Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menemukan potensi kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat (DAPM) Periode 2017-2021 senilai Rp700 juta.
"Dari hasil hitung mandiri kami itu muncul kerugian Rp700 juta," kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Lombok Timur Lalu Mohamad Rasyidi melalui sambungan telepon, Jumat.
Dengan adanya hasil hitung mandiri tersebut, jelas dia, kejaksaan melakukan gelar perkara bersama auditor dari inspektorat. Dalam gelar perkara itu, Rasyidi mengatakan bahwa pihaknya telah menyerahkan hasil hitung mandiri tersebut.
"Jadi, hasil hitung itu sudah kami serahkan ke tim audit untuk divalidasi kembali. Nanti kalau sudah ada hasil resmi dari inspektorat, baru bisa kami tentukan peran tersangka," ujarnya.
Pengelolaan DAPM ini bersumber dari dana hibah APBN dalam program bantuan layanan masyarakat (BLM) tahun 2009. Program ini bergulir di tengah masyarakat. Mereka bisa mendapatkan bantuan dana dalam bentuk kredit usaha kelompok.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Timur Isa Ansyori sebelumnya menjelaskan bahwa DAPM ini merupakan transformasi dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan 2014 yang kini beroperasi menggunakan anggaran program BLM.
Pengurus DAPM, jelas dia, mengelola kredit usaha untuk masyarakat berdasarkan akta notaris sesuai syarat pemerintah pusat. Mereka berada di setiap kecamatan dengan status unit pengelolaan kegiatan (UPK) DAPM.
Dari catatan kejaksaan, DAPM di Kabupaten Lombok Timur beroperasi dengan menggunakan sisa anggaran PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2009. Negara tercatat menggelontorkan dana hibah untuk Kabupaten Lombok Timur secara bertahap dengan total akhir pada tahun 2014 sebesar Rp1,5 miliar.
Isa mengatakan dana itu terus berkembang dari keuntungan setoran kredit usaha kelompok masyarakat. Untuk di Kecamatan Suela saja, kata dia, pengurus DAPM kini mengelola dana sedikitnya Rp4 miliar.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa kejaksaan sudah mendapatkan keterangan yang menguatkan adanya perbuatan melawan hukum (PMH) dari pengelolaan DAPM. Indikasi pidana tersebut berkaitan dengan setoran kredit yang tidak sampai ke UPK tingkat kecamatan.
Salah satu masalah yang muncul, jelas dia, uang setoran kredit usaha dari kelompok masyarakat yang sudah dititipkan melalui pendamping tidak sampai ke UPK.
Dugaan lain, katanya, berkaitan dengan pencairan kredit usaha fiktif. Potensi pidana tersebut muncul karena tidak ada jaminan yang harus diberikan penerima kredit kepada pengurus DAPM.
"Dari hasil hitung mandiri kami itu muncul kerugian Rp700 juta," kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Lombok Timur Lalu Mohamad Rasyidi melalui sambungan telepon, Jumat.
Dengan adanya hasil hitung mandiri tersebut, jelas dia, kejaksaan melakukan gelar perkara bersama auditor dari inspektorat. Dalam gelar perkara itu, Rasyidi mengatakan bahwa pihaknya telah menyerahkan hasil hitung mandiri tersebut.
"Jadi, hasil hitung itu sudah kami serahkan ke tim audit untuk divalidasi kembali. Nanti kalau sudah ada hasil resmi dari inspektorat, baru bisa kami tentukan peran tersangka," ujarnya.
Pengelolaan DAPM ini bersumber dari dana hibah APBN dalam program bantuan layanan masyarakat (BLM) tahun 2009. Program ini bergulir di tengah masyarakat. Mereka bisa mendapatkan bantuan dana dalam bentuk kredit usaha kelompok.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Timur Isa Ansyori sebelumnya menjelaskan bahwa DAPM ini merupakan transformasi dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan 2014 yang kini beroperasi menggunakan anggaran program BLM.
Pengurus DAPM, jelas dia, mengelola kredit usaha untuk masyarakat berdasarkan akta notaris sesuai syarat pemerintah pusat. Mereka berada di setiap kecamatan dengan status unit pengelolaan kegiatan (UPK) DAPM.
Dari catatan kejaksaan, DAPM di Kabupaten Lombok Timur beroperasi dengan menggunakan sisa anggaran PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2009. Negara tercatat menggelontorkan dana hibah untuk Kabupaten Lombok Timur secara bertahap dengan total akhir pada tahun 2014 sebesar Rp1,5 miliar.
Isa mengatakan dana itu terus berkembang dari keuntungan setoran kredit usaha kelompok masyarakat. Untuk di Kecamatan Suela saja, kata dia, pengurus DAPM kini mengelola dana sedikitnya Rp4 miliar.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa kejaksaan sudah mendapatkan keterangan yang menguatkan adanya perbuatan melawan hukum (PMH) dari pengelolaan DAPM. Indikasi pidana tersebut berkaitan dengan setoran kredit yang tidak sampai ke UPK tingkat kecamatan.
Salah satu masalah yang muncul, jelas dia, uang setoran kredit usaha dari kelompok masyarakat yang sudah dititipkan melalui pendamping tidak sampai ke UPK.
Dugaan lain, katanya, berkaitan dengan pencairan kredit usaha fiktif. Potensi pidana tersebut muncul karena tidak ada jaminan yang harus diberikan penerima kredit kepada pengurus DAPM.