Mataram (Antaranews NTB) - Dinas Pendidikan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, terus menggencarkan sosialisasi tentang bahaya perkawinan anak usia sekolah sebagai upaya mencegah pernikahan dini.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram H Sudenom di Mataram, Kamis, mengatakan meskipun tidak ada instruksi untuk melakukan pencegahan namun hal itu sudah menjadi kewajiban dan komitmen bersama.
"Apalagi Kota Mataram telah mendapatkan penghargaan kota layak anak (KLA) dengan kategori pratama yang salah satu klaster penilaiannya akan mengurangi perkawinan anak," ujarnya.
Pernyataan itu disampaikannya menjawab permintaan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram, agar kalangan pendidik secara terus menerus mengingatkan pelajar tidak melakukan perkawinan dini.
Caranya, dengan lebih aktif berinteraksi dan menyampaikan bahaya kesehatan reproduksi dan dampak lainnya terhadap perkawinan anak usia sekolah.
"Diminta atau tidak, kepala sekolah dan guru selalu menyinggung masalah itu setiap ada kegiatan di sekolah, seperti dalam kegiatan peningkatan iman dan takwa (imtak) maupun apel," sebutnya.
Sudenom mengatakan, potensi terjadinya pernikahan anak usia sekolah di tingkat SD dan SMP/sederajat di Mataram sangat kecil, bahkan bisa dikatakan kasus pernikahan anak usia sekolah tingkat SD dan SMP belum pernah terjadi.
"Kalau untuk tingkat SMA/SMK kemungkinan potensinya tinggi, tapi untuk jenjang SMA/sederajat kini menjadi ranah pemerintah provinsi," ujarnya.
Kepala DP3A Kota Mataram Hj Dewi Mardiana Ariany sebelumnya mengatakan, dari hasil evaluasi yang dilakukan perkawinan anak terjadi karena beberapa faktor.
"Faktor tersebut antara lain karena kemiskinan, kekerasan dalam rumah sehingga menciptakan ketidaknyaman, serta budaya," katanya.
Kultur di Pulau Lombok, lanjutnya, saat ini masih adanya budaya kawin lari, dimana ketika hal itu terjadi pada anak usia sekolah, orang tua cenderung tidak mau mengambil anak mereka lagi dan itu dinilai masih tabu.
Oleh karena itu, dalam hal ini DP3A telah menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat agar bisa membuat awig-awig, mencegah terjadinya perkawinan anak dan berdasarkan undang-undang anak adalah usia 0-18 tahun.
"Peran orang tua untuk mencegah perkawinan anak juga sangat penting," katanya.(*)
Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram H Sudenom di Mataram, Kamis, mengatakan meskipun tidak ada instruksi untuk melakukan pencegahan namun hal itu sudah menjadi kewajiban dan komitmen bersama.
"Apalagi Kota Mataram telah mendapatkan penghargaan kota layak anak (KLA) dengan kategori pratama yang salah satu klaster penilaiannya akan mengurangi perkawinan anak," ujarnya.
Pernyataan itu disampaikannya menjawab permintaan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram, agar kalangan pendidik secara terus menerus mengingatkan pelajar tidak melakukan perkawinan dini.
Caranya, dengan lebih aktif berinteraksi dan menyampaikan bahaya kesehatan reproduksi dan dampak lainnya terhadap perkawinan anak usia sekolah.
"Diminta atau tidak, kepala sekolah dan guru selalu menyinggung masalah itu setiap ada kegiatan di sekolah, seperti dalam kegiatan peningkatan iman dan takwa (imtak) maupun apel," sebutnya.
Sudenom mengatakan, potensi terjadinya pernikahan anak usia sekolah di tingkat SD dan SMP/sederajat di Mataram sangat kecil, bahkan bisa dikatakan kasus pernikahan anak usia sekolah tingkat SD dan SMP belum pernah terjadi.
"Kalau untuk tingkat SMA/SMK kemungkinan potensinya tinggi, tapi untuk jenjang SMA/sederajat kini menjadi ranah pemerintah provinsi," ujarnya.
Kepala DP3A Kota Mataram Hj Dewi Mardiana Ariany sebelumnya mengatakan, dari hasil evaluasi yang dilakukan perkawinan anak terjadi karena beberapa faktor.
"Faktor tersebut antara lain karena kemiskinan, kekerasan dalam rumah sehingga menciptakan ketidaknyaman, serta budaya," katanya.
Kultur di Pulau Lombok, lanjutnya, saat ini masih adanya budaya kawin lari, dimana ketika hal itu terjadi pada anak usia sekolah, orang tua cenderung tidak mau mengambil anak mereka lagi dan itu dinilai masih tabu.
Oleh karena itu, dalam hal ini DP3A telah menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat agar bisa membuat awig-awig, mencegah terjadinya perkawinan anak dan berdasarkan undang-undang anak adalah usia 0-18 tahun.
"Peran orang tua untuk mencegah perkawinan anak juga sangat penting," katanya.(*)