Mataram (Antara NTB) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menyetujui untuk memberikan satu dari dua perusahaan yang mengajukan izin pengerukan pasir laut di Pulau Lombok untuk reklamasi Teluk Benoa Bali.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BKPM-PT) NTB H Ridwansyah di Mataram, Selasa, mengatakan izin operasi pengerukan pasir laut diberikan karena seluruh persyaratan telah dipenuhi PT Sukses Timur Bersama, termasuk analisis dampak lingkungan (amdal).
"Untuk pengerukan pasir di Lombok Barat izin operasinya sudah. Tinggal sekarang mereka beroperasi saja," katanya.
Ia menjelaskan, izin itu untuk 1.000 hektare dengan jangka waktu operasi satu setengah tahun dan jangka waktu maksimum tiga tahun. Sedangkan, total pasir laut yang akan diambil mencapai 10 juta meter kubik dari jumlah cadangan mencapai 50 juta meter kubik.
"Kalau di ibaratkan, seperti orang menikah, mereka ini sudah memiliki buku nikah. Tinggal pelaksanaan saja," ujarnya.
Sementara untuk izin pengerukan pasir laut di wilayah Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan PT Dinamika Atria Raya (PT DAR) belum bisa diberikan. Lantaran, belum mendapatkan izin analisis dampak lingkungan dari pemerintah pusat.
"Kalau untuk pengerukan pasir di Lombok Timur masih berproses. Terutama, terkait Amdal. Karena pihak perusahaan terikat kontrak dengan PT TWDI yang akan melakukan reklamasi Teluk Benoa, Bali, sehingga izin amdalnya pun diproses di provinsi dan di Jakarta," jelasnya.
Karena kata dia, ada beberapa klausul Amdal untuk reklamasi harus menyatu dengan amdal penambangannya. Sehingga memakan waktu lama untuk mendapatkan izin tersebut.
Meski demikian, mantan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika NTB ini mengatakan proses yang terkesan lama ini mungkin juga disebabkan isu reklamasi di Jakarta yang berakibat proses amdal untuk pengerukan pasir di Lombok Timur terjeadi.
Hal itu membuat Pemprov tidak mau mengabil keputusan sendiri, sebelum adanya persetujuan Amdal dari pusat karena bersifat mengikat. Terlebih, lagi keuntungan yang diperoleh dari pengerukan pasir tersebut adalah mendapat retribusi dan masuk ke dalam kas kabupaten. Sementara di tingkat provinsi tidak mendapatkan pemasukan.
"Kami tidak tahu dengan masalah yang terjadi di Jakarta. Tetapi apakah ada hubungannya dengan Reklamasi Teluk Jakarta, kita juga tidak tahu," tandasnya.
Sedangkan untuk keuntungan berdasarkan aturan, daerah mendapat retribusi diatur melalui perda kabupaten. Kalau rata-rata 10 ribu per meter kubik berarti kali 20 juta ada Rp200 miliar.
"Untuk rencana pengerukan pasir di Lombok Timur kita belum tahu sampai kapan. Karena semua tergantung dari izin amdal," tandasnya. (*)
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BKPM-PT) NTB H Ridwansyah di Mataram, Selasa, mengatakan izin operasi pengerukan pasir laut diberikan karena seluruh persyaratan telah dipenuhi PT Sukses Timur Bersama, termasuk analisis dampak lingkungan (amdal).
"Untuk pengerukan pasir di Lombok Barat izin operasinya sudah. Tinggal sekarang mereka beroperasi saja," katanya.
Ia menjelaskan, izin itu untuk 1.000 hektare dengan jangka waktu operasi satu setengah tahun dan jangka waktu maksimum tiga tahun. Sedangkan, total pasir laut yang akan diambil mencapai 10 juta meter kubik dari jumlah cadangan mencapai 50 juta meter kubik.
"Kalau di ibaratkan, seperti orang menikah, mereka ini sudah memiliki buku nikah. Tinggal pelaksanaan saja," ujarnya.
Sementara untuk izin pengerukan pasir laut di wilayah Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan PT Dinamika Atria Raya (PT DAR) belum bisa diberikan. Lantaran, belum mendapatkan izin analisis dampak lingkungan dari pemerintah pusat.
"Kalau untuk pengerukan pasir di Lombok Timur masih berproses. Terutama, terkait Amdal. Karena pihak perusahaan terikat kontrak dengan PT TWDI yang akan melakukan reklamasi Teluk Benoa, Bali, sehingga izin amdalnya pun diproses di provinsi dan di Jakarta," jelasnya.
Karena kata dia, ada beberapa klausul Amdal untuk reklamasi harus menyatu dengan amdal penambangannya. Sehingga memakan waktu lama untuk mendapatkan izin tersebut.
Meski demikian, mantan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika NTB ini mengatakan proses yang terkesan lama ini mungkin juga disebabkan isu reklamasi di Jakarta yang berakibat proses amdal untuk pengerukan pasir di Lombok Timur terjeadi.
Hal itu membuat Pemprov tidak mau mengabil keputusan sendiri, sebelum adanya persetujuan Amdal dari pusat karena bersifat mengikat. Terlebih, lagi keuntungan yang diperoleh dari pengerukan pasir tersebut adalah mendapat retribusi dan masuk ke dalam kas kabupaten. Sementara di tingkat provinsi tidak mendapatkan pemasukan.
"Kami tidak tahu dengan masalah yang terjadi di Jakarta. Tetapi apakah ada hubungannya dengan Reklamasi Teluk Jakarta, kita juga tidak tahu," tandasnya.
Sedangkan untuk keuntungan berdasarkan aturan, daerah mendapat retribusi diatur melalui perda kabupaten. Kalau rata-rata 10 ribu per meter kubik berarti kali 20 juta ada Rp200 miliar.
"Untuk rencana pengerukan pasir di Lombok Timur kita belum tahu sampai kapan. Karena semua tergantung dari izin amdal," tandasnya. (*)