Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan negara-negara yang mengikuti diskusi kesepakatan pandemi yang difasilitasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) turut bernegosiasi sambil berjuang agar kedaulatan negaranya tetap terjaga.
Dalam Kemencast #80 "Pandemic Treaty" oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang disiarkan di Jakarta, Senin, Tjandra mengatakan hal tersebut sebagai respon dari kekhawatiran warganet bahwa WHO memiliki campur tangan yang begitu besar sehingga mempengaruhi kedaulatan negara.
Dia menjelaskan WHO hanya memfasilitasi pertemuan tersebut dan masing-masing negara memiliki perspektifnya masing-masing dalam mencapai kesepakatan bersama. Meski demikian, lanjutnya, prinsip kesetaraan, solidaritas, serta transparansi, perlu diterapkan dalam diskusi tersebut.
"Pandemi itu adalah epidemi atau wabah yang terjadi di semua negara. Atau di sebagian negara. Artinya kalau ada 10 negara yang berhasil menyelesaikan penyakit itu, pandemi belum selesai karena ada sekian ratus negara belum selesai," ujarnya.
Oleh karena itu ia menilai semua harus setara agar mendapat perlakuan yang sama dalam merespon pandemi di negaranya masing-masing, supaya pandeminya hilang. Dia menjelaskan dari 2005 hingga saat ini terdapat dua kali pandemi dan dalam keduanya dunia dinilai tidak siap menghadapinya. Menurutnya, tidak ada yang tahu kapan pandemi tersebut akan terjadi lagi, sehingga persiapan dan kesiapan perlu diperhatikan.
Pakar Epidemiologi Prof Wiku Adisasmito mengatakan kesepakatan bersama tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengamankan dunia, meskipun tidak semua negara punya kemampuan yang sama. Oleh karena itu, kata Wiku, prinsip-prinsip seperti solidaritas dan kesetaraan perlu dijunjung.
Dia menyebut dalam kesepakatan tersebut ada sejumlah pengaturan, antara lain siapa negara yang akan mengumpulkan patogen dan melakukan riset, pengaturan harga agar negara berkembang dapat membeli, serta pendanaan untuk produksi dan distribusi.
Baca juga: Festival teater pelajar Kudus Jateng kembali digelar
Baca juga: Menparekraf mendorong transformasi sektor pariwisata pascapandemi
"Semua harus diatur. Karena kalau itu tidak diatur, berarti kan nanti kalau ada potensi pandemi, patogen yang jadi potensi pandemi, pasti ada negara yang nggak mampu untuk meresponnya," kata Wiku.
Wiku menilai tak hanya negara berkembang saja yang berisiko tak dapat merespon pandemi, namun negara maju juga punya risiko yang sama, atau juga lambat dalam responnya.
Dalam Kemencast #80 "Pandemic Treaty" oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang disiarkan di Jakarta, Senin, Tjandra mengatakan hal tersebut sebagai respon dari kekhawatiran warganet bahwa WHO memiliki campur tangan yang begitu besar sehingga mempengaruhi kedaulatan negara.
Dia menjelaskan WHO hanya memfasilitasi pertemuan tersebut dan masing-masing negara memiliki perspektifnya masing-masing dalam mencapai kesepakatan bersama. Meski demikian, lanjutnya, prinsip kesetaraan, solidaritas, serta transparansi, perlu diterapkan dalam diskusi tersebut.
"Pandemi itu adalah epidemi atau wabah yang terjadi di semua negara. Atau di sebagian negara. Artinya kalau ada 10 negara yang berhasil menyelesaikan penyakit itu, pandemi belum selesai karena ada sekian ratus negara belum selesai," ujarnya.
Oleh karena itu ia menilai semua harus setara agar mendapat perlakuan yang sama dalam merespon pandemi di negaranya masing-masing, supaya pandeminya hilang. Dia menjelaskan dari 2005 hingga saat ini terdapat dua kali pandemi dan dalam keduanya dunia dinilai tidak siap menghadapinya. Menurutnya, tidak ada yang tahu kapan pandemi tersebut akan terjadi lagi, sehingga persiapan dan kesiapan perlu diperhatikan.
Pakar Epidemiologi Prof Wiku Adisasmito mengatakan kesepakatan bersama tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengamankan dunia, meskipun tidak semua negara punya kemampuan yang sama. Oleh karena itu, kata Wiku, prinsip-prinsip seperti solidaritas dan kesetaraan perlu dijunjung.
Dia menyebut dalam kesepakatan tersebut ada sejumlah pengaturan, antara lain siapa negara yang akan mengumpulkan patogen dan melakukan riset, pengaturan harga agar negara berkembang dapat membeli, serta pendanaan untuk produksi dan distribusi.
Baca juga: Festival teater pelajar Kudus Jateng kembali digelar
Baca juga: Menparekraf mendorong transformasi sektor pariwisata pascapandemi
"Semua harus diatur. Karena kalau itu tidak diatur, berarti kan nanti kalau ada potensi pandemi, patogen yang jadi potensi pandemi, pasti ada negara yang nggak mampu untuk meresponnya," kata Wiku.
Wiku menilai tak hanya negara berkembang saja yang berisiko tak dapat merespon pandemi, namun negara maju juga punya risiko yang sama, atau juga lambat dalam responnya.