Lombok Barat (Antara NTB) - Sebanyak 50 warga Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar aksi penolakan izin penambangan pasir laut di Kabupaten Lombok Barat sebanyak 10 juta meter kubik untuk mereklamasi Teluk Benoa, Bali.
Puluhan warga gabungan dari masyarakat nelayan, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat pemerhati lingkungan dan budayawan itu menggelar aksi di pantai Induk, yang menjadi salah satu lokasi perayaan Lebaran Topat, di Kabupaten Lombok Barat, Rabu.
Ketua Forum Masyarakat Peduli Pesisir Pulau Lombok Safari, menjelaskan aksi penolakan izin penambangan pasir laut yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi NTB dilakukan karena lokasi penambangan di sekitar kawasan konservasi dan kawasan pariwisata yang disukai wisatawan domestik dan mancanegara.
"Di sekitar lokasi ada sekitar 20 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidup di perairan yang menjadi lokasi tambang, baik itu nelayan dan pramuwisata," katanya.
Adanya aktivitas tambang pasir laut, kata dia, juga tidak disosialisasikan secara menyeluruh oleh pemerintah daerah, bahkan hasil analisi mengenai dampak lingkungan (amdal) juga tidak begitu diketahui masyarakat.
Menurut dia, kebijakan Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang mendukung adanya aktivitas tambang pasir laut untuk reklamasi Telok Benoa, Bali, bertentangan dengan cita-cita ingin mengembangkan kawasan perairan laut Sekotong sebagai destinasi wisata dunia setelah pantai Senggigi.
"Makanya kami menggalang dukungan dengan menggelar aksi di pantai Induk, yang berhadapan dengan lokasi tambang. Biar masyarakat yang merayakan Lebaran Topat tahu dan jangan dibohongi dengan keberadaan tambang," ujarnya.
Safari juga menilai efek ekonomi dari aktivitas tambang pasir laut tidak begitu nyata bagi masyarakat Kabupaten Lombok Barat, sebab perusahaan yang memperoleh izin produksi akan membeli pasir laut seharga Rp1.000 per meter kubik di areal seluas 1.000 hektare.
Selain itu, perusahaan tambang tidak butuh banyak tenaga manusia karena akan melakukan aktivitas penyedotan pasir laut menggunakan kapal.
Di sisi lain, menurut dia, dampak lingkungan yang akan ditimbulkan bisa dalam jangka panjang karena aktivitas tambang tersebut diyakini merusak ekosistem bawah laut yang proses pemulihannya membutuhkan waktu relatif lama.
"Tidak begitu berdampak aktivitas tambang pasir laut itu terhadap perekonomian daerah. Di sisi lain, masyarakat luas, terutama para nelayan akan merasakan dampak kerusakan linkungannya dalam jangka panjang," ucap Safari. (*)
Puluhan warga gabungan dari masyarakat nelayan, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat pemerhati lingkungan dan budayawan itu menggelar aksi di pantai Induk, yang menjadi salah satu lokasi perayaan Lebaran Topat, di Kabupaten Lombok Barat, Rabu.
Ketua Forum Masyarakat Peduli Pesisir Pulau Lombok Safari, menjelaskan aksi penolakan izin penambangan pasir laut yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi NTB dilakukan karena lokasi penambangan di sekitar kawasan konservasi dan kawasan pariwisata yang disukai wisatawan domestik dan mancanegara.
"Di sekitar lokasi ada sekitar 20 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidup di perairan yang menjadi lokasi tambang, baik itu nelayan dan pramuwisata," katanya.
Adanya aktivitas tambang pasir laut, kata dia, juga tidak disosialisasikan secara menyeluruh oleh pemerintah daerah, bahkan hasil analisi mengenai dampak lingkungan (amdal) juga tidak begitu diketahui masyarakat.
Menurut dia, kebijakan Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang mendukung adanya aktivitas tambang pasir laut untuk reklamasi Telok Benoa, Bali, bertentangan dengan cita-cita ingin mengembangkan kawasan perairan laut Sekotong sebagai destinasi wisata dunia setelah pantai Senggigi.
"Makanya kami menggalang dukungan dengan menggelar aksi di pantai Induk, yang berhadapan dengan lokasi tambang. Biar masyarakat yang merayakan Lebaran Topat tahu dan jangan dibohongi dengan keberadaan tambang," ujarnya.
Safari juga menilai efek ekonomi dari aktivitas tambang pasir laut tidak begitu nyata bagi masyarakat Kabupaten Lombok Barat, sebab perusahaan yang memperoleh izin produksi akan membeli pasir laut seharga Rp1.000 per meter kubik di areal seluas 1.000 hektare.
Selain itu, perusahaan tambang tidak butuh banyak tenaga manusia karena akan melakukan aktivitas penyedotan pasir laut menggunakan kapal.
Di sisi lain, menurut dia, dampak lingkungan yang akan ditimbulkan bisa dalam jangka panjang karena aktivitas tambang tersebut diyakini merusak ekosistem bawah laut yang proses pemulihannya membutuhkan waktu relatif lama.
"Tidak begitu berdampak aktivitas tambang pasir laut itu terhadap perekonomian daerah. Di sisi lain, masyarakat luas, terutama para nelayan akan merasakan dampak kerusakan linkungannya dalam jangka panjang," ucap Safari. (*)