Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan pada 2023 tercatat ada 808 ribu kasus tuberkulosis sensitif obat dan sekitar 88 persen memulai pengobatan.
"TBC Sensitif Obat (SO) ini merupakan kondisi di mana Mycobacterium tuberculosis ini masih sensitif terhadap OAT (Obat Anti-Tuberkulosis) yang potensial. Walaupun dampaknya tidak seberat TBC-RO, namun penularannya relatif sama dengannya," ujar Imran dalam "Bergerak Bersama, Lawan Tuberkulosis Sensitif Obat" yang disiarkan di kanal Youtube TBC Indonesia di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan angka tersebut menunjukkan bahwa sejumlah orang sudah terkonfirmasi mengidap TBC SO, namun belum memulai pengobatan. Hal tersebut, ujarnya, berisiko menimbulkan penularan ke orang lainnya. TBC SO dan TBC RO disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat, sehingga menyebabkan bakteri penyebab TBC, Mycobacterium tuberculosis kebal terhadap obat-obatan.
Dia menyebut salah satu isu dalam penanganan tuberkulosis adalah tingginya angka putus pengobatan. Hal itu, ujarnya, dikarenakan beberapa hal, terutama adanya durasi pengobatan yang cukup lama yaitu minimal enam bulan, adanya efek samping obat, kesulitan akses, masalah ekonomi, dan juga stigma.
Menurutnya, apabila TBC tidak ditangani secara tepat, maka berisiko menjadi TBC RO serta kerusakan fungsi paru-paru. Imran mengatakan tuberkulosis adalah penyakit yang menjadi beban secara global dan nasional. Dperkirakan ada 121 kasus TBC per jam di Indonesia dan setiap jamnya, TBC membunuh 15 orang.
Dia mengatakan Indonesia telah melakukan upaya-upaya yang signifikan dalam pemberantasan tuberkulosis. Sebagai buktinya, kata dia, pada 2023 ada sebanyak 821 ribu kasus atau 77-78 persen dari 1.090.000 penderita TBC baru yang diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selain itu, katanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, dimana setiap fasilitas kesehatan yang menemukan kasus tuberkulosis wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan dan mencatatnya di Sistem Informasi Tuberkulosis.
Kemudian, kata Imran, untuk mengoptimalkan kualitas layanan serta kontribusi pelaporan tersebut, maka pemerintah melakukan sejumlah upaya lain, seperti bekerja sama dengan jaringan rumah sakit di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta.
Baca juga: Dokter menjelaskan proses TB sebabkan penumpukan cairan di paru
Baca juga: Ibu dengan TB tetap bisa menyusui selama taat prokes
Menurutnya, tenaga kesehatan merupakan ujung tombak dalam penanganan tuberkulosis, seperti dalam hal diagnosis, penemuan kasus, pengobatan, hingga edukasi bagi masyarakat. Mereka juga berperan sebagai pendamping dan pendukung para pasien agar semangat menjalani pengobatan sampai tuntas.
Namun demikian, katanya, eliminasi tuberkulosis merupakan tanggung jawab seluruh pihak.
"Harapannya seluruh pihak, termasuk mitra dan swasta, dapat bergerak serta bersinergi mengerjakan permasalahan tuberkulosis, baik dari aspek kesehatan, psikososial, ekonomi, dan lain-lainnya," ucap dia.
"TBC Sensitif Obat (SO) ini merupakan kondisi di mana Mycobacterium tuberculosis ini masih sensitif terhadap OAT (Obat Anti-Tuberkulosis) yang potensial. Walaupun dampaknya tidak seberat TBC-RO, namun penularannya relatif sama dengannya," ujar Imran dalam "Bergerak Bersama, Lawan Tuberkulosis Sensitif Obat" yang disiarkan di kanal Youtube TBC Indonesia di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan angka tersebut menunjukkan bahwa sejumlah orang sudah terkonfirmasi mengidap TBC SO, namun belum memulai pengobatan. Hal tersebut, ujarnya, berisiko menimbulkan penularan ke orang lainnya. TBC SO dan TBC RO disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat, sehingga menyebabkan bakteri penyebab TBC, Mycobacterium tuberculosis kebal terhadap obat-obatan.
Dia menyebut salah satu isu dalam penanganan tuberkulosis adalah tingginya angka putus pengobatan. Hal itu, ujarnya, dikarenakan beberapa hal, terutama adanya durasi pengobatan yang cukup lama yaitu minimal enam bulan, adanya efek samping obat, kesulitan akses, masalah ekonomi, dan juga stigma.
Menurutnya, apabila TBC tidak ditangani secara tepat, maka berisiko menjadi TBC RO serta kerusakan fungsi paru-paru. Imran mengatakan tuberkulosis adalah penyakit yang menjadi beban secara global dan nasional. Dperkirakan ada 121 kasus TBC per jam di Indonesia dan setiap jamnya, TBC membunuh 15 orang.
Dia mengatakan Indonesia telah melakukan upaya-upaya yang signifikan dalam pemberantasan tuberkulosis. Sebagai buktinya, kata dia, pada 2023 ada sebanyak 821 ribu kasus atau 77-78 persen dari 1.090.000 penderita TBC baru yang diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selain itu, katanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, dimana setiap fasilitas kesehatan yang menemukan kasus tuberkulosis wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan dan mencatatnya di Sistem Informasi Tuberkulosis.
Kemudian, kata Imran, untuk mengoptimalkan kualitas layanan serta kontribusi pelaporan tersebut, maka pemerintah melakukan sejumlah upaya lain, seperti bekerja sama dengan jaringan rumah sakit di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta.
Baca juga: Dokter menjelaskan proses TB sebabkan penumpukan cairan di paru
Baca juga: Ibu dengan TB tetap bisa menyusui selama taat prokes
Menurutnya, tenaga kesehatan merupakan ujung tombak dalam penanganan tuberkulosis, seperti dalam hal diagnosis, penemuan kasus, pengobatan, hingga edukasi bagi masyarakat. Mereka juga berperan sebagai pendamping dan pendukung para pasien agar semangat menjalani pengobatan sampai tuntas.
Namun demikian, katanya, eliminasi tuberkulosis merupakan tanggung jawab seluruh pihak.
"Harapannya seluruh pihak, termasuk mitra dan swasta, dapat bergerak serta bersinergi mengerjakan permasalahan tuberkulosis, baik dari aspek kesehatan, psikososial, ekonomi, dan lain-lainnya," ucap dia.