Yogyakarta (ANTARA) - Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) memastikan terus memperhatikan kesehatan mental para mahasiswa dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
"Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengurangi potensi penyimpangan aktivitas dalam mekanisme pendidikan yang berakibat pada kesehatan fisik dan mental mahasiswa," kata Dekan FKKMK UGM Prof Yodi Mahendradhata dalam keterangan resmi di Yogyakarta, Rabu.
Pernyataan itu disampaikan Yodi merespons hasil skrining atau penapisan awal kesehatan jiwa peserta PPDS yang dirilis Kementerian Kesehatan RI. Hasil skrining awal itu mengungkapkan bahwa 22,4 persen peserta PPDS mengalami gejala depresi, dan 0,6 persen di antaranya mengalami depresi berat.
Yodi mengemukakan program pendidikan dokter spesialis terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan peserta didik.
Pengelolaan kesehatan mental mahasiswa peserta PPDS, kata dia, diwujudkan dengan melakukan skrining kesehatan bagi semua mahasiswa calon dokter spesialis di awal proses pendidikan.
"Proses skrining atau penapisan kesehatan mental merupakan contoh upaya nyata pengelolaan kesehatan jiwa mahasiswa," kata dia.
Menurut dia, pengelolaan kesehatan mental itu diupayakan dengan mengatur jam kerja kurang dari 80 jam per minggu bagi semua mahasiswa calon dokter spesialis. Kemudian, memberikan edukasi tentang penanggulangan gejala-gejala depresi secara berkesinambungan dan menyediakan layanan tim psikolog apabila terdapat indikasi gejala depresi.
Layanan psikolog tersebut bisa diakses melalui internet secara personal untuk menjamin kerahasiaan proses konseling.
"Selanjutnya, melakukan monitoring rutin terkait kondisi dan perkembangan pendidikan mahasiswa calon dokter spesialis oleh dosen pembimbing akademik," ujar Yodi.
Menurut dia, proses penapisan atau skrining kesehatan mental mahasiswa perlu memperhatikan pemilihan instrumen skrining untuk menjamin validitas data, mempertimbangkan aspek etik, dan menjaga kualitas data.
Meskipun demikian, dia menegaskan hasil skrining awal bukan sebagai kesimpulan final ataupun perangkat untuk mendiagnosis kondisi kesehatan mahasiswa. Dia mengatakan hasil skrining semestinya diikuti dengan tahapan pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan oleh ahli kesehatan mental.
"Dengan demikian, hasil kajian awal tidak untuk dipublikasikan karena berpotensi menimbulkan salah interpretasi, pelanggaran etik maupun stigmatisasi institusi atau kelompok tertentu seperti mahasiswa calon dokter spesialis," ujar dia.
Yodi menuturkan cita-cita luhur penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis diarahkan untuk membantu pencapaian misi pemerintah dalam melakukan pemerataan, percepatan pemenuhan, dan penjaminan kualitas pelayanan kesehatan medis profesional.
Penyelenggaraan program pendidikan dokter spesialis, kata dia, mencakup peningkatan aspek kompetensi, keterampilan, kepemimpinan, kedisiplinan, tanggung jawab, dan penguasaan etika bagi mahasiswa.
Menilik cakupan tersebut, menurut dia, dapat dipahami bahwa pendidikan dokter spesialis bertujuan untuk membentuk dokter spesialis yang mampu mewujudkan kualitas profesional pelayanan kesehatan masa depan.
"Pembentukan ini melalui proses yang kompleks serta sistematis, dan tidak hanya sekadar melakukan pemahiran semata," kata dia.
Seperti diwartakan, dari hasil skrining yang dilakukan Kemenkes RI mengungkapkan bahwa 22,4 persen peserta PPDS mengalami gejala depresi, dan 0.6 persen di antaranya mengalami depresi berat. Bahkan ditemukan dokter yang ingin bunuh diri.
Baca juga: Kelola stres jadi cara jaga tubuh sehat usai Lebaran
Baca juga: Pada 2023 ada 808 ribu kasus TBC Sensitif Obat
Dari 22,4 persen PPDS yang mengalami depresi, sebanyak 381 orang (14 persen) di antaranya menjalani pendidikan spesialis anak, 350 pendidikan spesialis penyakit dalam, 248 anestesiologi, 164 neurologi, dan 153 obgyn.
Peserta PPDS yang mengalami gejala depresi terbanyak (22,4 persen) berasal dari RSCM Jakarta, 250 dari RS Hasan Sadikin Bandung, 326 dari RS Sardjito Yogyakarta, 284 dari RS Ngoerah Denpasar.
"Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengurangi potensi penyimpangan aktivitas dalam mekanisme pendidikan yang berakibat pada kesehatan fisik dan mental mahasiswa," kata Dekan FKKMK UGM Prof Yodi Mahendradhata dalam keterangan resmi di Yogyakarta, Rabu.
Pernyataan itu disampaikan Yodi merespons hasil skrining atau penapisan awal kesehatan jiwa peserta PPDS yang dirilis Kementerian Kesehatan RI. Hasil skrining awal itu mengungkapkan bahwa 22,4 persen peserta PPDS mengalami gejala depresi, dan 0,6 persen di antaranya mengalami depresi berat.
Yodi mengemukakan program pendidikan dokter spesialis terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan peserta didik.
Pengelolaan kesehatan mental mahasiswa peserta PPDS, kata dia, diwujudkan dengan melakukan skrining kesehatan bagi semua mahasiswa calon dokter spesialis di awal proses pendidikan.
"Proses skrining atau penapisan kesehatan mental merupakan contoh upaya nyata pengelolaan kesehatan jiwa mahasiswa," kata dia.
Menurut dia, pengelolaan kesehatan mental itu diupayakan dengan mengatur jam kerja kurang dari 80 jam per minggu bagi semua mahasiswa calon dokter spesialis. Kemudian, memberikan edukasi tentang penanggulangan gejala-gejala depresi secara berkesinambungan dan menyediakan layanan tim psikolog apabila terdapat indikasi gejala depresi.
Layanan psikolog tersebut bisa diakses melalui internet secara personal untuk menjamin kerahasiaan proses konseling.
"Selanjutnya, melakukan monitoring rutin terkait kondisi dan perkembangan pendidikan mahasiswa calon dokter spesialis oleh dosen pembimbing akademik," ujar Yodi.
Menurut dia, proses penapisan atau skrining kesehatan mental mahasiswa perlu memperhatikan pemilihan instrumen skrining untuk menjamin validitas data, mempertimbangkan aspek etik, dan menjaga kualitas data.
Meskipun demikian, dia menegaskan hasil skrining awal bukan sebagai kesimpulan final ataupun perangkat untuk mendiagnosis kondisi kesehatan mahasiswa. Dia mengatakan hasil skrining semestinya diikuti dengan tahapan pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan oleh ahli kesehatan mental.
"Dengan demikian, hasil kajian awal tidak untuk dipublikasikan karena berpotensi menimbulkan salah interpretasi, pelanggaran etik maupun stigmatisasi institusi atau kelompok tertentu seperti mahasiswa calon dokter spesialis," ujar dia.
Yodi menuturkan cita-cita luhur penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis diarahkan untuk membantu pencapaian misi pemerintah dalam melakukan pemerataan, percepatan pemenuhan, dan penjaminan kualitas pelayanan kesehatan medis profesional.
Penyelenggaraan program pendidikan dokter spesialis, kata dia, mencakup peningkatan aspek kompetensi, keterampilan, kepemimpinan, kedisiplinan, tanggung jawab, dan penguasaan etika bagi mahasiswa.
Menilik cakupan tersebut, menurut dia, dapat dipahami bahwa pendidikan dokter spesialis bertujuan untuk membentuk dokter spesialis yang mampu mewujudkan kualitas profesional pelayanan kesehatan masa depan.
"Pembentukan ini melalui proses yang kompleks serta sistematis, dan tidak hanya sekadar melakukan pemahiran semata," kata dia.
Seperti diwartakan, dari hasil skrining yang dilakukan Kemenkes RI mengungkapkan bahwa 22,4 persen peserta PPDS mengalami gejala depresi, dan 0.6 persen di antaranya mengalami depresi berat. Bahkan ditemukan dokter yang ingin bunuh diri.
Baca juga: Kelola stres jadi cara jaga tubuh sehat usai Lebaran
Baca juga: Pada 2023 ada 808 ribu kasus TBC Sensitif Obat
Dari 22,4 persen PPDS yang mengalami depresi, sebanyak 381 orang (14 persen) di antaranya menjalani pendidikan spesialis anak, 350 pendidikan spesialis penyakit dalam, 248 anestesiologi, 164 neurologi, dan 153 obgyn.
Peserta PPDS yang mengalami gejala depresi terbanyak (22,4 persen) berasal dari RSCM Jakarta, 250 dari RS Hasan Sadikin Bandung, 326 dari RS Sardjito Yogyakarta, 284 dari RS Ngoerah Denpasar.