Mataram (ANTARA) - Majelis hakim menjatuhkan vonis tiga tahun penjara kepada mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, M. Tayeb dalam perkara korupsi program penyaluran bantuan sarana produksi dan cetak sawah baru tahun anggaran 2016.
"Menjatuhkan vonis hukuman tiga tahun penjara kepada terdakwa M. Tayeb sesuai dakwaan subsider penuntut umum," kata Ketua Majelis Hakim Putu Gde Hariadi saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu.
Dakwaan subsider tersebut berkaitan dengan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang menetapkan terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan dalam jabatan.
Selain pidana hukuman, hakim turut menetapkan pidana denda Rp100 juta subsider satu bulan kurungan dan uang pengganti kerugian negara Rp130 juta subsider satu tahun kurungan.
Untuk nominal uang pengganti, hakim menetapkan dengan merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi.
Dengan rujukan aturan tersebut, hakim mengesampingkan hasil audit BPKP NTB senilai Rp5,1 miliar dan menetapkan kerugian yang muncul dalam perkara ini sebesar Rp260 juta.
Hakim dalam putusannya turut menetapkan uang titipan terdakwa kepada Kejari Bima sebesar Rp12,5 juta dirampas untuk negara.
"Dirampas sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti kerugian negara," ujarnya.
Usai mendengar putusan, terdakwa melalui tim penasihat hukum menyatakan pikir-pikir untuk upaya hukum banding. Hal demikian turut disampaikan Suryo Dwiguno, jaksa penuntut umum yang mewakili di persidangan.
Lebih lanjut, Aan Ramadhan selaku penasihat hukum terdakwa yang ditemui usai persidangan menyayangkan keputusan majelis hakim yang membebankan uang pengganti tersebut.
"Sidang ini tidak fair. Dari mana hakim dapat angka uang pengganti Rp130 juta itu, sedangkan selama persidangan tidak ada terungkap fakta terdakwa menikmati kerugian negara," ucap Aan.
Dia menilai pihak yang menikmati kerugian negara dalam perkara ini adalah dua terdakwa lain, yakni mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima Muhammad dan Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif Nur Mayangsari.
Begitu juga dengan penitipan Rp12,5 juta saat persidangan. Aan menyayangkan hal tersebut masuk dalam keputusan hakim sebagai uang pengganti kerugian negara.
"Padahal Rp12,5 juta itu pinjaman sementara terdakwa untuk berdinas. Itu uang pinjaman bukan uang proyek, dipinjam sebelum proyek terlaksana. Kenapa malah masuk uang pengganti kerugian negara?" ujarnya.
Dia pun menyatakan setuju dengan keputusan hakim yang menetapkan perbuatan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 3 undang-undang pemberantasan tipikor.
"Setuju gunakan pasal 3, karena terdakwa tidak ada menikmati, memperkaya diri itu tidak terbukti di persidangan. Lebih berkaitan dengan masalah administrasi, penyalahgunaan kewenangan," kata dia.
Anggaran dalam program penyaluran ini senilai Rp14,4 miliar. Anggaran itu berasal dari Kementerian Pertanian RI. Program ini disalurkan dengan tujuan peningkatan produksi pangan di Kabupaten Bima.
Tercatat ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare.
Penyaluran anggaran dilakukan secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan. Proses pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
"Menjatuhkan vonis hukuman tiga tahun penjara kepada terdakwa M. Tayeb sesuai dakwaan subsider penuntut umum," kata Ketua Majelis Hakim Putu Gde Hariadi saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu.
Dakwaan subsider tersebut berkaitan dengan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang menetapkan terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan dalam jabatan.
Selain pidana hukuman, hakim turut menetapkan pidana denda Rp100 juta subsider satu bulan kurungan dan uang pengganti kerugian negara Rp130 juta subsider satu tahun kurungan.
Untuk nominal uang pengganti, hakim menetapkan dengan merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi.
Dengan rujukan aturan tersebut, hakim mengesampingkan hasil audit BPKP NTB senilai Rp5,1 miliar dan menetapkan kerugian yang muncul dalam perkara ini sebesar Rp260 juta.
Hakim dalam putusannya turut menetapkan uang titipan terdakwa kepada Kejari Bima sebesar Rp12,5 juta dirampas untuk negara.
"Dirampas sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti kerugian negara," ujarnya.
Usai mendengar putusan, terdakwa melalui tim penasihat hukum menyatakan pikir-pikir untuk upaya hukum banding. Hal demikian turut disampaikan Suryo Dwiguno, jaksa penuntut umum yang mewakili di persidangan.
Lebih lanjut, Aan Ramadhan selaku penasihat hukum terdakwa yang ditemui usai persidangan menyayangkan keputusan majelis hakim yang membebankan uang pengganti tersebut.
"Sidang ini tidak fair. Dari mana hakim dapat angka uang pengganti Rp130 juta itu, sedangkan selama persidangan tidak ada terungkap fakta terdakwa menikmati kerugian negara," ucap Aan.
Dia menilai pihak yang menikmati kerugian negara dalam perkara ini adalah dua terdakwa lain, yakni mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima Muhammad dan Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif Nur Mayangsari.
Begitu juga dengan penitipan Rp12,5 juta saat persidangan. Aan menyayangkan hal tersebut masuk dalam keputusan hakim sebagai uang pengganti kerugian negara.
"Padahal Rp12,5 juta itu pinjaman sementara terdakwa untuk berdinas. Itu uang pinjaman bukan uang proyek, dipinjam sebelum proyek terlaksana. Kenapa malah masuk uang pengganti kerugian negara?" ujarnya.
Dia pun menyatakan setuju dengan keputusan hakim yang menetapkan perbuatan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 3 undang-undang pemberantasan tipikor.
"Setuju gunakan pasal 3, karena terdakwa tidak ada menikmati, memperkaya diri itu tidak terbukti di persidangan. Lebih berkaitan dengan masalah administrasi, penyalahgunaan kewenangan," kata dia.
Anggaran dalam program penyaluran ini senilai Rp14,4 miliar. Anggaran itu berasal dari Kementerian Pertanian RI. Program ini disalurkan dengan tujuan peningkatan produksi pangan di Kabupaten Bima.
Tercatat ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare.
Penyaluran anggaran dilakukan secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan. Proses pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.