan ternyata dia ada masalah. Pernah ada juga dokter ahli kanker dari Singapura, ke mana-mana dia jualan sebagai ahli onkologi dan pasiennya banyak, setelah kami telusuri dia bukan pakar onkologi," katanya.
Adib mengemukakan bahwa kolega dalam organisasi profesi juga menjalankan fungsi pengawasan mutu dan keamanan layanan dokter kepada pasien.
"Keberadaan organisasi profesi adalah membantu negara dalam menjamin keselamatan pasien dan rakyat," ujarnya.
IDI dan organisasi profesi kesehatan juga menyoroti masalah pengelolaan data kesehatan yang dapat dilakukan penyelenggara sistem informasi yang berada di luar negeri.
IDI mengkritik rencana pemberian kewenangan kepada Menteri Kesehatan untuk mentransfer data ke luar negeri dengan tujuan spesifik.
"Namun, tidak dijelaskan apa tujuan spesifiknya, termasuk data genetik," kata Adib.
Baca juga: Ombudsman sarankan pembagian wewenang dipertegas di RUU kesehatan
Baca juga: Pemprov Lampung menerima aspirasi nakes mengenai RUU Kesehatan
Di samping itu, IDI menyoroti persoalan penghapusan amanah anggaran kesehatan serta pemanfaatan organ transplantasi tanpa persetujuan keluarga dalam RUU Kesehatan.