Mataram (ANTARA) - Para jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Pers Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar aksi unjuk rasa damai menolak revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran di Kantor DPRD NTB di Kota Mataram, Selasa.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB Riadi menegaskan jurnalis di NTB menolak revisi UU Penyiaran yang kini dibahas DPR RI karena di dalamnya memuat sejumlah pasal kontroversi membungkam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi serta mengungkung proses demokrasi.
"Kami menolak revisi UU Penyiaran yang mengekang kebebasan pers, apapun dalilnya. Kebebasan pers merupakan nyawa terwujudnya pers yang sehat dan bermartabat," ujarnya di hadapan para jurnalis di depan pintu gerbang Kantor DPRD NTB.
Ia menyebutkan, sejumlah pasal yang dapat merugikan itu seperti Pasal 42 dan 50 B yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi.
Selain itu, kata dia, Pasal 34 sampai 36 terkait kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Namun, dalam peraturan Undang-Undang Pers yang berhak menyelesaikan sengketa pers adalah Dewan Pers.
Ketua AJI Mataram Muhammad Kasim mengatakan jurnalis NTB pernah memiliki pengalaman buruk dengan adanya UU ITE. Bahkan, beberapa jurnalis sempat dikriminalisasi menggunakan UU tersebut.
"Sekarang revisi UU Penyiaran melarang jurnalis melakukan investigasi. Media komunitas dikekang, konten kreator bisa saja ditindas oleh revisi UU ini. Oleh karena itu, tidak ada kata lain selain tolak," kata Kasim.
Wakil Ketua PWI NTB Syukur menilai revisi UU Penyiaran kontroversial karena membungkam kebebasan pers.
Ketua AMSI NTB Hans Bahanan juga mengatakan bahwa sejak 4 tahun terakhir ada 12 jurnalis di NTB pernah mendapatkan kriminalisasi oleh aparat, pemerintah, hingga sipil menggunakan UU ITE.
"Jika revisi UU Penyiaran ini disahkan bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi kasus-kasus serupa di NTB," ujar Hans.
Baca juga: Anggota DPR tak setuju adanya pembatasan di RUU Penyiaran
Baca juga: IJTI sebut langkah revisi UU Penyiaran mengancam kebebasan pers
Pengurus AMSI NTB Satria Zulfikar mengatakan ada praktik yang keliru dalam revisi UU Penyiaran yang saat ini dibahas oleh DPR. Pasalnya revisi UU tersebut bisa saja membungkam kebebasan pers di Indonesia.
"Revisi UU ini seperti hidangan yang ironi. Ini tentu saja ancaman bagi insan pers yang ingin melakukan investigasi," ujarnya saat berorasi.
Aksi para jurnalis yang terdiri atas PWI NTB, IJTI NTB, AJI Mataram, AMSI NTB ini diterima Kabag Keuangan Setwan DPRD NTB Sabirin Alam dan Humas DPRD NTB Lalu Juan.
Di depan jurnalis mereka berjanji apa yang menjadi tuntutan jurnalis akan disampaikan ke pimpinan DPRD NTB. Mengingat saat para jurnalis melakukan aksi unjuk rasa seluruh anggota dewan sedang melakukan kunjungan kerja ke luar daerah.
Aksi para jurnalis ini dimulai dengan berjalan mundur dari Islamic Center Kota Mataram menuju Kantor DPRD NTB, sebagai bentuk mundurnya demokrasi. Tak hanya berjalan mundur, para jurnalis juga melepas tanda pengenal dan ditaburi bunga sebagai simbol jurnalis di ambang kematian di depan pintu gerbang Kantor DPRD NTB.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) NTB Riadi menegaskan jurnalis di NTB menolak revisi UU Penyiaran yang kini dibahas DPR RI karena di dalamnya memuat sejumlah pasal kontroversi membungkam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi serta mengungkung proses demokrasi.
"Kami menolak revisi UU Penyiaran yang mengekang kebebasan pers, apapun dalilnya. Kebebasan pers merupakan nyawa terwujudnya pers yang sehat dan bermartabat," ujarnya di hadapan para jurnalis di depan pintu gerbang Kantor DPRD NTB.
Ia menyebutkan, sejumlah pasal yang dapat merugikan itu seperti Pasal 42 dan 50 B yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi.
Selain itu, kata dia, Pasal 34 sampai 36 terkait kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Namun, dalam peraturan Undang-Undang Pers yang berhak menyelesaikan sengketa pers adalah Dewan Pers.
Ketua AJI Mataram Muhammad Kasim mengatakan jurnalis NTB pernah memiliki pengalaman buruk dengan adanya UU ITE. Bahkan, beberapa jurnalis sempat dikriminalisasi menggunakan UU tersebut.
"Sekarang revisi UU Penyiaran melarang jurnalis melakukan investigasi. Media komunitas dikekang, konten kreator bisa saja ditindas oleh revisi UU ini. Oleh karena itu, tidak ada kata lain selain tolak," kata Kasim.
Wakil Ketua PWI NTB Syukur menilai revisi UU Penyiaran kontroversial karena membungkam kebebasan pers.
Ketua AMSI NTB Hans Bahanan juga mengatakan bahwa sejak 4 tahun terakhir ada 12 jurnalis di NTB pernah mendapatkan kriminalisasi oleh aparat, pemerintah, hingga sipil menggunakan UU ITE.
"Jika revisi UU Penyiaran ini disahkan bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi kasus-kasus serupa di NTB," ujar Hans.
Baca juga: Anggota DPR tak setuju adanya pembatasan di RUU Penyiaran
Baca juga: IJTI sebut langkah revisi UU Penyiaran mengancam kebebasan pers
Pengurus AMSI NTB Satria Zulfikar mengatakan ada praktik yang keliru dalam revisi UU Penyiaran yang saat ini dibahas oleh DPR. Pasalnya revisi UU tersebut bisa saja membungkam kebebasan pers di Indonesia.
"Revisi UU ini seperti hidangan yang ironi. Ini tentu saja ancaman bagi insan pers yang ingin melakukan investigasi," ujarnya saat berorasi.
Aksi para jurnalis yang terdiri atas PWI NTB, IJTI NTB, AJI Mataram, AMSI NTB ini diterima Kabag Keuangan Setwan DPRD NTB Sabirin Alam dan Humas DPRD NTB Lalu Juan.
Di depan jurnalis mereka berjanji apa yang menjadi tuntutan jurnalis akan disampaikan ke pimpinan DPRD NTB. Mengingat saat para jurnalis melakukan aksi unjuk rasa seluruh anggota dewan sedang melakukan kunjungan kerja ke luar daerah.
Aksi para jurnalis ini dimulai dengan berjalan mundur dari Islamic Center Kota Mataram menuju Kantor DPRD NTB, sebagai bentuk mundurnya demokrasi. Tak hanya berjalan mundur, para jurnalis juga melepas tanda pengenal dan ditaburi bunga sebagai simbol jurnalis di ambang kematian di depan pintu gerbang Kantor DPRD NTB.