Jakarta (ANTARA) - Lantunan musik khas Betawi terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Perpaduan alat musik tradisional dan modern bertalu-talu seirama, menciptakan suara yang asyik untuk didengar.
Alat musik yang digunakan para seniman berupa gamelan, gendang, terompet, keyboard, gitar, dan instrumen lainnya yang dimainkan sesuai irama musik khas Betawi. Musik dimainkan pertanda ada pertunjukan khas orang Jakarta yang segera disuguhkan kepada para penontonnya.
Pertunjukan diawali dengan tarian khas Betawi. Meskipun kurang akrab dengan tarian tersebut, yang pasti itu menjadi bagian dari seni budaya peninggalan leluhur. Lenggak-lenggok bagian tubuh para penari mengikuti alunan musik yang dimainkan, gerakannya seragam menunjukkan mereka sudah mahir karena sering latihan bersama.
Sesekali senyuman itu dibagikan kepada penonton yang sedang menikmati pertunjukan seni budaya di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan.
Setelah para penari selesai mempertontonkan tarian khas Betawi, barulah pertunjukan pamungkas disuguhkan untuk kembali menghibur wisatawan yang sedang berkunjung di Setu Babakan, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ya, pertunjukan lenong menjadi penutup untuk disuguhkan pada Sabtu sore pada awal bulan Maret 2024.
“Kami akan mempersembahkan Lenong Denes,” kata seorang seniman yang menjadi pemeran utama dalam pagelaran tersebut.
Para pemeran Lenong Denes saat pentas di UPK PBB Setu Babakan, Jakarta, Sabtu (2/3/2024). ANTARA/Khaerul Izan
Pria berkacamata itu menyampaikan bahwa pertunjukan Lenong Denes yang akan dibawakan, menggunakan bahasa yang lebih halus atau bahasa resmi. Berbeda dengan pertunjukan biasanya yang menggunakan bahasa kasar atau keseharian.
Seni pertunjukan lenong merupakan ciri khas Betawi yang mempunyai dua jenis yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Perbedaan keduanya terletak pada tutur bahasa, kostum, dan alur cerita yang dibawakan selama pertunjukan.
Lenong Denes menggunakan peranti pertunjukan serbaresmi atau halus, sedangkan Lenong Preman dari segi bahasa, kostum, dan alur ceritanya yaitu tentang keseharian masyarakat pada umumnya.
Meskipun pada saat pertunjukan menggunakan bahasa resmi, itu tidak menghilangkan ciri khas seni budaya Betawi. Bahkan para penonton yang menyaksikan ikut larut dalam cerita dan sesekali tertawa geli karena ulah para pemeran.
Melihat seni pertunjukan memang menjadi sensasi tersendiri pada era serba-digital seperti sekarang ini. Hingga tidak terasa sudah 2 jam menyimak cerita yang dibawakan oleh para pelaku seni di UPK PBB Setu Babakan.
Melestarikan seni budaya
Pertunjukan seni budaya di UPK PBB Setu Babakan merupakan langkah Pemerintah untuk melestarikan warisan budaya takbenda yang dimiliki oleh DKI Jakarta, agar nantinya tidak hanya menjadi kenangan tanpa ada sang penerus.
Pemerintah Kota Jakarta Selatan berupaya melestarikan seni dan budaya Betawi dengan mengadakan pelatihan dan juga pergelaran untuk para pelaku seni. Saat ini, sanggar seni budaya di Jakarta Selatan kurang lebih berjumlah 400 unit, dengan total pelaku seni mencapai lebih dari 2.000 orang.
Para pelaku seni tersebut memang memerlukan pembinaan supaya warisan leluhur bisa terus dilestarikan dan dinikmati oleh anak cucu kelak. Seni budaya khas Betawi yang dimaksud yaitu tari, palang pintu, lenong, dan lainnya yang memang menjadi ciri khas Jakarta.
Pemerintah mengakui bahwa tidak semua sanggar seni yang berada di Jakarta Selatan bisa tertampung, tetapi yang pasti mereka terus diberdayakan, agar tidak punah di kemudian hari.
"Kami memberdayakan para pelaku seni dengan mengadakan pelatihan, festival, juga pergelaran seni," kata Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan Rusmantoro ketika berbincang dengan ANTARA.
Rusmantoro yang juga Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan mengatakan bahwa setiap akhir pekan Pemerintah rutin menampilkan pertunjukan khas Betawi seperti tari, musik, lenong, dan lainnya di UPK PBB.
Pertunjukan itu bukan sekadar memberikan hiburan kepada wisatawan yang berkunjung. Langkah tersebut diambil demi melestarikan seni budaya khas Betawi.
Para seniman yang tampil di panggung hiburan tersebut sudah dijamin pendapatannya oleh Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta sehingga wisatawan dan masyarakat tidak dikenakan biaya.
Harapan pelaku seni
Pemerintah memang telah menyediakan APBD untuk melestarikan seni budaya di Jakarta, namun lokasi untuk menampung para seniman di DKI saat ini baru ada hanya satu, yaitu di UPK PBB Setu Babakan. Tentu jumlah itu belum sebanding dengan para pelaku seni.
Padahal banyak lokasi di DKI Jakarta yang bisa digunakan untuk menampung para seniman berkreasi dan mempertontonkan kepada masyarakat luas, seperti di jalan protokol, gedung kesenian, Taman Ismail Marzuki, Ancol, pusat perbelanjaan, hotel, dan lain sebagainya.
Wakil Ketua Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan bahwa pelaku seni budaya khas Betawi di DKI Jakarta sangat banyak, sedangkan Pemerintah hanya menyediakan satu pertunjukan di Kampung Betawi, Setu Babakan, Jakarta Selatan.
Bahkan untuk intensitas pertunjukannya pun dalam 1 bulan hanya berkisar delapan kali pementasan yaitu pada akhir pekan dan untuk sanggar yang terlibat paling banyak 16 sanggar dalam sebulan. Jadi, dapat dipastikan banyak sanggar yang tidak bisa tampil. Sementara lokasi lainnya terutama di tempat kesenian seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung kesenian Jakarta, dan lainnya, para pelaku seni harus mengeluarkan biaya yang tidak kecil untuk pentas karena Pemprov DKI mengenakan retribusi.
“Pemerintah ingin mengutip retribusi dari seniman-seniman namun susah,” katanya.
Seharusnya lokasi dan tempat keramaian yang begitu banyak di DKI Jakarta bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah dengan menampilkan seni budaya khas Betawi untuk menghibur masyarakat.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan alasannya untuk menaikkan tarif retribusi karena-- pada umumnya-- gedung kesenian dan museum adalah bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah terhadap perkembangan kota Jakarta dan sebagai bukti kemegahan peradaban bangsa Indonesia di masa lalu sehingga keberadaannya mesti dimuliakan.
Dengan meningkatnya pendapatan dari tarif retribusi, pemda dapat mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat yang mencakup perbaikan infrastruktur, peningkatan efisiensi dan peningkatan dalam penyediaan layanan.
Baca juga: Konser Budaya Kebhinekaan RRI dimeriahkan Cakra Khan dan Lenong Betawi
Baca juga: Perajin gunakan sampah botol air mineral jadi miniatur ondel-ondel
Sejauh ini Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya pemulihan dan peningkatan fungsi bangunan-bangunan cagar budaya tersebut agar lebih terjaga, lestari, terawat melalui proses konservasi dan revitalisasi.
Ke depan, kenaikan penyesuaian tarif retribusi saat ini sebagai salah satu bentuk pemuliaan atas keberadaan gedung-gedung kesenian dan museum. Pelaku seni tentu tidak bisa hanya menadahkan tangannya kepada Pemerintah karena anggaran yang dimiliki terbatas dan tidak akan mungkin mencukupi untuk mewadahi semua pelaku seni budaya di DKI.
Oleh karena itu, pementasan seni budaya harus dimasifkan dengan menyediakan tempat yang lebih banyak, agar warisan takbenda itu terus lestari.
Alat musik yang digunakan para seniman berupa gamelan, gendang, terompet, keyboard, gitar, dan instrumen lainnya yang dimainkan sesuai irama musik khas Betawi. Musik dimainkan pertanda ada pertunjukan khas orang Jakarta yang segera disuguhkan kepada para penontonnya.
Pertunjukan diawali dengan tarian khas Betawi. Meskipun kurang akrab dengan tarian tersebut, yang pasti itu menjadi bagian dari seni budaya peninggalan leluhur. Lenggak-lenggok bagian tubuh para penari mengikuti alunan musik yang dimainkan, gerakannya seragam menunjukkan mereka sudah mahir karena sering latihan bersama.
Sesekali senyuman itu dibagikan kepada penonton yang sedang menikmati pertunjukan seni budaya di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan.
Setelah para penari selesai mempertontonkan tarian khas Betawi, barulah pertunjukan pamungkas disuguhkan untuk kembali menghibur wisatawan yang sedang berkunjung di Setu Babakan, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ya, pertunjukan lenong menjadi penutup untuk disuguhkan pada Sabtu sore pada awal bulan Maret 2024.
“Kami akan mempersembahkan Lenong Denes,” kata seorang seniman yang menjadi pemeran utama dalam pagelaran tersebut.
Seni pertunjukan lenong merupakan ciri khas Betawi yang mempunyai dua jenis yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Perbedaan keduanya terletak pada tutur bahasa, kostum, dan alur cerita yang dibawakan selama pertunjukan.
Lenong Denes menggunakan peranti pertunjukan serbaresmi atau halus, sedangkan Lenong Preman dari segi bahasa, kostum, dan alur ceritanya yaitu tentang keseharian masyarakat pada umumnya.
Meskipun pada saat pertunjukan menggunakan bahasa resmi, itu tidak menghilangkan ciri khas seni budaya Betawi. Bahkan para penonton yang menyaksikan ikut larut dalam cerita dan sesekali tertawa geli karena ulah para pemeran.
Melihat seni pertunjukan memang menjadi sensasi tersendiri pada era serba-digital seperti sekarang ini. Hingga tidak terasa sudah 2 jam menyimak cerita yang dibawakan oleh para pelaku seni di UPK PBB Setu Babakan.
Melestarikan seni budaya
Pertunjukan seni budaya di UPK PBB Setu Babakan merupakan langkah Pemerintah untuk melestarikan warisan budaya takbenda yang dimiliki oleh DKI Jakarta, agar nantinya tidak hanya menjadi kenangan tanpa ada sang penerus.
Pemerintah Kota Jakarta Selatan berupaya melestarikan seni dan budaya Betawi dengan mengadakan pelatihan dan juga pergelaran untuk para pelaku seni. Saat ini, sanggar seni budaya di Jakarta Selatan kurang lebih berjumlah 400 unit, dengan total pelaku seni mencapai lebih dari 2.000 orang.
Para pelaku seni tersebut memang memerlukan pembinaan supaya warisan leluhur bisa terus dilestarikan dan dinikmati oleh anak cucu kelak. Seni budaya khas Betawi yang dimaksud yaitu tari, palang pintu, lenong, dan lainnya yang memang menjadi ciri khas Jakarta.
Pemerintah mengakui bahwa tidak semua sanggar seni yang berada di Jakarta Selatan bisa tertampung, tetapi yang pasti mereka terus diberdayakan, agar tidak punah di kemudian hari.
"Kami memberdayakan para pelaku seni dengan mengadakan pelatihan, festival, juga pergelaran seni," kata Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan Rusmantoro ketika berbincang dengan ANTARA.
Rusmantoro yang juga Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan mengatakan bahwa setiap akhir pekan Pemerintah rutin menampilkan pertunjukan khas Betawi seperti tari, musik, lenong, dan lainnya di UPK PBB.
Pertunjukan itu bukan sekadar memberikan hiburan kepada wisatawan yang berkunjung. Langkah tersebut diambil demi melestarikan seni budaya khas Betawi.
Para seniman yang tampil di panggung hiburan tersebut sudah dijamin pendapatannya oleh Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta sehingga wisatawan dan masyarakat tidak dikenakan biaya.
Harapan pelaku seni
Pemerintah memang telah menyediakan APBD untuk melestarikan seni budaya di Jakarta, namun lokasi untuk menampung para seniman di DKI saat ini baru ada hanya satu, yaitu di UPK PBB Setu Babakan. Tentu jumlah itu belum sebanding dengan para pelaku seni.
Padahal banyak lokasi di DKI Jakarta yang bisa digunakan untuk menampung para seniman berkreasi dan mempertontonkan kepada masyarakat luas, seperti di jalan protokol, gedung kesenian, Taman Ismail Marzuki, Ancol, pusat perbelanjaan, hotel, dan lain sebagainya.
Wakil Ketua Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan bahwa pelaku seni budaya khas Betawi di DKI Jakarta sangat banyak, sedangkan Pemerintah hanya menyediakan satu pertunjukan di Kampung Betawi, Setu Babakan, Jakarta Selatan.
Bahkan untuk intensitas pertunjukannya pun dalam 1 bulan hanya berkisar delapan kali pementasan yaitu pada akhir pekan dan untuk sanggar yang terlibat paling banyak 16 sanggar dalam sebulan. Jadi, dapat dipastikan banyak sanggar yang tidak bisa tampil. Sementara lokasi lainnya terutama di tempat kesenian seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung kesenian Jakarta, dan lainnya, para pelaku seni harus mengeluarkan biaya yang tidak kecil untuk pentas karena Pemprov DKI mengenakan retribusi.
“Pemerintah ingin mengutip retribusi dari seniman-seniman namun susah,” katanya.
Seharusnya lokasi dan tempat keramaian yang begitu banyak di DKI Jakarta bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah dengan menampilkan seni budaya khas Betawi untuk menghibur masyarakat.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan alasannya untuk menaikkan tarif retribusi karena-- pada umumnya-- gedung kesenian dan museum adalah bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah terhadap perkembangan kota Jakarta dan sebagai bukti kemegahan peradaban bangsa Indonesia di masa lalu sehingga keberadaannya mesti dimuliakan.
Dengan meningkatnya pendapatan dari tarif retribusi, pemda dapat mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat yang mencakup perbaikan infrastruktur, peningkatan efisiensi dan peningkatan dalam penyediaan layanan.
Baca juga: Konser Budaya Kebhinekaan RRI dimeriahkan Cakra Khan dan Lenong Betawi
Baca juga: Perajin gunakan sampah botol air mineral jadi miniatur ondel-ondel
Sejauh ini Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya pemulihan dan peningkatan fungsi bangunan-bangunan cagar budaya tersebut agar lebih terjaga, lestari, terawat melalui proses konservasi dan revitalisasi.
Ke depan, kenaikan penyesuaian tarif retribusi saat ini sebagai salah satu bentuk pemuliaan atas keberadaan gedung-gedung kesenian dan museum. Pelaku seni tentu tidak bisa hanya menadahkan tangannya kepada Pemerintah karena anggaran yang dimiliki terbatas dan tidak akan mungkin mencukupi untuk mewadahi semua pelaku seni budaya di DKI.
Oleh karena itu, pementasan seni budaya harus dimasifkan dengan menyediakan tempat yang lebih banyak, agar warisan takbenda itu terus lestari.