Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri adanya dugaan aliran suap dan gratifikasi dalam kasus tambang pasir besi PT Anugrah Mitra Graha (AMG).
"Iya, kami sudah ke PPATK, telusuri aliran dana kemana saja. Jadi, ini sedang berjalan juga," kata Kepala Kejati NTB Nanang Ibrahim Soleh di Mataram, Jumat.
Dengan menyampaikan hal demikian, dia meyakinkan bahwa penanganan kasus tambang PT AMG ini masih terus berkembang. Oleh karena itu, ada peluang untuk penyidik menyeret tersangka lain dalam dugaan suap dan gratifikasi tersebut.
"Jadi, tunggu saja tanggal main-nya," ujar dia.
Dalam penanganan kasus tambang PT AMG, Kejati NTB pada Kamis (20/7) malam, kembali melakukan penetapan tersangka baru dan langsung melakukan penahanan di Lapas Kelas IIA Mataram.
Tersangka baru tersebut berjumlah tiga orang. Mereka terungkap berinisial MH, yang merupakan mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB, SM, mantan Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas ESDM NTB yang kini masih aktif sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Dompu, dan SI, Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Labuhan Lombok.
Sebagai tersangka, penyidik menerapkan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus korupsi tambang PT AMG, penyidik juga sebelumnya telah menetapkan tiga tersangka, yakni Kepala Cabang PT AMG Kabupaten Lombok Timur berinisial RA, Direktur PT AMG berinisial PSW dan mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB berinisial ZA.
Untuk penanganan kasus ketiga tersangka tersebut kini tinggal menunggu pelimpahan berkas oleh jaksa penuntut umum ke pengadilan.
PT AMG yang berkantor pusat di Jakarta Utara itu terungkap mengantongi legalitas izin penambangan pasir besi di Blok Dedalpak dengan luas lahan 1.348 hektare. Izin tersebut berlaku selama 15 tahun terhitung sejak 2011 hingga 2026.
Izin terbit berdasarkan Surat Keputusan Bupati Lombok Timur Nomor: 2821/503/PPT.II/2011 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi Bahan Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikut di Blok Dedalpak yang masuk dalam Kecamatan Pringgabaya dan Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur.
Dalam kasus ini terungkap adanya indikasi PT AMG melakukan penambangan pada Blok Dedalpak tanpa mendapatkan persetujuan RKAB tahunan dari Kementerian ESDM. Aktivitas tambang demikian berlangsung dalam periode 2021 sampai 2022.
Menurut aturan, persetujuan RKAB tersebut merupakan tiket bagi perusahaan tambang untuk beroperasi. Dalam aturan, ada ketetapan tarif iuran produksi atau royalti yang wajib disetorkan pihak perusahaan kepada pemerintah dalam setiap penjualan komoditas tambang.
Aturannya sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Dalam regulasi tersebut, pemerintah menetapkan tarif royalti untuk komoditas pasir besi sebesar 10 persen dari harga jual.
Dari proses penyidikan, kejaksaan telah menerima hasil audit dari BPKP NTB dengan nilai kerugian Rp36 miliar.
"Iya, kami sudah ke PPATK, telusuri aliran dana kemana saja. Jadi, ini sedang berjalan juga," kata Kepala Kejati NTB Nanang Ibrahim Soleh di Mataram, Jumat.
Dengan menyampaikan hal demikian, dia meyakinkan bahwa penanganan kasus tambang PT AMG ini masih terus berkembang. Oleh karena itu, ada peluang untuk penyidik menyeret tersangka lain dalam dugaan suap dan gratifikasi tersebut.
"Jadi, tunggu saja tanggal main-nya," ujar dia.
Dalam penanganan kasus tambang PT AMG, Kejati NTB pada Kamis (20/7) malam, kembali melakukan penetapan tersangka baru dan langsung melakukan penahanan di Lapas Kelas IIA Mataram.
Tersangka baru tersebut berjumlah tiga orang. Mereka terungkap berinisial MH, yang merupakan mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB, SM, mantan Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas ESDM NTB yang kini masih aktif sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Dompu, dan SI, Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Labuhan Lombok.
Sebagai tersangka, penyidik menerapkan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus korupsi tambang PT AMG, penyidik juga sebelumnya telah menetapkan tiga tersangka, yakni Kepala Cabang PT AMG Kabupaten Lombok Timur berinisial RA, Direktur PT AMG berinisial PSW dan mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB berinisial ZA.
Untuk penanganan kasus ketiga tersangka tersebut kini tinggal menunggu pelimpahan berkas oleh jaksa penuntut umum ke pengadilan.
PT AMG yang berkantor pusat di Jakarta Utara itu terungkap mengantongi legalitas izin penambangan pasir besi di Blok Dedalpak dengan luas lahan 1.348 hektare. Izin tersebut berlaku selama 15 tahun terhitung sejak 2011 hingga 2026.
Izin terbit berdasarkan Surat Keputusan Bupati Lombok Timur Nomor: 2821/503/PPT.II/2011 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi Bahan Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikut di Blok Dedalpak yang masuk dalam Kecamatan Pringgabaya dan Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur.
Dalam kasus ini terungkap adanya indikasi PT AMG melakukan penambangan pada Blok Dedalpak tanpa mendapatkan persetujuan RKAB tahunan dari Kementerian ESDM. Aktivitas tambang demikian berlangsung dalam periode 2021 sampai 2022.
Menurut aturan, persetujuan RKAB tersebut merupakan tiket bagi perusahaan tambang untuk beroperasi. Dalam aturan, ada ketetapan tarif iuran produksi atau royalti yang wajib disetorkan pihak perusahaan kepada pemerintah dalam setiap penjualan komoditas tambang.
Aturannya sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Dalam regulasi tersebut, pemerintah menetapkan tarif royalti untuk komoditas pasir besi sebesar 10 persen dari harga jual.
Dari proses penyidikan, kejaksaan telah menerima hasil audit dari BPKP NTB dengan nilai kerugian Rp36 miliar.