Denpasar (ANTARA) - Masyarakat Bali sangat kental dengan nilai-nilai kearifan lokal bernapaskan Hindu, termasuk dalam memandang air. Bagi orang Bali, air bukan sekadar sumber daya, melainkan inti dari spiritualitas dan kebudayaan.

Sumber-sumber air di Bali seperti mata air, sungai, dan danau dianggap sebagai sumber spiritual dan pusat peradaban air di Bali, yang memberikan kehidupan tidak hanya kepada manusia tetapi juga memperkaya keberlanjutan ekosistem sekitar.

Air menjadi salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan Hindu. Untuk membuat tirta (air suci) yang digunakan sebagai sarana persembahyangan, air biasanya diambil dari mata air tertentu.

Bahkan pada saat hari tertentu, misal, jelang Hari Suci Nyepi, umat Hindu melakukan upacara atau ritual melasti ke sumber-sumber air, seperti danau, mata air, atau ke laut.

Air dalam fungsinya sebagai tirta, dalam prosesi upacara tidak saja digunakan untuk memerciki sarana persembahan, tetapi juga memerciki kepala dan kemudian diminum oleh umat Hindu.

Oleh karena fungsinya tersebut, masyarakat selalu berusaha untuk merawatnya agar kondisi atau kualitas air tetap terjaga sehingga umat Hindu harus melakukan konservasi lingkungan mata air.

Dewa Wisnu sebagai manifestasi Tuhan sebagai dewa air dan pemelihara makhluk hidup, juga telah memosisikan air sebagai simbol kesuburan dan kehidupan, esensial dalam upacara keagamaan yang mencerminkan siklus kehidupan manusia, dari lahir hingga mati.

Begitu pentingnya fungsi air bagi masyarakat Hindu Bali pada khususnya, sehingga konsep kearifan lokal pemuliaan air Segara Kerthi juga akan menjadi bagian yang dikenalkan kepada dunia pada ajang World Water Forum Ke-10 yang akan digelar di Bali pada 18--25 Mei 2024.

Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Bali I Ketut Sukra Negara menyatakan Pemerintah Provinsi Bali akan mengenalkan kearifan lokal Segara Kerthi dan Tumpek Uye kepada para delegasi World Water Forum (WWF) Ke-10.

"Bali punya kearifan lokal Segara Kerthi dalam memuliakan air dan ini menjadi kesempatan menunjukkan kepada dunia, khususnya kepada delegasi WWF," tutur Sukra.

Upacara ritual dan pertunjukan budaya Segara Kerthi bertema Merawat Air Melindungi Sarwa Prani rencananya dilaksanakan di wilayah Pantai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura Bali di Kota Denpasar pada 18 Mei 2024.

Kearifan lokal Segara Kerthi yang bermakna pemuliaan pada air, khususnya pantai dan laut ini, bersumber dari ajaran agama Hindu. Segara Kerthi merupakan salah satu bagian dari ajaran Sad Kerthi atau enam perilaku mulia untuk menjaga alam semesta.

Dengan ritual Segara Kerthi ini, masyarakat Bali memiliki kearifan lokal tidak saja secara sekala (upaya fisik) tetapi juga secara niskala (rohani/spiritual).

Upacara ini merupakan salah satu tindakan terpuji untuk merawat dan menyucikan laut secara niskala. Laut, selain sebagai sumber air, juga merupakan habitat terluas dari makhluk hidup sehingga upacara ini digelar bertepatan dengan Hari Suci Tumpek Uye sebagai hari baik untuk memuliakan satwa.

Ritual Segara Kerthi yang dilaksanakan pada 18 Mei 2024 juga bertepatan dengan Hari Suci Tumpek Uye/Tumpek Kandang yang dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali. Tumpek Uye juga merupakan wujud rasa syukur dan pemuliaan kepada binatang atau satwa yang telah membantu kehidupan manusia.

Oleh karena itu, pada 18 Mei mendatang itu untuk upacara Segara Kerthi selain menggunakan sarana banten (sesajen) sebagai persembahan kepada Dewa Baruna dan persembahyangan bersama juga akan diisi dengan pelepasan tukik dan burung sebagai bentuk pemuliaan pada binatang.

Dewa Baruna merupakan manifestasi Tuhan sebagai penguasa laut. Upacara ini juga bertujuan untuk memohon anugerah agar laut tetap bersih dan lestari sehingga manusia hidup sejahtera dan bahagia.

Upacara tersebut juga bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar seluruh agenda World Water Forum Ke-10 dapat berjalan dengan lancar dan sukses.

Ritual atau upacara Segara Kerthi akan dipimpin oleh tiga sulinggih (pendeta Hindu) dan tak hanya dihadiri delegasi peserta World Water Forum Ke-10, tetapi juga melibatkan masyarakat adat di Desa Adat Serangan dan para undangan lainnya.


Pertunjukan budaya

Dalam tradisi Bali, setiap upacara besar selalu ditampilkan seni pertunjukan untuk memperkuat makna upacara bersangkutan, termasuk juga dalam upacara Segara Kerthi yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam perhelatan World Water Forum

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha menyampaikan pada upacara Segara Kerthi ini akan dipergelarkan musik dan tari sakral Gamelan Gong Gede, tari sanghyang jaran, tari sanghyang dedari, tari baris cerkuak, tari rejang putri maya, dan topeng sidakarya.

Sekitar 350 seniman dilibatkan dalam pertunjukan budaya yang memang sangat kental dengan nilai kesakralannya tersebut.

Gamelan gong gede adalah ansambel gamelan terbesar di Bali yang dimainkan oleh 80 penabuh. Alunan lagunya bernuansa magis menjadikan gamelan gong gede cocok dimainkan untuk mendukung khidmatnya suasana ritual.

Sementara itu tari sanghyang jaran menggambarkan gerak-gerik seekor kuda. Termasuk jenis tari sakral yang biasanya dipentaskan dalam upacara tolak bala dan penyucian alam semesta.

Dalam penampilannya, penari sanghyang jaran menari berjingkrak-jingkrak sambil sesekali menginjak-injak dan menendang kobaran dan bara api.

Selanjutnya tari sanghyang dedari dimainkan oleh beberapa gadis kecil, gerak-geriknya lemah lembut gemulai seperti bidadari kayangan.

Sebelumnya semua pelaku tari sanghyang   dedari didudus (diasapi) dengan asap dupa serta lantunan lagu tentang bidadari kayangan. Tujuannya untuk mengundang bidadari turun ke Bumi dan memasuki tubuh penari. Turunnya bidadari ke Bumi diyakini akan membawa berkah bagi kehidupan di planet ini.

Dalam penampilannya, sanghyang dedari menari dalam keadaan trance (kesurupan) dan sesekali tak sadarkan diri. Dalam keadaan tersebut penari mampu berdiri di atas bahu seseorang secara seimbang.

Adapun cerkuak itu adalah burung bangau dan tarian ini menyajikan koreografi meniru gerak-gerik burung bangau ketika mencari makan di air.

Masyarakat Bali meyakini keberadaan burung cerkuak atau bangau menjadi penanda terawatnya sumber air. Oleh sebab itu, dengan menampilkan tari baris cerkuak, masyarakat berharap diberikan air yang melimpah.

Penari baris cerkuak bergerak dalam keadaan sadar, namun kesatuan geraknya yang kompak menjadikan tarian ini indah dan bernuansa magis.

Lain lagi dengan tari rejang putri maya. Tari ini menggambarkan seorang putri penyelamat pantai yang memiliki kekuatan mistis untuk berkomunikasi dengan makhluk laut. Ketika pantai dan laut terancam, maka Putri Maya menggunakan kekuatannya untuk menyelamatkan makhluk laut.

Rejang putri maya yang ditampilkan pada Upacara Segara Kerthi sebagai perlambang turun memberi wejangan kepada umat manusia agar selalu merawat dan melindungi laut.

Sementara itu topeng sidakarya adalah tari topeng yang dipersembahkan sebagai bagian dari upacara. Sidakarya artinya pekerjaan selesai dengan baik sehingga tari topeng sidakarya selalu dipentaskan pada akhir upacara.

Baca juga: Program WASH UNICEF di NTB beri kontribusi untuk WWF
Baca juga: UNICEF sebut Tema 'Air untuk Kemakmuran Bersama'

Tokoh Sidakarya diperankan oleh seorang penari yang telah disucikan secara spiritual dan memiliki pengetahuan dan tentang upacara. Dalam penyajiannya, topeng sidakarya bertutur untuk menjelaskan makna upacara yang sedang dilakukan.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali I Nyoman Kenak pun menyatakan dukungannya terhadap kearifan lokal prosesi Segara Kerthi yang dipadukan dengan pertunjukan budaya yang semakin menambah khidmat suasana.

Bali tidak bisa dilepaskan dari konsep pemujaan dan yadnya (persembahan), termasuk juga terkait pemuliaan pada air. Terlebih air merupakan kunci dalam keseimbangan jagat ini dan air menjadi salah satu aspek kehidupan yang sangat penting.

Dengan mengenalkan kearifan Segara Kerthi ke perwakilan negara-negara di dunia, selain dapat menunjukkan upaya masyarakat Bali dalam memuliakan air, diharapkan bisa membangun kesadaran masyarakat dunia terkait pentingnya menjaga kelestarian ekosistem laut.

 

Pewarta : Ni Luh Rhismawati
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024