Jakarta (ANTARA) -
Pakar nutrisi bayi dan anak RS Cipto Mangunkusumo Nita Azka Nadhira S.Gz mengatakan ciri utama stunting yaitu perlambatan kenaikan berat badan bayi atau weight faltering.
 
"Stunting ciri-ciri yang pertama terjadi pasti diawali oleh perambatan kenaikan berat badan atau weight faltering dari masa kandungan, jadi stunting bukan hanya saat anak bayi atau saat SD kita bisa lihat dia stunting, Tapi stunting itu proses yang bisa sudah terlihat ciri-cirinya bisa dalam kandungan," katanya dalam diskusi kesehatan yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
 
Nita mengatakan stunting merupakan suatu masalah gizi kronis, yang kejadiannya tidak dalam waktu singkat namun dalam jangka waktu yang lama. Secara teknis, anak bisa dikatakan stunting jika tinggi badan di bawah -2 standar deviasi pada grafik pertumbuhan.
 
Proses kurangnya berat badan dapat terjadi ketika bayi masih dalam kandungan karena kurangnya asupan nutrisi yang disebabkan beragam faktor seperti ekonomi atau pendidikan pengetahuan yang rendah yang tidak memungkinkan ibu memenuhi asupan nutrisi yang diperlukan anak.
 
Pada saat anak lahir dengan berat badan yang kurang dan tidak terkejar, tinggi badan akan menyesuaikan bentuk tubuh anak namun tidak dalam keadaan optimal seperti jika tumbuh dengan standar yang seharusnya.
 
"Apabila dalam kandungan saat kontrol kandungan bayi cenderung kecil dan tidak terkejar saat dia lahir akan cenderung kecil. Pada bayi ASI tidak cukup, masa MPASI tidak cukup akhirnya tinggi badan menyesuaikan. Saat berat badan melandai otomatis tingginya menyesuaikan sehingga tidak seoptimal saat berat badan tercapai dengan baik, ujung-ujungnya anak bisa stunting," kata Nita.
 
Nita mengatakan penyebab stunting dikategorikan menjadi dua macam yaitu asupan nutrisi yang kurang sehingga berat badan tidak bisa naik dan tumbuh kembang tidak seoptimal usianya, kedua ada kondisi yang menyebabkan kebutuhan asupan gizinya meningkat sehingga jika tidak terpenuhi anak masuk kategori stunting.
 
Peningkatan kebutuhan nutrisi biasanya terjadi pada anak yang mengalami penyakit jantung bawaan, alergi susu sapi, lahir dengan berat badan rendah atau infeksi seperti TBC yang menyebabkan asupannya tidak bisa adekuat dengan memberatnya penyakit yang dideritanya.
 
Kombinasi dua hal itu, kata Nita, menyebabkan anak stunting. Sehingga stunting tidak bisa hanya dikaitkan dengan tubuh pendek tapi banyak faktor seperti kemiskinan yang dapat berpengaruh pada anak nantinya ketika dewasa.
 
Lulusan ilmu nutrisi dari Universitas Brawijaya Malang ini mengatakan dampak anak yang mengalami stunting pasti memiliki imun tubuh yang lebih rendah dibandingkan anak yang sehat sehingga lebih mudah mengalami infeksi.
 
Periode tumbuh kembangnya juga terhambat karena tubuhnya fokus menangani penyakitnya sehingga kapasitas otak tidak maksimal.
 
"Terlihatnya pas dia SD atau dewasa. Ternyata potensi kognitif rendah dan kemampuan fisiknya itu jauh berbeda dengan anak-anak seumurannya, sedikit-sedikit sakit, pada saat dewasa kapasitas kerjanya cenderung lebih rendah sehingga kesulitan cari kerja dan jatuh ke kemiskinan lagi," jelas Nita.

Baca juga: Stafsus Wapres RI cek percepatan reformasi birokrasi dan stunting di NTB
Baca juga: Pemkot Bima susun Perwali penanganan stunting
 
Kerugian lain jika anak mengalami stunting pada saat kecil juga berisiko mengalami penyakit yang lebih berat pada saat dewasa nanti karena kebutuhan proteinnya kurang. Hal ini bisa menyebabkan penurunan oksidasi lemak sehingga lebih rentan mengalami akumulasi lemak sentral dan mengalami berbagai masalah kesehatan seperti diabetes, hipertensi, hingga gangguan reproduksi.
 
"Jadi stunting ini hasilnya tidak bisa kita lihat dalam waktu dekat jadi jangka panjang, pencegahannya pun sedini mungkin dan komprehensif bukan hanya sekedar bayi sudah lahir saja," tutup Nita.
 
 

Pewarta : Fitra Ashari
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024