Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Dr dr Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, edukasi, seperti melalui media, penting agar masyarakat dapat menjaga kesehatan pendengarannya.
Maxi menyebut bahwa sebenarnya, 60 persen penyebab gangguan pendengaran, seperti infeksi, serta kebisingan di tempat-tempat kerja maupun rekreasi, dapat dicegah.
"Yang paling penting bagaimana kita melakukan promosi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat sekaligus melakukan pencegahan gangguan pendengaran melalui tindakan deteksi dini yang efektif," ujarnya dalam "Temu Media Hari Pendengaran Sedunia" yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Jumat.
Maxi menjelaskan, gangguan pendengaran adalah ketika suara yang didengar sama dengan atau lebih dari 20 desibel. Dia mengutip data dari The Lancet, yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, prevalensi gangguan pendengaran secara global terus meningkat. Pada 2015, angkanya bertambah dari 14,3 persen menjadi 18,1 persen.
Adapun di Indonesia, ujarnya, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia 5 tahun sebesar 2,6 persen. Artinya, kata dia, setiap 100 anak, ada dua sampai tiga anak yang mengalami gangguan pendengaran.
Dia menjelaskan, tema Indonesia tahun ini dalam Hari Pendengaran Sedunia adalah "Ubah Pola Pikirmu, Mari peduli, Tuli Dapat Ditangani". Maxi menilai, tema tersebut penting guna mengingatkan masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan pendengaran.
Dia menyebut bahwa tantangan yang dihadapi adalah mengubah pola pikir masyarakat, agar lebih peduli terhadap isu kesehatan tersebut, serta melihat bahwa pendengaran adalah aset berharga, terutama bagi anak-anak. Oleh karena itu, edukasi sangat penting agar masyarakat dapat menjaga kesehatan pendengarannya.
"Setiap orang yang harus menguruskan pendengaran mereka secara berkala. Terutama mereka yang berisiko tinggi mengalami gangguan pendengaran," ujarnya.
Menurutnya, orang-orang dengan risiko tersebut termasuk orang-orang berusia di atas 50 tahun, mereka yang bekerja di tempat bising seperti bandara, yang mendengarkan musik dengan volume keras dalam waktu sangat lama. Dia juga menyarankan untuk tidak mengorek telinga dengan benda-benda tajam, atau memasukkan cairan ke telinga kecuali obat dari dokter.
Selain itu, kata dia, perlu ada upaya pencegahan dengan cara menggunakan pelindung telinga di tempat-tempat berisik, dan mendengarkan apapun dalam batasan volume yang aman. Dia menambahkan, jika ada sakit telinga, atau merasa telinga seperti sesak, kemungkinan ada infeksi, dan harus segera berobat ke dokter serta menghindari tempat yang diduga infeksius itu.
Maxi menurutkan, upaya-upaya rehabilitatif juga penting dilakukan, contohnya seperti implan koklea, terapi, atau pembelajaran bahasa isyarat, agar potensi orang-orang dengan gangguan pendengaran tetap dapat dimaksimalkan, dan mereka tetap memiliki kesempatan berkarya.
Baca juga: Kemenkes RI dan India akan gelar Forum Bisnis Kesehatan
Baca juga: Kiat jitu menuju nol kematian petugas penyelenggara pemilu
Dia mengutip data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021, yang menyebutkan bahwa 65 persen disabilitas di dunia disebabkan oleh gangguan pendengaran sedang hingga berat. Permasalahan tersebut, kata Maxi, menyebabkan beban ekonomi yang tinggi secara global.
"Hampir 1 triliun dolar per tahun. Belum lagi ditambah dengan perlunya biaya dukungan. Karena untuk pendidikannya, hilangnya waktu produktivitas, dan juga biaya sosial banyak." ujarnya menjelaskan.
Maxi menyebut bahwa sebenarnya, 60 persen penyebab gangguan pendengaran, seperti infeksi, serta kebisingan di tempat-tempat kerja maupun rekreasi, dapat dicegah.
"Yang paling penting bagaimana kita melakukan promosi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat sekaligus melakukan pencegahan gangguan pendengaran melalui tindakan deteksi dini yang efektif," ujarnya dalam "Temu Media Hari Pendengaran Sedunia" yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Jumat.
Maxi menjelaskan, gangguan pendengaran adalah ketika suara yang didengar sama dengan atau lebih dari 20 desibel. Dia mengutip data dari The Lancet, yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, prevalensi gangguan pendengaran secara global terus meningkat. Pada 2015, angkanya bertambah dari 14,3 persen menjadi 18,1 persen.
Adapun di Indonesia, ujarnya, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia 5 tahun sebesar 2,6 persen. Artinya, kata dia, setiap 100 anak, ada dua sampai tiga anak yang mengalami gangguan pendengaran.
Dia menjelaskan, tema Indonesia tahun ini dalam Hari Pendengaran Sedunia adalah "Ubah Pola Pikirmu, Mari peduli, Tuli Dapat Ditangani". Maxi menilai, tema tersebut penting guna mengingatkan masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan pendengaran.
Dia menyebut bahwa tantangan yang dihadapi adalah mengubah pola pikir masyarakat, agar lebih peduli terhadap isu kesehatan tersebut, serta melihat bahwa pendengaran adalah aset berharga, terutama bagi anak-anak. Oleh karena itu, edukasi sangat penting agar masyarakat dapat menjaga kesehatan pendengarannya.
"Setiap orang yang harus menguruskan pendengaran mereka secara berkala. Terutama mereka yang berisiko tinggi mengalami gangguan pendengaran," ujarnya.
Menurutnya, orang-orang dengan risiko tersebut termasuk orang-orang berusia di atas 50 tahun, mereka yang bekerja di tempat bising seperti bandara, yang mendengarkan musik dengan volume keras dalam waktu sangat lama. Dia juga menyarankan untuk tidak mengorek telinga dengan benda-benda tajam, atau memasukkan cairan ke telinga kecuali obat dari dokter.
Selain itu, kata dia, perlu ada upaya pencegahan dengan cara menggunakan pelindung telinga di tempat-tempat berisik, dan mendengarkan apapun dalam batasan volume yang aman. Dia menambahkan, jika ada sakit telinga, atau merasa telinga seperti sesak, kemungkinan ada infeksi, dan harus segera berobat ke dokter serta menghindari tempat yang diduga infeksius itu.
Maxi menurutkan, upaya-upaya rehabilitatif juga penting dilakukan, contohnya seperti implan koklea, terapi, atau pembelajaran bahasa isyarat, agar potensi orang-orang dengan gangguan pendengaran tetap dapat dimaksimalkan, dan mereka tetap memiliki kesempatan berkarya.
Baca juga: Kemenkes RI dan India akan gelar Forum Bisnis Kesehatan
Baca juga: Kiat jitu menuju nol kematian petugas penyelenggara pemilu
Dia mengutip data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021, yang menyebutkan bahwa 65 persen disabilitas di dunia disebabkan oleh gangguan pendengaran sedang hingga berat. Permasalahan tersebut, kata Maxi, menyebabkan beban ekonomi yang tinggi secara global.
"Hampir 1 triliun dolar per tahun. Belum lagi ditambah dengan perlunya biaya dukungan. Karena untuk pendidikannya, hilangnya waktu produktivitas, dan juga biaya sosial banyak." ujarnya menjelaskan.