Jakarta (ANTARA) - Prestasi China dalam menjadi penengah dalam pemulihan hubungan Arab Saudi-Iran pada Maret 2023 merupakan sebuah pencapaian tersendiri bagi negara Asia Timur itu, tetapi bisakah China mengulangi hal yang sama terkait dengan konflik di Gaza?
Telah mafhum diketahui di kalangan diplomasi internasional bahwa China ingin meningkatkan perannya sebagai juru damai dari sejumlah pertikaian global yang tengah terjadi.
Misalnya dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, China telah berupaya menjadi mediator antara keduanya tetapi proposal yang diajukan Negeri Tirai Bambu itu ditolak.
Begitu pula keinginan China besar untuk mendamaikan konflik Gaza. Hal ini terindikasi seperti dalam hasil kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Mesir pada 14 Januari.
Setelah menemui Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, Wang Yi kepada wartawan menyerukan untuk digelarnya konferensi konferensi perdamaian Israel-Palestina berskala besar.
Wang Yi tidak menyebutkan kapan dan di mana konferensi itu akan diselenggarakan, tetapi pihaknya menyatakan bahwa keputusan untuk itu memerlukan konsultasi dari berbagai pihak terkait.
Tidak lupa pula bahwa Menlu China tersebut juga mengatakan bahwa pihaknya ingin meningkatkan pengaruh, daya tarik, serta kekuatan internasional untuk menyelesaikan konflik melalui jalur diplomasi.
Sebelumnya, China pada akhir November 2023 juga telah menerbitkan makalah terkait hal itu, yang menyerukan antara lain adanya gencatan senjata di Gaza dan bantuan kemanusiaan untuk Palestina, serta penyelesaian politik yang komprehensif untuk mewujudkan solusi dua negara.
Selain itu, pemerintah China juga telah mengkritik langkah bombardir yang dilakukan Israel terhadap warga sipil di Gaza, dengan menyebut bahwa hal itu sebagai hukuman kolektif dan tindakan yang melampaui dari sekadar "membela diri".
Menteri Luar Negeri China Wang Yi ketika menerima sejumlah menteri perwakilan dari negara-negara Arab dan Islam di Beijing pada medio November lalu juga menyatakan bahwa China selalu dengan tegas menjaga hak dan kepentingan negara-negara Arab dan Islam.
Pemerintah China melalui sang menteri luar negeri juga dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Tataran retorika
Hal itu tentu saja dalam rangka menimbulkan kesan yang positif serta menegaskan posisinya sebagai sahabat bagi negara-negara Arab dan Muslim, tetapi sayangnya sampai saat ini hal itu dinilai masih dalam tataran retorika di tingkat internasional.
Apalagi, selama ini mediasi yang terjadi di kawasan itu, terutama antara Palestina dan Israel, lebih sering melibatkan kekuatan adidaya lain seperti AS dan Uni Eropa.
Dengan menunjukkan dukungan terhadap Palestina, langkah China tersebut juga dinilai dapat menjadi bumerang dalam persepsi dari Israel.
Apalagi, pemerintah negara Zionis itu juga telah menyatakan sangat kecewa dengan reaksi pemerintah China setelah serangan 7 Oktober yang menewaskan serta membuat banyak penduduk Israel dan warga dari negara lainnya juga menjadi sandera kelompok perlawanan Palestina.
Menurut pemerintah Israel, tanggapan dari China sangat tidak memadai terutama karena nihil kecaman terhadap aksi yang dilakukan Hamas itu.
Meski Israel tampak kecewa dan sepertinya tidak terlalu menganggap China sebagai penengah yang kredibel terkait konflik di Gaza, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan kedua negara terutama dari sisi perekonomian semakin lama semakin kokoh.
Hal tersebut terlihat dari data perdagangan kedua negara yang dihimpun dari sejumlah sumber, di mana China ternyata adalah salah satu negara mitra dagang utama bagi Israel, selain Amerika Serikat.
Total nilai perdagangan antara kedua negara pada 2022 diperkirakan mencapai sekitar 24,45 miliar dolar AS (sekitar Rp381,17 triliun), atau meningkat 11,6 persen dibanding tahun sebelumnya.
Peningkatan itu terutama berasal dari melonjaknya impor Israel dari China, yang meningkat dari 6,79 miliar dolar AS (sekitar Rp105,85 triliun) pada 2019, menjadi 13,12 miliar dolar AS (sekitar Rp204,54 triliun) pada 2022.
Sejumlah produk yang banyak diimpor China ke negara Zionis itu antara lain adalah peralatan listrik dan permesinan, hingga kendaraan.
Sementara itu, terkait dengan investasi, China diketahui banyak berinvestasi dalam sektor teknologi di Israel, serta disebut berupaya untuk semakin meningkatkan investasi dalam industri cip dan semikonduktor.
Kurang strategi
Berdasarkan laman media newarab.com, satu hal yang kurang dimiliki China adalah kurangnya strategi mediasi yang jelas dan konkret yang dapat mengubah hubungan dengan semua pihak menjadi sebuah negosiasi perdamaian yang berarti.
Dengan kata lain, China masih belum dianggap sebagai pelaku yang serius dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Tujuan China untuk berkontribusi dalam proses perdamaian dinilai sebagai bentuk untuk melindungi aktivitas perekonomiannya yang meningkat di TImur Tengah.
Sedangkan sasaran lain adalah agar China dapat mengokohkan diri menjadi sebuah pemimpin global dalam hal perdamaian, terutama sebagai alternatif bagi Amerika Serikat yang selama ini kerap menjadi pemain aktif dalam perundingan di kawasan Timur Tengah.
Meski antusiasme China untuk berperan lebih besar dalam perdamaian Timur Tengah semakin meningkat setelah sukses menengahi pemulihan diplomatik Arab Saudi-Iran, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Israel-Palestina merupakan permasalahan yang berbeda.
Permasalahan Israel-Palestina tidak seperti Arab Saudi dan Iran yang merupakan dua negara yang berdaulat seutuhnya, tetapi saat ini Palestina, yang terbagi antara Tepi Barat dan Jalur Gaza, selama berdekade-dekade diduduki oleh Israel.
Belum lagi langkah Israel yang mendirikan pemukiman ilegal di berbagai wilayah di Palestina juga semakin lama membuat semakin sulit untuk mewujudkan solusi dua negara, sebuah solusi yang dinilai paling efektif oleh banyak pihak.
Terkait konflik di Gaza, para kubu yang sedang bertikai juga tampaknya masih akan tetapi terus melanjutkan aktivitas perang mereka, seperti Israel yang telah bertekad untuk memusnahkan Hamas.
Tentu saja, selama amunisi dan berbagai jenis persenjataan lain dari Israel masih terus dipasok oleh sejumlah negara seperti Amerika Serikat, negara Zionis itu sepertinya tidak akan pernah kehabisan peluru untuk menghabisi warga Palestina, sehingga juga dipastikan tidak akan mengendorkan serangannya ke berbagai daerah di Gaza.
Meski demikian, China merupakan salah satu pihak internasional yang diakui memang memiliki hubungan yang konstruktif baik dengan Israel maupun dengan kelompok Hamas.
Dengan demikian, maka bisa saja China membuat suatu langkah kejutan yang signifikan untuk berkontribusi dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina di masa mendatang, meski diakui bahwa kans untuk itu pada saat ini sangatlah tipis.
Telah mafhum diketahui di kalangan diplomasi internasional bahwa China ingin meningkatkan perannya sebagai juru damai dari sejumlah pertikaian global yang tengah terjadi.
Misalnya dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, China telah berupaya menjadi mediator antara keduanya tetapi proposal yang diajukan Negeri Tirai Bambu itu ditolak.
Begitu pula keinginan China besar untuk mendamaikan konflik Gaza. Hal ini terindikasi seperti dalam hasil kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Mesir pada 14 Januari.
Setelah menemui Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, Wang Yi kepada wartawan menyerukan untuk digelarnya konferensi konferensi perdamaian Israel-Palestina berskala besar.
Wang Yi tidak menyebutkan kapan dan di mana konferensi itu akan diselenggarakan, tetapi pihaknya menyatakan bahwa keputusan untuk itu memerlukan konsultasi dari berbagai pihak terkait.
Tidak lupa pula bahwa Menlu China tersebut juga mengatakan bahwa pihaknya ingin meningkatkan pengaruh, daya tarik, serta kekuatan internasional untuk menyelesaikan konflik melalui jalur diplomasi.
Sebelumnya, China pada akhir November 2023 juga telah menerbitkan makalah terkait hal itu, yang menyerukan antara lain adanya gencatan senjata di Gaza dan bantuan kemanusiaan untuk Palestina, serta penyelesaian politik yang komprehensif untuk mewujudkan solusi dua negara.
Selain itu, pemerintah China juga telah mengkritik langkah bombardir yang dilakukan Israel terhadap warga sipil di Gaza, dengan menyebut bahwa hal itu sebagai hukuman kolektif dan tindakan yang melampaui dari sekadar "membela diri".
Menteri Luar Negeri China Wang Yi ketika menerima sejumlah menteri perwakilan dari negara-negara Arab dan Islam di Beijing pada medio November lalu juga menyatakan bahwa China selalu dengan tegas menjaga hak dan kepentingan negara-negara Arab dan Islam.
Pemerintah China melalui sang menteri luar negeri juga dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Tataran retorika
Hal itu tentu saja dalam rangka menimbulkan kesan yang positif serta menegaskan posisinya sebagai sahabat bagi negara-negara Arab dan Muslim, tetapi sayangnya sampai saat ini hal itu dinilai masih dalam tataran retorika di tingkat internasional.
Apalagi, selama ini mediasi yang terjadi di kawasan itu, terutama antara Palestina dan Israel, lebih sering melibatkan kekuatan adidaya lain seperti AS dan Uni Eropa.
Dengan menunjukkan dukungan terhadap Palestina, langkah China tersebut juga dinilai dapat menjadi bumerang dalam persepsi dari Israel.
Apalagi, pemerintah negara Zionis itu juga telah menyatakan sangat kecewa dengan reaksi pemerintah China setelah serangan 7 Oktober yang menewaskan serta membuat banyak penduduk Israel dan warga dari negara lainnya juga menjadi sandera kelompok perlawanan Palestina.
Menurut pemerintah Israel, tanggapan dari China sangat tidak memadai terutama karena nihil kecaman terhadap aksi yang dilakukan Hamas itu.
Meski Israel tampak kecewa dan sepertinya tidak terlalu menganggap China sebagai penengah yang kredibel terkait konflik di Gaza, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan kedua negara terutama dari sisi perekonomian semakin lama semakin kokoh.
Hal tersebut terlihat dari data perdagangan kedua negara yang dihimpun dari sejumlah sumber, di mana China ternyata adalah salah satu negara mitra dagang utama bagi Israel, selain Amerika Serikat.
Total nilai perdagangan antara kedua negara pada 2022 diperkirakan mencapai sekitar 24,45 miliar dolar AS (sekitar Rp381,17 triliun), atau meningkat 11,6 persen dibanding tahun sebelumnya.
Peningkatan itu terutama berasal dari melonjaknya impor Israel dari China, yang meningkat dari 6,79 miliar dolar AS (sekitar Rp105,85 triliun) pada 2019, menjadi 13,12 miliar dolar AS (sekitar Rp204,54 triliun) pada 2022.
Sejumlah produk yang banyak diimpor China ke negara Zionis itu antara lain adalah peralatan listrik dan permesinan, hingga kendaraan.
Sementara itu, terkait dengan investasi, China diketahui banyak berinvestasi dalam sektor teknologi di Israel, serta disebut berupaya untuk semakin meningkatkan investasi dalam industri cip dan semikonduktor.
Kurang strategi
Berdasarkan laman media newarab.com, satu hal yang kurang dimiliki China adalah kurangnya strategi mediasi yang jelas dan konkret yang dapat mengubah hubungan dengan semua pihak menjadi sebuah negosiasi perdamaian yang berarti.
Dengan kata lain, China masih belum dianggap sebagai pelaku yang serius dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Tujuan China untuk berkontribusi dalam proses perdamaian dinilai sebagai bentuk untuk melindungi aktivitas perekonomiannya yang meningkat di TImur Tengah.
Sedangkan sasaran lain adalah agar China dapat mengokohkan diri menjadi sebuah pemimpin global dalam hal perdamaian, terutama sebagai alternatif bagi Amerika Serikat yang selama ini kerap menjadi pemain aktif dalam perundingan di kawasan Timur Tengah.
Meski antusiasme China untuk berperan lebih besar dalam perdamaian Timur Tengah semakin meningkat setelah sukses menengahi pemulihan diplomatik Arab Saudi-Iran, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Israel-Palestina merupakan permasalahan yang berbeda.
Permasalahan Israel-Palestina tidak seperti Arab Saudi dan Iran yang merupakan dua negara yang berdaulat seutuhnya, tetapi saat ini Palestina, yang terbagi antara Tepi Barat dan Jalur Gaza, selama berdekade-dekade diduduki oleh Israel.
Belum lagi langkah Israel yang mendirikan pemukiman ilegal di berbagai wilayah di Palestina juga semakin lama membuat semakin sulit untuk mewujudkan solusi dua negara, sebuah solusi yang dinilai paling efektif oleh banyak pihak.
Terkait konflik di Gaza, para kubu yang sedang bertikai juga tampaknya masih akan tetapi terus melanjutkan aktivitas perang mereka, seperti Israel yang telah bertekad untuk memusnahkan Hamas.
Tentu saja, selama amunisi dan berbagai jenis persenjataan lain dari Israel masih terus dipasok oleh sejumlah negara seperti Amerika Serikat, negara Zionis itu sepertinya tidak akan pernah kehabisan peluru untuk menghabisi warga Palestina, sehingga juga dipastikan tidak akan mengendorkan serangannya ke berbagai daerah di Gaza.
Meski demikian, China merupakan salah satu pihak internasional yang diakui memang memiliki hubungan yang konstruktif baik dengan Israel maupun dengan kelompok Hamas.
Dengan demikian, maka bisa saja China membuat suatu langkah kejutan yang signifikan untuk berkontribusi dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina di masa mendatang, meski diakui bahwa kans untuk itu pada saat ini sangatlah tipis.