Medan (ANTARA) - Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof. Dr. Syawal Gultom mengatakan ada tiga hal fundamental tentang pendidikan di Indonesia untuk memastikan meraih bonus demografi.
"Jika ketiga hal fundamental itu berjalan dengan baik, maka di tahun 2045 akan terwujud Indonesia Emas," katanya di Medan, Kamis.
Fundamental pertama, kata dia, adalah momentum peran pendidikan yang dimulai dari sekolah hari ini. Rentang waktu tahun 2024 – 2045 atau 20 tahun mendatang, pendidikan dapat terus berlangsung baik dari rumah, sekolah, masyarakat, dan dunia kerja.
Kedua adalah substansi pendidikan Indonesia. Kurikulum seharusnya tidak terbatas pada kompetensi, konten, proses, dan asesmen. Akan tetapi kebijakan nasional dan lokal tentang peta SDM yang sesuai dengan struktur dan fokus kepada keunggulan daerah.
Bahkan kurikulum termasuk kebijakan pemetaan potensi anak Indonesia untuk bidang akademik, profesi, dan vokasi.
Baca juga: Pembangunan pendidikan optimalkan bonus demografi
Sejatinya, kata dia, kurikulum itu potret dan capaian peradaban berbasis nilai dengan mengandalkan dan fokus pada hasil atau produk kekuatan berpikir yang hakiki berupa ide, gagasan, ilmu, teknologi dengan menggunakan basis informasi dan petunjuk yang sudah pasti benar secara epistomologis, aksiologis, apalagi secara ontologis.
Dengan pendekatan kuantitatif, seharusnya TK/PAUD 95 persen adalah muatan tentang sikap, 5 persen pengetahuan dan keterampilan dan untuk tingkat SD, idealnya 80 persen itu sikap, 20 persen pengetahuan dan keterampilan.
Sementara untuk SMP, menurut dia, idealnya 50 persen sikap, 20 persen pengetahuan, dan 30 persen itu keterampilan. Selanjutnya untuk tingkat SMA, sepatutnya 35 persen sikap, 25 persen pengetahuan, dan 40 persen keterampilan.
Baca juga: Pemerintah menyiapkan lapangan kerja hadapi bonus demografi
Sementara untuk perguruan tinggi, sepatutnya 10 persen sikap, 25 persen pengetahuan, dan 65 persen keterampilan.
Ketiga adalah strategi pendidikan dengan berfokus pada SDM nya bukan sistemnya.
Menurut dia, perlu tafsir ulang kurikulum nasional mulai TK hingga perguruan tinggi yang tidak dikungkung paradigma ilmu dan teknologi dan agitasi global.
Tetapi tafsir yang bermula dari Pembukaan UUD 45 dan sesuai cita-cita luhur bangsa Indonesia di masa depan yang diterjemahkan pada ilmu dan teknologi, nilai, dan karakter.
Bukan sebaliknya, kata dia, seolah-olah ilmu dan teknologi yang dipaksakan menyesuaikan diri dengan tujuan berbangsa, bernegara, berpolitik, berdemokrasi, berekonomi, dan berbudaya di Indonesia.
"Juga tidak kalah penting adalah mengubah suasana belajar di kelas, motivasi belajar siswa, dan selanjutnya memacu kreativitas anak Indonesia menuju inovasi politik, demokrasi, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga bangsa akan berdaulat dan bermartabat sesuai Pembukaan UUD 1945," kata Syawal Gultom.
Baca juga: Sektor kesehatan penting demi mendukung bonus demografi
Baca juga: Revitalisasi vokasi kunci penting sambut bonus demografi
"Jika ketiga hal fundamental itu berjalan dengan baik, maka di tahun 2045 akan terwujud Indonesia Emas," katanya di Medan, Kamis.
Fundamental pertama, kata dia, adalah momentum peran pendidikan yang dimulai dari sekolah hari ini. Rentang waktu tahun 2024 – 2045 atau 20 tahun mendatang, pendidikan dapat terus berlangsung baik dari rumah, sekolah, masyarakat, dan dunia kerja.
Kedua adalah substansi pendidikan Indonesia. Kurikulum seharusnya tidak terbatas pada kompetensi, konten, proses, dan asesmen. Akan tetapi kebijakan nasional dan lokal tentang peta SDM yang sesuai dengan struktur dan fokus kepada keunggulan daerah.
Bahkan kurikulum termasuk kebijakan pemetaan potensi anak Indonesia untuk bidang akademik, profesi, dan vokasi.
Baca juga: Pembangunan pendidikan optimalkan bonus demografi
Sejatinya, kata dia, kurikulum itu potret dan capaian peradaban berbasis nilai dengan mengandalkan dan fokus pada hasil atau produk kekuatan berpikir yang hakiki berupa ide, gagasan, ilmu, teknologi dengan menggunakan basis informasi dan petunjuk yang sudah pasti benar secara epistomologis, aksiologis, apalagi secara ontologis.
Dengan pendekatan kuantitatif, seharusnya TK/PAUD 95 persen adalah muatan tentang sikap, 5 persen pengetahuan dan keterampilan dan untuk tingkat SD, idealnya 80 persen itu sikap, 20 persen pengetahuan dan keterampilan.
Sementara untuk SMP, menurut dia, idealnya 50 persen sikap, 20 persen pengetahuan, dan 30 persen itu keterampilan. Selanjutnya untuk tingkat SMA, sepatutnya 35 persen sikap, 25 persen pengetahuan, dan 40 persen keterampilan.
Baca juga: Pemerintah menyiapkan lapangan kerja hadapi bonus demografi
Sementara untuk perguruan tinggi, sepatutnya 10 persen sikap, 25 persen pengetahuan, dan 65 persen keterampilan.
Ketiga adalah strategi pendidikan dengan berfokus pada SDM nya bukan sistemnya.
Menurut dia, perlu tafsir ulang kurikulum nasional mulai TK hingga perguruan tinggi yang tidak dikungkung paradigma ilmu dan teknologi dan agitasi global.
Tetapi tafsir yang bermula dari Pembukaan UUD 45 dan sesuai cita-cita luhur bangsa Indonesia di masa depan yang diterjemahkan pada ilmu dan teknologi, nilai, dan karakter.
Bukan sebaliknya, kata dia, seolah-olah ilmu dan teknologi yang dipaksakan menyesuaikan diri dengan tujuan berbangsa, bernegara, berpolitik, berdemokrasi, berekonomi, dan berbudaya di Indonesia.
"Juga tidak kalah penting adalah mengubah suasana belajar di kelas, motivasi belajar siswa, dan selanjutnya memacu kreativitas anak Indonesia menuju inovasi politik, demokrasi, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga bangsa akan berdaulat dan bermartabat sesuai Pembukaan UUD 1945," kata Syawal Gultom.
Baca juga: Sektor kesehatan penting demi mendukung bonus demografi
Baca juga: Revitalisasi vokasi kunci penting sambut bonus demografi