Mataram (ANTARA) - Malahayati hidup tahun 1550 sampai 1615. Jauh setelah ia tiada, tepatnya  tahun 2017 pemerintah Indonesia menganugerahkannya gelar kepahlawanan. Dunia lewat organisasi PBB (UNESCO) juga mengakui kepahlawanan Malahayati dengan ditetapkanya perayaan internasional kepemimpinan perempuan pada tanggal 22 November 2023.

Siapa Malahayati? Malahayati adalah anak Panglima Angkatan Laut Mahmud Syah  Kesultanan Aceh. Ia berjuang mempertahankan tanah airnya dari serbuan bangsa kolonial  Eropa (Portugis dan Belanda).
Laksamana Malahayati turun tangan setelah suaminya gugur di medan tempur dalam misi yang sama yaitu mempertahankan kedaulatan tanah airnya dari serbuan bangsa kolonial (Portugis).

Dari sepenggal kisah singkat Malahayati terdahulu dapat dipetik pelajaran bahwa kiprah perempuan sebagai pemimpin ternyata sudah ada berabad-abad lamanya. Keberanian dan kecerdikan kepemimpinan perempuan dalam penggalan kisah Laksamana Malahayati merupakan salah satu kepemimpinan perempuan yang dapat dikatakan sukses. Keberhasilannya meredam panglima perang Portugis Cornellius de Houtman  dapat menjadi bukti yang tidak terbantahkan.

Cut Nya Dhien juga demikian hal nya. Kepemimpinannya dalam mengorganisir kekuatan pasukan perangnya telah membuat Belanda kerepotan. Sampai  Belanda kehabisan akal, sehingga Cut Nyak Dhien dibuang ke tanah Jawa agar tidak bisa lagi mengorganisir kekuatan guna melawan penjajah.

Tidak berhenti di situ. Kepemimpinan dan kepeloporan perempuan tidak datang dari dasa warsa -dasawarsa kemarin, tetapi telah hadir sejak sekian lama berhitung abad. Misalnya  Fatimah Al Fihri pendiri dan pimpinan Universitas Tertua dunia di Maroko di mana keberadaanya lebih tua dari Universitas Al-Azhar di Mesir, membuktikan bahwa kepemimpinan dan kepeloporan perempuan itu sudah melampaui zaman nya. Lalu di zaman android kini perempuan tidak boleh lemah dan dilemahkan dalam hal kepemimpinan maupun kepeloporan.

Perempuan bisa bercermin dari kisah-kisah terdahulu. Bagaiamana pun kepemimpiann merupakan tindakan dalam aras empirik yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sains. Kepemimpinan dapat dipelajari, dapat dibiasakan, dapat dilatih dan seterusnya, sehingga kepemimpinan tidak harus dikacaukan dengan persoalan jenis kelamin. Kepemimpinan adalah persoalan gender.  Ia bisa dikonstruksi oleh masyarakat dan kebudayaan.

Jenis kelamin adalah takdir, sedangkan gender merupakan persoalan dinamika kemasyarkatan dan kebudayaan. Dari kerangka bangunan inilah Umi Rohmi harus dimunculkan. Tidak bisa lagi dibantah bahwa Ummi Rohmi adalah contoh perwujudan kepemimpinan perempuan yang lahir dari kerangka gender. 

Pun dengan perempuan-perempuan terdahulu dihadirkan oleh sejarah karena dibentuk oleh masyarakat dan kebudayaannya. Kosekuensinya mau tidak mau mereka pun terbiasa dan terlatih menjadi depan. Begitu juga dengan Ummi Rohmi yang dilahirkan dari "tekanan" lingkungan masyarkat NWDI. Ia belajar, berlatih dan dibiasakan menjadi pemimpin karena kebudayaan itu memang dipelajari, dilatih dan dibiasakan. 

Oleh karenanya mau jenis kelamin apa pun kepemimpinan itu bukan sesuatu yang turun dari langit, melainkan keahlian yang diperoleh melalui proses. Maka dari itu Ummi Rohmi hadir di masa sekarang telah melalui proses yang cukup panjang, baik di internal NWDI lalu keluar menjadi Wakil Gubernur 5 tahun terakhir. Kurikulum pembelajaran yang kiranya memberikan banyak referensi bagi menjadi pemimpin lebih lanjut.

Jika kepemimpinan perempuan-perempuan terdahulu tidak hanya berurusan dengan soft power tetapi juga harus terlibat langsung dalam kebijakan hard power seperti  perang gerilya dan perang terbuka. Kini dapat dipastikan kepemimpinan perempuan hanya berputar di sekitar kebijakan  soft power. Tentunya itu merupakan persoalan yang jauh lebih mudah untuk dilakukan. Oleh karenanya sudah tidak relevan lagi masyarakat memperdebatkan eksistensi kepemimimpian perempuan. Sudah tidak produktif perdebatan tersebut.

Pada posisi demikian saatnya masyarkat harus bekerja sama, bahu membahu mewujudkan kepemimpinan perempuan seperti Ummi  Rohmi. Ini tidak sekedar berdasarkan sentimen in group tetapi Ummi Rohmi sudah action sebagai pemimpin daerah lima tahun terakhir. Artinya Ummi Rohmi sudah mengetahui seluk beluk pemerintahan. Ummi rohmi tidak hendak menjadi pemimpin berdasarkan cek kosong tetapi berdasarkan pengalaman dan rekam jejak.

Rekam Jejak

Di masa lima tahun NTB gemilang Ummi Rohmi berusaha all out dalam memimpin NTB bersama Bang Zul. Salah satu bagian yang menjadi atensi kepemimpinannya adalah mewujudkan masyakat NTB sejahtera yang kemudian mengambil bentuk posyandu keluarga. Hasilnya program posyandu keluarga merupakan program yang diakui keberhasilannya oleh banyak kalangan termasuk pemerintah pusat.

Keberadaan posyandu keluarga merupakan jawaban dari serangkaian persoalan masyarakat NTB yang masih berkutat pada adanya persoalan stunting maupun persoalan dasar masyarakat lainnya seperti kesehatan Ibu, baik pra melahirkan maupun pasca melahirkan. Kesehatan kaum pengantin maupun kesehatan lansia semua diatensi oleh program posyandu keluarga. Artinya program posyandu keluarga merupakan program terpadu dalam rangka mewujudkan kesehatan masyarkat keseluruhan baik dilihat dari umur maupun jenis kelamin.

Pada perjalanannya program posyandu keluarga dikatakan telah berjalan 100 persen di Nusa Tenggara Barat. Capaian ini tentunya patut disyukuri sebagai bukti tangan dingin kepemimpinan Ummi Rohmi terealisasikan. Tentunya posyandu keluarga sangat mendasar bagi masyarakat NTB dapat melangkah maju.

Kesehatan merupakan salah satu variable independen dalam rangka memberikan pengaruh pada indeks pembangunan. Jika kesehatan masyarkat rendah dan atau mundur maka dipastikan indeks manusia NTB juga akan menurun. Oleh sebab itu keberadaan posyandu keluarga merupakan hal yang fundamen bagi membangun masyakat NTB lebih jauh ke depan.

Dari program posyandu keluarga ini juga dapat dinilai bagaimana perjalanan kepemimpinan Ummi Rohmi. Bahwa ia telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang cakap dalam rangka mengisi ruang pengabdian. Dari penggalan rekam jejak ini dapat menjadi barometer untuk mengukur kemampuan Ummi Rohmi bagi melanjutkan kepemimpinan NTB ke depannya.

Kemampuan memimpin, mengkoordinasikan, menjalin kerjasama, membangun network untuk program-program lainnya kiranya juga dapat dilakukannya. Bagaimapaun langkah-langkah diawal telah memberikan pembelajaran berharga yang dipastikan juga dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya. Bagaimanapun kerja kepemimpinan adalah kerja organisasi, kerja sistem di mana Ummi Rohmi juga sudah terbiasa bekerja dalam atmosfer demikian. 

Bahkan Ummi Rohmi memang sedari kecil telah hidup dalam dinamika kepemimpinan NW. Bagaimana pun ia adalah cucu Tuan Guru Maulana Syeikh Tuan Guru KH. Zainduddin Abdul Majid yang sebagian besar hidupnya diwakafkan untuk mendirikan,  mengasuh dan merawat NW sejak zaman Belanda. Praktik-praktik kepemimpinan dari Kakeknya mau tidak mau diturunkan kepada kedua putrinya dan juga disaksikan oleh cucu-cucunya. Sebagaimana pepatah mengatakan anak-anak dan cucu tidak akan mengingat lama kata-kata pendahulu nya tetapi mereka akan mengingat tindakan dan perbuatan  nya. Dengan demikian jiwa raga Ummi Rohmi akan diabdikan pula sebagaimana Kakeknya mengabdikan dirinya untuk masyarakat.

Dari rekam jejak singkat yang dipaparkan terdahuli kiranya semua elemen masyarakat memberikan jalan bagi Ummi Rohmi untuk membangun NTB untuk lima tahun mendatang. Mewujudkan kepemimpinan NTB dalam tangan dingin Ummi Rohmi.  Kepemimpinan Ummi Rohmi bisa saja menjadi kepemimpinan seorang Ibu yang penuh kasih sayang  dan akan melakukan yang terbaik bagi generasinya ke depan.

*) Penulis adalah Pemerhati Sosial-Politik, Staf Pengajar Jurusan Sosiologi Agama UIN Mataram
 

Pewarta : Ahmad Efendi *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024