Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Jodi Mahardi menyebut pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage/CCS) membuka peluang investasi di Indonesia di tengah upaya mendorong transisi energi.
Ia menyebut teknologi CCS dinilai menjadi langkah realistis menuju dekarbonisasi atas penggunaan energi dari bahan bakar fosil lantaran Indonesia tidak bisa langsung beralih ke energi baru terbarukan.
"Kita harus realistis, salah satu langkah transisi menuju dekarbonasi juga adalah dengan CCS yang sudah terbukti secara skala besar teknologinya bisa menurunkan emisi. Jadi pendekatan pemerintah adalah menyeimbangkan antara nature based resource, tapi juga kita menerapkan CCS yang bisa melakukan pengurangan karbon skala besar," katanya dalam peluncuran International & Indonesia CCS Forum 2024, di Jakarta, Selasa.
Jodi menuturkan pengembangan CCS juga membuka kesempatan bagi industri rendah karbon untuk masuk ke Indonesia.
Menurut dia, seiring dengan tren industri dan produk rendah karbon, investor tentu akan mempertimbangkan untuk bisa mendorong investasi yang lebih hijau, termasuk salah satunya dengan penerapan CCS yang tengah dikembangkan Indonesia.
"Misal, daripada mereka membangun petrokimianya di Jepang, atau Singapura yang jauh dari lokasi CCS, tentu mereka akan memilih (melakukannya) di Indonesia, yang dekat dengan site CCS," katanya lagi.
Dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 yang mencapai 400 hingga 600 giga ton, Indonesia dinilai punya peluang untuk mengembangkan CCS on site yang akan menarik industri industri rendah karbon.
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladonna Troxylon Maulianda menjelaskan teknologi CCS lebih banyak bermanfaat bagi industri yang ingin melakukan dekarbonisasi, walaupun masih tetap akan memproduksi emisi. Dengan demikian, tidak hanya industri yang menggunakan bahan bakar fosil, melainkan hampir semua industri membutuhkannya.
"Jadi CCS ini sebetulnya membantu industri tetap bisa menyediakan barang-barang keseharian, contohnya plastik, karet, aspal dan lainnya, tapi kita melakukan sesuatu untuk emisinya. CCS ini agak unik karena dia dibutuhkan industri yang mengonsumsi energi dan memproduksi emisi," katanya pula.
Ia menyebut teknologi CCS dinilai menjadi langkah realistis menuju dekarbonisasi atas penggunaan energi dari bahan bakar fosil lantaran Indonesia tidak bisa langsung beralih ke energi baru terbarukan.
"Kita harus realistis, salah satu langkah transisi menuju dekarbonasi juga adalah dengan CCS yang sudah terbukti secara skala besar teknologinya bisa menurunkan emisi. Jadi pendekatan pemerintah adalah menyeimbangkan antara nature based resource, tapi juga kita menerapkan CCS yang bisa melakukan pengurangan karbon skala besar," katanya dalam peluncuran International & Indonesia CCS Forum 2024, di Jakarta, Selasa.
Jodi menuturkan pengembangan CCS juga membuka kesempatan bagi industri rendah karbon untuk masuk ke Indonesia.
Menurut dia, seiring dengan tren industri dan produk rendah karbon, investor tentu akan mempertimbangkan untuk bisa mendorong investasi yang lebih hijau, termasuk salah satunya dengan penerapan CCS yang tengah dikembangkan Indonesia.
"Misal, daripada mereka membangun petrokimianya di Jepang, atau Singapura yang jauh dari lokasi CCS, tentu mereka akan memilih (melakukannya) di Indonesia, yang dekat dengan site CCS," katanya lagi.
Dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 yang mencapai 400 hingga 600 giga ton, Indonesia dinilai punya peluang untuk mengembangkan CCS on site yang akan menarik industri industri rendah karbon.
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladonna Troxylon Maulianda menjelaskan teknologi CCS lebih banyak bermanfaat bagi industri yang ingin melakukan dekarbonisasi, walaupun masih tetap akan memproduksi emisi. Dengan demikian, tidak hanya industri yang menggunakan bahan bakar fosil, melainkan hampir semua industri membutuhkannya.
"Jadi CCS ini sebetulnya membantu industri tetap bisa menyediakan barang-barang keseharian, contohnya plastik, karet, aspal dan lainnya, tapi kita melakukan sesuatu untuk emisinya. CCS ini agak unik karena dia dibutuhkan industri yang mengonsumsi energi dan memproduksi emisi," katanya pula.