Jakarta (ANTARA) - Emir Qatar Tamim bin Hamad al-Thani dan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Selasa membahas perlunya menciptakan "perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah," dan menyatakan penolakan terhadap rencana operasi Israel di Rafah, Gaza Selatan.

Tamim diterima oleh Macron di Istana Elysee saat ia memulai kunjungan kenegaraan selama dua hari di Paris.

Konflik yang sedang berlangsung di Jalur Gaza menjadi inti pembicaraan kedua pemimpin.

"Presiden republik ini dan sang Emir pada akhirnya membahas perlunya mengupayakan kondisi untuk mengembalikan perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah dengan semua mitra kami," demikian pernyataan resmi Istana Elysee seperti dilansir Anadolu.

Macron menegaskan kembali kesediaannya untuk berkontribusi, seraya mengingatkan bahwa satu-satunya solusi adalah "dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam perdamaian dan keamanan," tambah pernyataan tersebut.

Menggarisbawahi upaya mediasi yang sedang berlangsung di kedua wilayah tersebut sangat diperlukan untuk jeda kemanusiaan di Gaza, kedua pemimpin itu menekankan perlunya gencatan senjata segera dan permanen untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan skala besar mencapai Gaza dan untuk melindungi warga sipil. Macron dan sang Emir Qatar juga menyatakan sikap mereka terhadap rencana operasi Israel di Rafah, kota di jalur Gaza Selatan yang dihuni lebih dari satu juta pengungsi.

Sekira 1,5 juta warga Palestina yang sebelumnya menjadi pengungsi akibat serangan Israel di Gaza kini bersembunyi di Rafah, mencari perlindungan dari serangan. Rencana Israel untuk melakukan serangan ke kota tersebut telah menimbulkan peringatan internasional, dan banyak negara mendesak agar operasi tersebut ditahan atau dibatalkan.

Kedua pemimpin itu menyatakan mereka akan menyediakan dukungan senilai 200 juta dolar kepada warga Palestina seraya mengutuk segala serangan yang dilancarkan Israel terhadap warga sipil. Mereka juga ingin jurnalis dapat kembali bertugas di wilayah-wilayah yang berkonflik.

Qatar masih memainkan peran kunci dalam negosiasi antara Israel dan para pemimpin Hamas mengenai gencatan senjata permanen di Gaza. Israel melancarkan serangan mematikan di Jalur Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Bombardir Israel selanjutnya telah menewaskan lebih dari 29.000 warga dan melukai lebih dari 69.000 orang, mengakibatkan kehancuran massal dan krisis bahan-bahan pokok.

Baca juga: UNRWA kesulitan salurkan bantuan ke Gaza
Baca juga: Menlu Malaysia Mohamad Hasan pimpin delegasi ke sesi dengar pendapat publik ICJ

Perang Israel terhadap Gaza telah menyebabkan 85 persen penduduk wilayah itu mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara 60 persen infrastruktur di wilayah itu telah rusak dan hancur, demikian catatan PBB.

Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional. Keputusan sementara pada Januari memerintahkan Tel Aviv menghentikan tindakan genosida itu dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.



 

Pewarta : Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024