Jakarta (ANTARA) - Pengamat intelijen dan keamanan nasional sekaligus Direktur Eksekutif Intelligence and National Security Studies (INSS) Stepi Anriani berpendapat film dokumenter bisa mencegah pekerja migran Indonesia (PMI) terjebak radikalisme.
Hal itu dia sampaikan untuk menanggapi film dokumenter berjudul "Pilihan" produksi Ruang Migran yang mengisahkan PMI yang terjebak radikalisme.
"Film yang digagas sama Ruang Migran itu sudah sangat luar biasa. Jadi, sebelum pekerja migran atau TKI/TKW itu pergi ke tempat negara tujuan dipertontonkan film tadi. Jadi, ini sebuah film yang bisa jadi sebuah alat, alat yang memberikan insight (wawasan) kepada pekerja migran," kata Stepi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis.
Stepi menjelaskan bahwa film dokumenter dapat menjadi salah satu medium pencegahan radikalisme, selain iklan ataupun narasi positif untuk mengimbangi narasi negatif di media sosial.
Dia mengatakan bahwa PMI dapat menjadi target empuk oleh kelompok teror, sehingga terjerat radikalisme. Proses adaptasi dengan lingkungan baru di luar negeri menjadi salah satu alasan mengapa PMI dapat menjadi target oleh kelompok teror.
"Untuk pekerja-pekerja migran perempuan, mereka menjadi TKI atau TKW itu biasanya ada masalah di kampung halamannya, entah masalah ekonomi atau krisis kepercayaan diri, dan lain-lain, sehingga para teroris atau kelompok teror tahu ini adalah sasaran empuk. Sudah dia jauh dari rumah, kemudian dia kurang kasih sayang, krisis eksistensi diri, tetapi di sisi lain dia punya penghasilan bulanan," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak terlena dengan kondisi zero terrorist attack (tidak ada serangan teroris secara terbuka), sehingga pencegahan harus terus diperkuat, termasuk melalui film dokumenter.
"Bayangkan kita enggak bisa melindungi mereka secara fisik, ya, minimal (melindungi) secara moral dan pengetahuan. Jadi film "Pilihan" ini menurut saya sangat luar biasa bagus, ya, karena menceritakan hal-hal yang kadang-kadang luput dari perhatian kita," ujarnya.
Sementara itu, Produser Eksekutif film dokumenter "Pilihan" Noor Huda Ismail mengatakan bahwa pembuatan film memang ditujukan kepada PMI.
Baca juga: Bawaslu dalami dugaan fitnah di film "Dirty Vote"
Baca juga: Ketua Umum Golkar: Film dokumenter "Dirty Vote" kampanye hitam
Ia menjelaskan film tersebut akan diputar oleh kementerian/lembaga terkait, seperti Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk diputar dan disaksikan oleh PMI sebelum diberikan pelatihan yang dibutuhkan.
Selain itu, ia mengatakan bahwa pihaknya sengaja berfokus untuk menceritakan media sosial dan bagaimana PMI menggunakannya dengan bijak. Oleh sebab itu, PMI yang terjebak radikalisme turut dilibatkan dalam pembuatan film.
"Pendekatan kita adalah bagaimana mantan teroris bisa bercerita dan dikemas dengan baik. Rata-rata kampanye negara kan menunjukkan negara sudah melakukan ini, dan kita tahu bahwa kita tidak tertarik pada hal itu. Kita tertarik kepada cerita, proses, dan apa langkah selanjutnya," kata Huda.
Hal itu dia sampaikan untuk menanggapi film dokumenter berjudul "Pilihan" produksi Ruang Migran yang mengisahkan PMI yang terjebak radikalisme.
"Film yang digagas sama Ruang Migran itu sudah sangat luar biasa. Jadi, sebelum pekerja migran atau TKI/TKW itu pergi ke tempat negara tujuan dipertontonkan film tadi. Jadi, ini sebuah film yang bisa jadi sebuah alat, alat yang memberikan insight (wawasan) kepada pekerja migran," kata Stepi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis.
Stepi menjelaskan bahwa film dokumenter dapat menjadi salah satu medium pencegahan radikalisme, selain iklan ataupun narasi positif untuk mengimbangi narasi negatif di media sosial.
Dia mengatakan bahwa PMI dapat menjadi target empuk oleh kelompok teror, sehingga terjerat radikalisme. Proses adaptasi dengan lingkungan baru di luar negeri menjadi salah satu alasan mengapa PMI dapat menjadi target oleh kelompok teror.
"Untuk pekerja-pekerja migran perempuan, mereka menjadi TKI atau TKW itu biasanya ada masalah di kampung halamannya, entah masalah ekonomi atau krisis kepercayaan diri, dan lain-lain, sehingga para teroris atau kelompok teror tahu ini adalah sasaran empuk. Sudah dia jauh dari rumah, kemudian dia kurang kasih sayang, krisis eksistensi diri, tetapi di sisi lain dia punya penghasilan bulanan," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak terlena dengan kondisi zero terrorist attack (tidak ada serangan teroris secara terbuka), sehingga pencegahan harus terus diperkuat, termasuk melalui film dokumenter.
"Bayangkan kita enggak bisa melindungi mereka secara fisik, ya, minimal (melindungi) secara moral dan pengetahuan. Jadi film "Pilihan" ini menurut saya sangat luar biasa bagus, ya, karena menceritakan hal-hal yang kadang-kadang luput dari perhatian kita," ujarnya.
Sementara itu, Produser Eksekutif film dokumenter "Pilihan" Noor Huda Ismail mengatakan bahwa pembuatan film memang ditujukan kepada PMI.
Baca juga: Bawaslu dalami dugaan fitnah di film "Dirty Vote"
Baca juga: Ketua Umum Golkar: Film dokumenter "Dirty Vote" kampanye hitam
Ia menjelaskan film tersebut akan diputar oleh kementerian/lembaga terkait, seperti Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk diputar dan disaksikan oleh PMI sebelum diberikan pelatihan yang dibutuhkan.
Selain itu, ia mengatakan bahwa pihaknya sengaja berfokus untuk menceritakan media sosial dan bagaimana PMI menggunakannya dengan bijak. Oleh sebab itu, PMI yang terjebak radikalisme turut dilibatkan dalam pembuatan film.
"Pendekatan kita adalah bagaimana mantan teroris bisa bercerita dan dikemas dengan baik. Rata-rata kampanye negara kan menunjukkan negara sudah melakukan ini, dan kita tahu bahwa kita tidak tertarik pada hal itu. Kita tertarik kepada cerita, proses, dan apa langkah selanjutnya," kata Huda.