Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai diaturnya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) akan mempercepat pengembangan dan adopsi energi terbarukan di Indonesia.
 

"Yang pada akhirnya berkontribusi terhadap tercapainya target bauran energi terbarukan, dan net zero emission (NZE) atau netral karbon pada 2060 atau lebih awal," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

IESR memandang aturan power wheeling untuk energi terbarukan dalam RUU EBET sepatutnya didukung para pembuat kebijakan karena dapat meningkatkan keandalan pasokan listrik, efisiensi biaya operasional, dan mendorong perluasan jaringan listrik.

Kemudian, kerja sama antara antara wilayah usaha, dan memungkinkan aplikasi teknologi energi terbarukan yang lebih luas untuk mendukung dekarbonisasi sektor industri dan transportasi, serta mengurangi beban PLN untuk membeli listrik dari pengembang.

Fabby mengungkapkan skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik, bukan hal baru karena sudah diatur sebelumnya dalam UU Ketenagalistrikan namun tidak dijalankan.

Ia juga mengatakan bahwa power wheeling merupakan keniscayaan dengan struktur pasar kelistrikan Indonesia saat ini yaitu regulated vertical integrated atau dioperasikan oleh perusahaan tunggal dan di bawah pengawasan pemerintah.

Dalam hal ini, kata Fabby, PLN sebagai pemegang wilayah usaha terintegrasi mendapatkan hak membangun dan mengoperasikan sistem transmisi, sementara pelaku usaha lain tidak mendapatkan hak tersebut.

"Oleh karena itu, jaringan listrik seharusnya dapat diakses oleh pihak lain untuk menyalurkan listrik dari pembangkit ke pengguna, yang pada gilirannya memberikan pendapatan bagi PLN melalui biaya sewa jaringan,” ujar Fabby.
 

Tidak hanya itu, IESR menilai penerapan skema power wheeling untuk energi terbarukan juga merupakan langkah efisien untuk mengurangi biaya pengembangan infrastruktur transmisi dan distribusi, dan menekan biaya keandalan (reliability cost) dengan mengoptimalkan infrastruktur yang sudah ada dibandingkan membangun jaringan baru.

Meski begitu, dalam rangka mencapai tujuan NZE 2060 atau lebih awal, pemanfaatan jaringan bersama harus dibatasi hanya untuk pembangkitan energi terbarukan sehingga menjadi power wheeling energi terbarukan (renewable power wheeling).

"Dengan ini, dapat membuka akses pengembang dan konsumen ke sumber-sumber energi yang selama ini tidak dapat dimanfaatkan karena pengembangan energi terbarukan sangat tergantung pada PLN yang membeli dan menyalurkan listrik sesuai kenaikan permintaan,” papar Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menilai, pengaturan renewable power wheeling harus dilakukan secara ketat sehingga dapat menjaga keandalan dan keamanan pasokan listrik (security of supply) bagi konsumen dan tidak merugikan pemilik jaringan dan operator sistem.

Pengaturan tersebut menyangkut perhitungan tarif wheeling (wheeling charge), yang harus memasukkan komponen biaya system losses (kerugian sistem), biaya keandalan, ancillary services (layanan tambahan) dan biaya contingency (cadangan), serta pengembangan sistem transmisi dan distribusi tenaga listrik.

“Untuk itu, pemerintah perlu menyusun panduan aturan yang jelas tentang metode perhitungan tarif wheeling sehingga tidak merugikan pemilik jaringan dan operator sistem,” imbuh Fabby.

Sementara itu, Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengungkapkan, keberadaan power wheeling dapat menarik investasi di Indonesia, terutama dari perusahaan multinasional yang memiliki target menggunakan 100 persen energi terbarukan pada 2030.

Menurut Deon, kepastian akses ke listrik energi terbarukan akan membantu perusahaan ini memenuhi target dekarbonisasi dan menerapkan strategi dekarbonisasi melalui elektrifikasi rantai pasoknya.

"Di sisi lain, peningkatan permintaan energi terbarukan akan mendorong perluasan jaringan listrik," katanya.

Deon mengusulkan agar pemerintah menyiapkan aturan yang mendorong pembangunan dan penguatan jaringan listrik lebih optimal melalui perencanaan jaringan yang berorientasi pada penyerapan listrik energi terbarukan.

Adanya power wheeling, lanjut Deon, akan membuka permintaan energi terbarukan dari pelanggan, utamanya kelompok industri, sehingga menarik pengembangan proyek energi terbarukan dan integrasi ke jaringan PLN.

Baca juga: BRIN gelar RD20 Summer School
Baca juga: ADB tekankan komitmen kerja sama dengan PLN

Menurutnya, selama ini banyak potensi energi terbarukan tidak dapat dikembangkan karena harus menunggu listriknya dibeli oleh PLN.

"Power wheeling membuat konsumen industri dapat membeli listrik energi terbarukan untuk dimanfaatkan dalam mendukung proses industri rendah karbon atau hijau,” urai Deon.

IESR mendorong DPR dan pemerintah untuk menetapkan skema power wheeling untuk energi terbarukan dalam RUU EBET guna dan menyusun aturan pelaksanaannya yang rinci dan transparan.

"Sehingga skema ini dapat efektif mendorong pengembangan energi terbarukan, optimalisasi manfaatnya bagi majunya industri berkelanjutan di Indonesia dan memenuhi kebutuhan pelanggan terhadap energi terbarukan, serta menarik investasi," kata Deon.


 


Pewarta : Muhammad Harianto
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024