Jakarta (ANTARA) - Laporan World Economic Outlook (WEO) Januari 2024 dari International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,1 persen pada tahun 2024, naik 0,2 poin persentase dari prediksi sebelumnya yang tercatat dalam WEO Oktober 2023.
 

Adapun pada tahun 2025, IMF memperkirakan ekonomi dunia bertumbuh 3,2 persen.

“Kami memperkirakan pertumbuhan lebih lambat di Amerika Serikat, di mana kebijakan moneter ketat masih berdampak pada perekonomian, dan di Tiongkok, di mana konsumsi dan investasi yang lebih lemah terus membebani aktivitas,” kata Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas, dikutip dari blog IMF, Jakarta, Rabu.

Adapun aktivitas di kawasan Euro diperkirakan akan sedikit pulih setelah tahun 2023 yang penuh tantangan karena harga energi tinggi dan pengetatan kebijakan moneter membatasi permintaan. Selain itu, banyak negara lain yang terus menunjukkan ketahanan dengan percepatan pertumbuhan, seperti di Brasil, India, dan negara-negara besar di Asia Tenggara.
 

Lebih lanjut, proyeksi pertumbuhan global pada 2024-2025 masih di bawah rata-rata historis (2000-2019) sebesar 3,8 persen dengan tingkat suku bunga bank sentral yang tinggi untuk mengurangi laju inflasi, penarikan dukungan fiskal di tengah utang tinggi membebani aktivitas ekonomi, dan pertumbuhan produktivitas dasar yang rendah.

Kemudian, inflasi menurun lebih cepat dari perkiraan di sebagian wilayah seiring masalah sisi pasokan dan kebijakan moneter yang ketat mereda. Inflasi global diperkirakan turun menjadi 5,8 persen pada tahun 2024 dan 4,4 persen pada tahun 2025. Proyeksi inflasi global pada tahun 2025 turun dari prediksi sebelumnya.

Dengan disinflasi dan pertumbuhan yang stabil, kemungkinan hard landing telah mereda dan risiko terhadap pertumbuhan global secara umum seimbang.

Di satu sisi, disinflasi yang lebih cepat dapat menyebabkan pelonggaran kondisi keuangan lebih lanjut. Kebijakan fiskal yang lebih longgar dari perkiraan dapat menyiratkan pertumbuhan lebih tinggi untuk sementara, tetapi dengan penyesuaian lebih mahal di kemudian hari.
Baca juga: Jubir Pemerintah Tiongkok menolak opsi "Satu China, Satu Taiwan"
Baca juga: Presiden Jokowi sebut hampir separuh negara di dunia jadi "pasien" IMF

Menurut dia, momentum reformasi struktural yang lebih kuat dapat meningkatkan produktivitas dengan dampak lintas batas (cross-border spillovers) yang positif.
 

Di sisi lain, lonjakan harga komoditas baru akibat guncangan geopolitik dan gangguan pasokan dapat memperpanjang kondisi moneter yang ketat. “Masalah sektor properti yang semakin dalam di China, atau di tempat lain, (dan) peralihan yang mengganggu pada kenaikan pajak dan pemotongan belanja juga bisa menimbulkan (risiko) penurunan pertumbuhan (growth disappointments),” ungkap dia.

 


Pewarta : M Baqir Idrus Alatas
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024