Mataram (ANTARA) - Ahli pidana di kasus Rumah Sakit Umum Daerah(RSUD) Sumbawa, Nusa Tenggara Barat(NTB) Dr. Lahmuddin Zuhri menyebut bahwa gratifikasi yang masuk dalam klasifikasi perbuatan korupsi itu menjadi suatu hal yang dapat merusak sistem pemerintahan.
"Jadi, gratifikasi enggak bisa dilihat hanya dari kerugian negara yang ditimbulkan, tetapi bisa dikategorikan korupsi karena itu sudah mengubah, merusak sistem pemerintahan yang baik," kata Lahmuddin memberikan pendapat hukum dalam sidang perkara gratifikasi RSUD Sumbawa dengan terdakwa dr. Dede Hasan Basri di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Mataram, Rabu.
Menurut dia, perbuatan gratifikasi yang termuat dalam aturan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, berpotensi muncul dalam setiap pelayanan publik.
Tentu, kata dia, dengan munculnya hal tersebut akan berdampak pada tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
"Kerugiannya mengarah pada moralitas, mentalitas, dan profesionalitas dalam pemberian pelayanan publik," ujar Lahmuddin yang kini menduduki jabatan Dekan Fakultas Hukum Universitas Samawa itu.
Dia pun menjelaskan bahwa gratifikasi tidak lepas dari adanya kesepakatan. Sedikitnya, kesepakatan itu terjadi antara dua orang, baik antara penerima dengan pemberi pelayanan.
Dia mengatakan pemberi pelayanan menerima hadiah dari penerima pelayanan. Tujuan dari pemberian itu agar proses pelayanan berjalan sesuai harapan si penerima.
"Secara terminologi pemberi pelayanan itu siapa saja selama dia melakukan pelayanan publik pada suatu lembaga negara. Penerima pelayanan ini yang mengharapkan untuk mendapatkan pelayanan lebih baik atau lebih cepat," ucap dia.
Terkait unsur pemerasan yang termuat dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, menurut Lahmuddin hal itu harus meliputi adanya unsur pemaksaan.
"Memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu. Tadinya yang gratifikasi biasa, bisa berubah jadi unsur pemerasan jika tidak memberikan sesuatu maka orang itu tidak mendapatkan pelayanan publik sesuai standar," katanya.
Dia mengatakan bahwa unsur pemaksaan ini juga punya pertalian dengan unsur penyalahgunaan kewenangan. Namun, hal itu berlaku apabila pemberi pelayanan memiliki kuasa.
"Karena dalam perspektif hukum pemberi pelayanan itu bisa melakukan apa saja dalam kuasanya, membuat sesuatu yang tidak ada jadi ada atau sesuatu yang tidak ada jadi ada," ujar Lahmuddin.
Terkait adanya peran orang lain yang berada di bawah perintah pemilik kuasa dalam pelayanan publik, hal tersebut bisa saja digiring ke arah pidana.
"Namun, aparat penegak hukum tentu harus lebih bekerja keras, apalagi jika perintah itu diberikan secara lisan. Butuh pendalaman alat bukti untuk mengungkap keterlibatan orang lain," ucapnya.
Kasus dugaan penerimaan gratifikasi dalam pengelolaan dana BLUD pada RSUD Sumbawa tahun 2022, jaksa menetapkan dr. Dede Hasan Basri yang merupakan mantan Direktur RSUD Sumbawa sebagai tersangka.
Dari dakwaan, penuntut umum mendakwa Dede menerima gratifikasi senilai Rp1,4 miliar. Salah satu sumber uang yang diterima terdakwa berasal dari pengadaan alat kesehatan.
Penuntut umum menjelaskan dalam dakwaan bahwa Dede menerima uang tersebut dari sejumlah rekanan pengadaan barang dan jasa. Namun, uang itu tidak diterima secara langsung oleh Dede, melainkan melalui dua orang tenaga kontrak pada RSUD Sumbawa.
Dengan uraian dakwaan demikian, penuntut umum mendakwa Dede dengan Pasal 11 dan/atau Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 23 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Jadi, gratifikasi enggak bisa dilihat hanya dari kerugian negara yang ditimbulkan, tetapi bisa dikategorikan korupsi karena itu sudah mengubah, merusak sistem pemerintahan yang baik," kata Lahmuddin memberikan pendapat hukum dalam sidang perkara gratifikasi RSUD Sumbawa dengan terdakwa dr. Dede Hasan Basri di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Mataram, Rabu.
Menurut dia, perbuatan gratifikasi yang termuat dalam aturan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, berpotensi muncul dalam setiap pelayanan publik.
Tentu, kata dia, dengan munculnya hal tersebut akan berdampak pada tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
"Kerugiannya mengarah pada moralitas, mentalitas, dan profesionalitas dalam pemberian pelayanan publik," ujar Lahmuddin yang kini menduduki jabatan Dekan Fakultas Hukum Universitas Samawa itu.
Dia pun menjelaskan bahwa gratifikasi tidak lepas dari adanya kesepakatan. Sedikitnya, kesepakatan itu terjadi antara dua orang, baik antara penerima dengan pemberi pelayanan.
Dia mengatakan pemberi pelayanan menerima hadiah dari penerima pelayanan. Tujuan dari pemberian itu agar proses pelayanan berjalan sesuai harapan si penerima.
"Secara terminologi pemberi pelayanan itu siapa saja selama dia melakukan pelayanan publik pada suatu lembaga negara. Penerima pelayanan ini yang mengharapkan untuk mendapatkan pelayanan lebih baik atau lebih cepat," ucap dia.
Terkait unsur pemerasan yang termuat dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, menurut Lahmuddin hal itu harus meliputi adanya unsur pemaksaan.
"Memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu. Tadinya yang gratifikasi biasa, bisa berubah jadi unsur pemerasan jika tidak memberikan sesuatu maka orang itu tidak mendapatkan pelayanan publik sesuai standar," katanya.
Dia mengatakan bahwa unsur pemaksaan ini juga punya pertalian dengan unsur penyalahgunaan kewenangan. Namun, hal itu berlaku apabila pemberi pelayanan memiliki kuasa.
"Karena dalam perspektif hukum pemberi pelayanan itu bisa melakukan apa saja dalam kuasanya, membuat sesuatu yang tidak ada jadi ada atau sesuatu yang tidak ada jadi ada," ujar Lahmuddin.
Terkait adanya peran orang lain yang berada di bawah perintah pemilik kuasa dalam pelayanan publik, hal tersebut bisa saja digiring ke arah pidana.
"Namun, aparat penegak hukum tentu harus lebih bekerja keras, apalagi jika perintah itu diberikan secara lisan. Butuh pendalaman alat bukti untuk mengungkap keterlibatan orang lain," ucapnya.
Kasus dugaan penerimaan gratifikasi dalam pengelolaan dana BLUD pada RSUD Sumbawa tahun 2022, jaksa menetapkan dr. Dede Hasan Basri yang merupakan mantan Direktur RSUD Sumbawa sebagai tersangka.
Dari dakwaan, penuntut umum mendakwa Dede menerima gratifikasi senilai Rp1,4 miliar. Salah satu sumber uang yang diterima terdakwa berasal dari pengadaan alat kesehatan.
Penuntut umum menjelaskan dalam dakwaan bahwa Dede menerima uang tersebut dari sejumlah rekanan pengadaan barang dan jasa. Namun, uang itu tidak diterima secara langsung oleh Dede, melainkan melalui dua orang tenaga kontrak pada RSUD Sumbawa.
Dengan uraian dakwaan demikian, penuntut umum mendakwa Dede dengan Pasal 11 dan/atau Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 23 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.