Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menambah kriteria konglomerasi keuangan (KK) dalam Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) terbaru yang dipublikasikan sejak 2 April 2024, yaitu total aset KK paling sedikit Rp20 triliun sampai dengan kurang dari Rp100 triliun.
Dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) April 2024 secara virtual di Jakarta, Senin, Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan bahwa kriteria terkait aset KK tersebut paling sedikit harus memiliki tiga lembaga jasa keuangan (LJK) yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau syariah pada tiga sektor yang berbeda.
Kemudian RPOJK baru tetap mencantumkan kriteria konglomerasi keuangan dengan total aset lebih besar atau sama dengan Rp100 triliun, seperti pada POJK No. 45 Tahun 2020.
Konglomerasi keuangan dengan aset di atas Rp100 triliun harus memiliki dua LJK yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau syariah pada dua sektor yang berbeda.
"OJK menetapkan konglomerasi keuangan yang tidak memenuhi kriteria pada apa yang saya sebutkan tadi dapat dianggap sebagai konglomerasi keuangan dengan pertimbangan tertentu terutama dilihat dari segi kompleksitas maupun interconnectedness dari konglomerasi keuangan yang ada," kata Mahendra.
Selain itu, RPOJK juga memperluas cakupan LJK yang dapat masuk dalam anggota konglomerasi. Pada POJK No. 45 Tahun 2020, LJK yang menjadi anggota konglomerasi keuangan hanya empat jenis antara lain bank, perusahaan asuransi dan reasuransi, perusahaan pembiayaan, serta perusahaan efek.
Pada RPOJK baru, anggota konglomerasi keuangan tidak hanya berupa empat jenis LJK yang sudah ditetapkan dalam POJK lama melainkan juga mencakup perusahaan penjaminan, dana pensiun, perusahaan modal ventura, pergadaian, layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, layanan urun dana, inovasi keuangan digital, dan/atau LJK lainnya.
"Selain itu, perusahaan non-lembaga jasa keuangan yang menunjang kegiatan usaha lembaga jasa keuangan, anggota konglomerasi keuangan dapat pula menjadi anggota dari konglomerasi keuangan itu," kata Mahendra.
Kemudian, konglomerasi keuangan dengan kriteria tertentu wajib membentuk perusahaan induk konglomerasi keuangan (PIKK) atau financial holding company yang dapat berupa PIKK operasional, yaitu badan hukum yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali atau pemegang saham perusahaan terbuka yang selain melakukan kegiatan sebagai PIKK juga melakukan kegiatan sebagai LJK.
ROPJK baru juga merinci pembentukan PIKK non-operasional, yaitu badan hukum yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali atau pemegang saham perusahaan terbuka yang hanya melakukan kegiatan sebagai PIKK.
Adapun tugas dan tanggung jawab PIKK juga dicantumkan di dalam RPOJK di antaranya menyusun dan menetapkan strategi konglomerasi keuangan, bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko, pengendalian internal, dan fungsi kepatuhan secara keseluruhan grup atau konglomerasi keuangan itu.
Kemudian, RPOJK merinci ketentuan terkait kepengurusan PIKK dan pengaturan mengenai rangkap jabatan dari kepengurusan PIKK itu sendiri. PIKK wajib untuk membentuk Komite Direksi, Komite Dewan Komisaris, Satuan Kerja, dan menyusun Rencana Korporasi.
"Juga ada ketentuan (di RPOJK) mengenai kriteria pengendalian PIKK terhadap anggota konglomerasi keuangan, yaitu memiliki saham lebih besar dari 50 persen atau kurang dari 50 persen namun memiliki pengendalian terhadap anggota konglomerasinya. Lalu ada aturan mengenai larangan kepemilikan silang," jelas Mahendra.
Baca juga: OJK perkuat fungsi GRC di sektor jasa keuangan
Baca juga: OJK sebut volume perdagangan karbon capai 572.064 ton
Sebagai informasi, RPOJK tentang Konglomerasi Keuangan (KK) dan Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) merupakan turunan atas mandat dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Publikasi RPOJK pada 2 April 2024 bertujuan untuk meminta tanggapan atas rancangan tersebut kepada masyarakat umum.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menambahkan bahwa tujuan utama otoritas peraturan terbaru tentunya untuk mendorong stabilitas dan pertumbuhan sektor keuangan, yang pada akhirnya akan mendorong stabilitas dan pertumbuhan perekonomian nasional.
"Dalam rangka itu, OJK tentu akan melakukan pengawasan secara aktif terhadap konglomerasi keuangan itu melalui pengawasan yang mungkin sudah biasa kita kenal sebetulnya terkait pengawasan on-site dan off-site yang terkait dengan memeriksa atau melakukan pengawasan tidak langsung, yang lingkup pengawasan yang berbasis risiko," kata Dian.
Dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) April 2024 secara virtual di Jakarta, Senin, Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan bahwa kriteria terkait aset KK tersebut paling sedikit harus memiliki tiga lembaga jasa keuangan (LJK) yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau syariah pada tiga sektor yang berbeda.
Kemudian RPOJK baru tetap mencantumkan kriteria konglomerasi keuangan dengan total aset lebih besar atau sama dengan Rp100 triliun, seperti pada POJK No. 45 Tahun 2020.
Konglomerasi keuangan dengan aset di atas Rp100 triliun harus memiliki dua LJK yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau syariah pada dua sektor yang berbeda.
"OJK menetapkan konglomerasi keuangan yang tidak memenuhi kriteria pada apa yang saya sebutkan tadi dapat dianggap sebagai konglomerasi keuangan dengan pertimbangan tertentu terutama dilihat dari segi kompleksitas maupun interconnectedness dari konglomerasi keuangan yang ada," kata Mahendra.
Selain itu, RPOJK juga memperluas cakupan LJK yang dapat masuk dalam anggota konglomerasi. Pada POJK No. 45 Tahun 2020, LJK yang menjadi anggota konglomerasi keuangan hanya empat jenis antara lain bank, perusahaan asuransi dan reasuransi, perusahaan pembiayaan, serta perusahaan efek.
Pada RPOJK baru, anggota konglomerasi keuangan tidak hanya berupa empat jenis LJK yang sudah ditetapkan dalam POJK lama melainkan juga mencakup perusahaan penjaminan, dana pensiun, perusahaan modal ventura, pergadaian, layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, layanan urun dana, inovasi keuangan digital, dan/atau LJK lainnya.
"Selain itu, perusahaan non-lembaga jasa keuangan yang menunjang kegiatan usaha lembaga jasa keuangan, anggota konglomerasi keuangan dapat pula menjadi anggota dari konglomerasi keuangan itu," kata Mahendra.
Kemudian, konglomerasi keuangan dengan kriteria tertentu wajib membentuk perusahaan induk konglomerasi keuangan (PIKK) atau financial holding company yang dapat berupa PIKK operasional, yaitu badan hukum yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali atau pemegang saham perusahaan terbuka yang selain melakukan kegiatan sebagai PIKK juga melakukan kegiatan sebagai LJK.
ROPJK baru juga merinci pembentukan PIKK non-operasional, yaitu badan hukum yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali atau pemegang saham perusahaan terbuka yang hanya melakukan kegiatan sebagai PIKK.
Adapun tugas dan tanggung jawab PIKK juga dicantumkan di dalam RPOJK di antaranya menyusun dan menetapkan strategi konglomerasi keuangan, bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko, pengendalian internal, dan fungsi kepatuhan secara keseluruhan grup atau konglomerasi keuangan itu.
Kemudian, RPOJK merinci ketentuan terkait kepengurusan PIKK dan pengaturan mengenai rangkap jabatan dari kepengurusan PIKK itu sendiri. PIKK wajib untuk membentuk Komite Direksi, Komite Dewan Komisaris, Satuan Kerja, dan menyusun Rencana Korporasi.
"Juga ada ketentuan (di RPOJK) mengenai kriteria pengendalian PIKK terhadap anggota konglomerasi keuangan, yaitu memiliki saham lebih besar dari 50 persen atau kurang dari 50 persen namun memiliki pengendalian terhadap anggota konglomerasinya. Lalu ada aturan mengenai larangan kepemilikan silang," jelas Mahendra.
Baca juga: OJK perkuat fungsi GRC di sektor jasa keuangan
Baca juga: OJK sebut volume perdagangan karbon capai 572.064 ton
Sebagai informasi, RPOJK tentang Konglomerasi Keuangan (KK) dan Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) merupakan turunan atas mandat dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Publikasi RPOJK pada 2 April 2024 bertujuan untuk meminta tanggapan atas rancangan tersebut kepada masyarakat umum.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menambahkan bahwa tujuan utama otoritas peraturan terbaru tentunya untuk mendorong stabilitas dan pertumbuhan sektor keuangan, yang pada akhirnya akan mendorong stabilitas dan pertumbuhan perekonomian nasional.
"Dalam rangka itu, OJK tentu akan melakukan pengawasan secara aktif terhadap konglomerasi keuangan itu melalui pengawasan yang mungkin sudah biasa kita kenal sebetulnya terkait pengawasan on-site dan off-site yang terkait dengan memeriksa atau melakukan pengawasan tidak langsung, yang lingkup pengawasan yang berbasis risiko," kata Dian.