Jawa Tengah (Antara NTB) - Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan generasi muda harus ambil bagian dari solusi terhadap masalah bangsa, baik kemiskinan, menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN serta kesetaraan jender.
"Generasi muda terpelajar Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) harus menunjukkan keunggulan koperatif dan kompetitif sebagai 'master degree', " kata Menteri Sosial pada acara Kongres ke-17 IPPNU dan ke-18 IPNU di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, Senin (7/12).
Kongres bertajuk "Pelajar Islam Berbudaya untuk Toleransi dan Persatuan Bangsa" harus lebih berkontribusi sebagai diniyah jamiyah untuk menghadapi Sustainable Development Goals (SDGs) dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Awal 2016, pemberlakuan MEA, tinggal sebulan lagi," ujarnya.
Terkait SDGs, kata Khofifah, generasi muda terpelajar harus ikut bertanggung jawab, di antaranya untuk penghapusan kemiskinan di Indonesia yang mayoritas masyarakat tinggal di perdesaan.
"Mayoritas masyarakat miskin tertinggi di Indonesia berada di Jawa Timur dan itu merupakan bagian dari warga IPNU dan IPPNU, serta bagian dari jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU)," ucapnya.
Termasuk penghapusan kelaparan harus dicarikn solusi tepat bersama elemen bangsa lainnya sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan gizi yang baik.
"Penghapusan kelaparan merupaan tanggungjwab bersama, termasuk generasi muda terpelajar bagaimana untuk kebutuhan gizi bisa terpenuhi dengan baik," katanya.
Selain itu, sebagai bagian dari SDGs yakni terkait kesetaraan jender yang mengedepankan gender equility dengan pikiran-pikiran berbasis hulu dan tidak hanya fokus pada hilir.
"Banyak pihak berteriak terhadap kekerasan perempuan dan anak. Padahal itu hilir dari persoalan, sedangkan hulunya terletak pada pernikahan yang tidak dicatatkan dan teradministrasikan," ujarnya.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak dan perempuan, penelantaran anak, hak waris, akta kelahiran, serta tingginya gugatan cerai sebagai bukti hulu kurang diperhatikan.
"Hulu harus ditata ulang agar rehabiliasi soisal dan perlindungan terhadap perempuan dan anak di hilir seiring dan sejalan," katanya.
Bagi anak yang tidak tercatatkan dan teradministasikan bisa mendaptakan keterangan dengan menisbahkan kepada ibunya. Hal itu di kemudian hari bisa menjadi beban dan psiko-sosial anak.
"Anak yang dinisbahkan kepada ibunya, bisa mendapatkan beban dan psiko-sosial di kemudian hari dari lingkungan sekitar mereka," ujarnya.
Saat ini, 4,1 juta kekerasan dan penelantaraan terhadap anak yang tidak tewadahi oleh institusi dengan memberikan daya iklusif, misalnya terhadap anak berhadapan dengan hukum (ABH).
"Anak di bawah 16 tahun yang melakukan pelanggaran tidak dimasukan ke Lembaga Pemasyarakat (LP). Sebab, hal itu bakal terganggunya tumbuh-kembang dan bisa terkontaminasi dalam LP yang mayoritas dihuni orang dewasa," katanya.
Dari jumlah 4,1 juta tersebut, ABH baru ditangani oleh lima panti dan Desember ini akan ada penambahan menjadi 11 panti yang fokus terhadap pembinaan dan tumbuh-kembang anak. (*)
"Generasi muda terpelajar Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) harus menunjukkan keunggulan koperatif dan kompetitif sebagai 'master degree', " kata Menteri Sosial pada acara Kongres ke-17 IPPNU dan ke-18 IPNU di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, Senin (7/12).
Kongres bertajuk "Pelajar Islam Berbudaya untuk Toleransi dan Persatuan Bangsa" harus lebih berkontribusi sebagai diniyah jamiyah untuk menghadapi Sustainable Development Goals (SDGs) dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Awal 2016, pemberlakuan MEA, tinggal sebulan lagi," ujarnya.
Terkait SDGs, kata Khofifah, generasi muda terpelajar harus ikut bertanggung jawab, di antaranya untuk penghapusan kemiskinan di Indonesia yang mayoritas masyarakat tinggal di perdesaan.
"Mayoritas masyarakat miskin tertinggi di Indonesia berada di Jawa Timur dan itu merupakan bagian dari warga IPNU dan IPPNU, serta bagian dari jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU)," ucapnya.
Termasuk penghapusan kelaparan harus dicarikn solusi tepat bersama elemen bangsa lainnya sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan gizi yang baik.
"Penghapusan kelaparan merupaan tanggungjwab bersama, termasuk generasi muda terpelajar bagaimana untuk kebutuhan gizi bisa terpenuhi dengan baik," katanya.
Selain itu, sebagai bagian dari SDGs yakni terkait kesetaraan jender yang mengedepankan gender equility dengan pikiran-pikiran berbasis hulu dan tidak hanya fokus pada hilir.
"Banyak pihak berteriak terhadap kekerasan perempuan dan anak. Padahal itu hilir dari persoalan, sedangkan hulunya terletak pada pernikahan yang tidak dicatatkan dan teradministrasikan," ujarnya.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak dan perempuan, penelantaran anak, hak waris, akta kelahiran, serta tingginya gugatan cerai sebagai bukti hulu kurang diperhatikan.
"Hulu harus ditata ulang agar rehabiliasi soisal dan perlindungan terhadap perempuan dan anak di hilir seiring dan sejalan," katanya.
Bagi anak yang tidak tercatatkan dan teradministasikan bisa mendaptakan keterangan dengan menisbahkan kepada ibunya. Hal itu di kemudian hari bisa menjadi beban dan psiko-sosial anak.
"Anak yang dinisbahkan kepada ibunya, bisa mendapatkan beban dan psiko-sosial di kemudian hari dari lingkungan sekitar mereka," ujarnya.
Saat ini, 4,1 juta kekerasan dan penelantaraan terhadap anak yang tidak tewadahi oleh institusi dengan memberikan daya iklusif, misalnya terhadap anak berhadapan dengan hukum (ABH).
"Anak di bawah 16 tahun yang melakukan pelanggaran tidak dimasukan ke Lembaga Pemasyarakat (LP). Sebab, hal itu bakal terganggunya tumbuh-kembang dan bisa terkontaminasi dalam LP yang mayoritas dihuni orang dewasa," katanya.
Dari jumlah 4,1 juta tersebut, ABH baru ditangani oleh lima panti dan Desember ini akan ada penambahan menjadi 11 panti yang fokus terhadap pembinaan dan tumbuh-kembang anak. (*)