Jakarta (ANTARA) - World Drug Report (WDR) 2023 yang dikeluarkan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) melaporkan bahwa per 2021, jumlah pengguna narkotika global mencapai 296 juta orang.
Angka tersebut naik sebesar 12 juta jiwa jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya serta mewakili 5,8 persen penduduk dunia yang berusia 15--64 tahun.
Dari jumlah pengguna narkotika global, tercatat lebih dari 39 juta orang di antaranya mengalami gangguan kesehatan akibat penggunaan narkotika.
Di Indonesia, hasil Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan Narkotika pada 2023 menunjukkan angka prevalensi sebesar 1,73 persen atau setara dengan 3,3 juta jiwa penduduk Indonesia yang berusia 15--64 tahun.
Data itu juga menunjukkan adanya peningkatan penyalahgunaan narkotika secara signifikan pada kalangan kelompok umur 15--24 tahun. Sebanyak 3,3 juta jiwa tersebut menjadi pasar tetap dari peredaran gelap narkotika. Pasar itu bisa berkembang jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Dalam peredaran narkotika, permasalahan yang dihadapi bukan masalah pasar maupun bisnis gelap narkoba, melainkan ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik manusia. Maka dari itu, permasalahan peredaran gelap narkotika merupakan ancaman kemanusiaan yang bisa merusak peradaban.
Terbaru, Badan Narkotika Nasional (BNN) RI bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI berhasil menggagalkan penyelundupan 214 bungkus ganja asal Thailand dengan berat neto 113,65 kilogram (kg) yang akan dikirimkan ke Liverpool, Inggris.
Dalam kasus tersebut, ganja dikirimkan oleh seorang warga negara Indonesia (WNI) berinisial BN dari Thailand kepada AS dan MM di Indonesia yang diselundupkan di dalam 214 bungkus paket, antara lain, berisi peralatan kemah, peralatan bayi, penyedot debu, hingga bed covers.
Kepala BNN RI Komjen Pol. Marthinus Hukom mengungkapkan penyelundupan ganja dengan menggunakan berbagai peralatan tersebut merupakan salah satu modus operandi baru. Begitu pula dengan adanya fenomena Indonesia sebagai negara transit pengiriman ganja dari Thailand ke Inggris.
Hal tersebut menjadi perhatian BNN RI lantaran sebuah fenomena yang aneh dan baru, mengapa ganja tersebut harus mampir terlebih dahulu ke Indonesia dari Thailand baru dikirimkan ke Inggris, mengingat Thailand merupakan salah satu negara yang melegalkan ganja.
WNI sebagai kurir narkoba
Aparat penegak hukum mengamankan dua orang pelaku penyelundup narkotika dari Thailand berinisial AS dan MM pada Konferensi Pers Pengungkapan Kasus Narkotika di Jakarta, Senin (5/8/2024). ANTARA/HO-BNN RI
Dalam kasus penyelundupan ganja asal Thailand, ketiga pelaku merupakan WNI. Salah seorang pelaku berinisial BN, yang kini masih menjadi buron dan berada di luar negeri, dipastikan bekerja sama dengan warga negara lain maupun bagian dari sindikat narkotika internasional.
Sementara itu, AS dan MM merupakan karyawan dan pemilik PT CAS yang melaksanakan pesanan untuk menerima pengiriman barang terlarang itu dari Thailand. Berdasarkan perkiraan BNN RI, 214 bungkus ganja tersebut bernilai total sekitar Rp25 miliar dengan perhitungan satu bungkus ganja memiliki harga kotor Rp120 juta.
Dengan besaran harga ganja yang fantastis, upah yang diterima oleh AS dan MM yang mau menerima pengiriman ganja itu rupanya tak main-main. Terungkap, keduanya dijanjikan akan diberikan satu unit mobil seharga di atas Rp300 juta apabila pesanan sukses terkirim ke Inggris.
Selain itu, AS dan MM juga sudah menerima telepon genggam sebagai upah dari penerimaan paket ganja itu. Namun untuk hadiah mobil, urung diberikan lantaran pesanan pengiriman ganja yang diminta sudah terlebih dahulu digagalkan oleh tim gabungan BNN dan Bea Cukai sebelum dikirimkan ke Inggris.
Fenomena WNI yang dibawa ke luar negeri untuk menjadi kurir atau perantara penyebaran narkoba saat ini sedang marak terjadi. Pasalnya, beberapa waktu lalu, terdapat pula penangkapan WNI yang menjadi perantara pengedaran gelap narkotika di Addis Ababa, Ethiopia; India; Tokyo, Jepang; hingga Brazil.
Melihat berbagai kasus yang ada, modus operandi narkotika peredaran gelap narkotika kini kian beragam sesuai dengan perkembangan teknologi, pemikiran manusia, dan cara penegak hukum mendeteksi peredaran gelap narkotika itu sendiri.
Semakin aparat penegak hukum berhasil mendeteksi suatu modus operandi, maka para pengedar juga akan melakukan perubahan modus operandi tersebut. Untuk itu, diperlukan upaya keras dalam mencegah berbagai modus operandi baru penyebaran narkotika, termasuk di dalamnya dengan berbagi informasi maupun pengalaman tentang berbagai temuan di lapangan antara para penegak hukum.
Sementara itu, modus menjadikan suatu negara sebagai tempat transit untuk dikirim ke negara tujuan tertentu bukan cara baru dalam peredaran gelap narkotika. Hal tersebut juga didukung dengan adanya sistem sel dari para pelaku yang terlibat.
Modus operandi tersebut biasanya merupakan salah satu cara dari kelompok kriminal terorganisasi yang akan menghambat atau menyulitkan upaya penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika yang memiliki karakter transnasional.
Oleh karena itu, pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Sigid Suseno menyarankan beberapa langkah untuk mencegah dan mendeteksi berbagai modus tersebut, yakni terlebih dahulu memahami secara mendalam berbagai modus peredaran gelap narkotika global atau transnasional dan kecenderungan peredarannya.
Selain itu, diperlukan pula optimalisasi teknologi informasi serta langkah pengetatan masuknya orang maupun barang dari dan keluar Indonesia.
Kolaborasi
Kolaborasi antarlembaga, baik nasional dan internasional, dalam pencegahan serta pemberantasan peredaran gelap narkotika juga sangat diperlukan, seperti antara Kepolisian, BNN, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Bea Cukai, dan lain-lain.
Begitu pula dengan kepolisian dan lembaga negara lain serta Organisasi Polisi Kriminalitas Internasional (Interpol). Kolaborasi diperlukan karena penyebaran narkotika bukan sekadar masalah penegakan hukum. Narkoba memiliki permasalahan spektrum yang sangat luas.
Berbagai modus operandi yang dikembangkan hingga berbagai potensi gejala masyarakat yang dimanfaatkan, baik kemiskinan, masalah sosial, serta masalah perbatasan, menjadi satu masalah yang menjadi akumulasi permasalahan yang harus bisa didekati secara lintas sektor.
Pentingnya kolaborasi sudah terlihat dalam kasus penyelundupan ganja dari Thailand ke Indonesia, di mana pengungkapan 214 bungkus ganja seberat 113,65 kg berawal dari informasi petugas Bea Cukai di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Petugas Bea Cukai yang mencurigai paket kiriman dari Thailand yang diduga berisi narkotika tersebut pun menginformasikan kepada BNN, yang ditindaklanjuti oleh tim gabungan BNN-Bea Cukai dengan penelusuran lebih lanjut.
Tak hanya dalam kasus penyelundupan ganja dari Thailand, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani menyebutkan setidaknya sudah terdapat 726 penindakan Bea Cukai terkait narkotika, psikotropika, dan prekursor (NPP) yang dilakukan berkolaborasi dengan BNN, Bareskrim Polri, serta TNI sejak awal tahun 2024 hingga saat ini.
Sebanyak 726 penindakan terkait NPP tersebut, antara lain, meliputi 346 penindakan melalui jalur udara, 276 penindakan ekspedisi, 46 penindakan jalur laut, dan 40 penindakan jalur darat.
Dari berbagai kasus itu, modus operandi NPP yang ditemukan, yakni ditemukan melalui barang penumpang, barang kiriman, hingga kegiatan ilegal lainnya. Sementara itu, negara asal wilayah masuknya barang ilegal tersebut dari beragam negara, seperti Malaysia, Vietnam, China, Thailand, hingga Belanda.
Baca juga: Polisi sita 1 kg sabu-sabu dari warga Karang Bagu Mataram
Baca juga: Mantan anggota Polri dan ASN terlibat kasus sabu di Lombok Tengah
Banyaknya penindakan yang dilakukan pada tahun ini oleh Bea Cukai beserta penegak hukum lainnya menunjukkan suatu kolaborasi untuk menghadapi ancaman narkotika, sekaligus menjadi pesan bagi para bandar, pengedar, maupun sindikat bahwa Indonesia tidak sangat serius memberantas narkoba.
Harapannya, kolaborasi tersebut bisa terus berjalan. Namun ke depannya kolaborasi bukan hanya berasal dari lintas aparat Pemerintah, melainkan kerja sama yang lebih luas, mulai dari aparat Pemerintah, masyarakat, hingga berbagai elemen pegiat antinarkoba.
Dengan bergandengan tangan mencegah narkoba masuk ke Indonesia, maka seluruh pihak bisa mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini digunakan para bandar maupun pengedar gelap narkotika untuk mengembangkan bisnis gelapnya.
Editor: Achmad Zaenal M
Angka tersebut naik sebesar 12 juta jiwa jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya serta mewakili 5,8 persen penduduk dunia yang berusia 15--64 tahun.
Dari jumlah pengguna narkotika global, tercatat lebih dari 39 juta orang di antaranya mengalami gangguan kesehatan akibat penggunaan narkotika.
Di Indonesia, hasil Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan Narkotika pada 2023 menunjukkan angka prevalensi sebesar 1,73 persen atau setara dengan 3,3 juta jiwa penduduk Indonesia yang berusia 15--64 tahun.
Data itu juga menunjukkan adanya peningkatan penyalahgunaan narkotika secara signifikan pada kalangan kelompok umur 15--24 tahun. Sebanyak 3,3 juta jiwa tersebut menjadi pasar tetap dari peredaran gelap narkotika. Pasar itu bisa berkembang jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Dalam peredaran narkotika, permasalahan yang dihadapi bukan masalah pasar maupun bisnis gelap narkoba, melainkan ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik manusia. Maka dari itu, permasalahan peredaran gelap narkotika merupakan ancaman kemanusiaan yang bisa merusak peradaban.
Terbaru, Badan Narkotika Nasional (BNN) RI bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI berhasil menggagalkan penyelundupan 214 bungkus ganja asal Thailand dengan berat neto 113,65 kilogram (kg) yang akan dikirimkan ke Liverpool, Inggris.
Dalam kasus tersebut, ganja dikirimkan oleh seorang warga negara Indonesia (WNI) berinisial BN dari Thailand kepada AS dan MM di Indonesia yang diselundupkan di dalam 214 bungkus paket, antara lain, berisi peralatan kemah, peralatan bayi, penyedot debu, hingga bed covers.
Kepala BNN RI Komjen Pol. Marthinus Hukom mengungkapkan penyelundupan ganja dengan menggunakan berbagai peralatan tersebut merupakan salah satu modus operandi baru. Begitu pula dengan adanya fenomena Indonesia sebagai negara transit pengiriman ganja dari Thailand ke Inggris.
Hal tersebut menjadi perhatian BNN RI lantaran sebuah fenomena yang aneh dan baru, mengapa ganja tersebut harus mampir terlebih dahulu ke Indonesia dari Thailand baru dikirimkan ke Inggris, mengingat Thailand merupakan salah satu negara yang melegalkan ganja.
WNI sebagai kurir narkoba
Dalam kasus penyelundupan ganja asal Thailand, ketiga pelaku merupakan WNI. Salah seorang pelaku berinisial BN, yang kini masih menjadi buron dan berada di luar negeri, dipastikan bekerja sama dengan warga negara lain maupun bagian dari sindikat narkotika internasional.
Sementara itu, AS dan MM merupakan karyawan dan pemilik PT CAS yang melaksanakan pesanan untuk menerima pengiriman barang terlarang itu dari Thailand. Berdasarkan perkiraan BNN RI, 214 bungkus ganja tersebut bernilai total sekitar Rp25 miliar dengan perhitungan satu bungkus ganja memiliki harga kotor Rp120 juta.
Dengan besaran harga ganja yang fantastis, upah yang diterima oleh AS dan MM yang mau menerima pengiriman ganja itu rupanya tak main-main. Terungkap, keduanya dijanjikan akan diberikan satu unit mobil seharga di atas Rp300 juta apabila pesanan sukses terkirim ke Inggris.
Selain itu, AS dan MM juga sudah menerima telepon genggam sebagai upah dari penerimaan paket ganja itu. Namun untuk hadiah mobil, urung diberikan lantaran pesanan pengiriman ganja yang diminta sudah terlebih dahulu digagalkan oleh tim gabungan BNN dan Bea Cukai sebelum dikirimkan ke Inggris.
Fenomena WNI yang dibawa ke luar negeri untuk menjadi kurir atau perantara penyebaran narkoba saat ini sedang marak terjadi. Pasalnya, beberapa waktu lalu, terdapat pula penangkapan WNI yang menjadi perantara pengedaran gelap narkotika di Addis Ababa, Ethiopia; India; Tokyo, Jepang; hingga Brazil.
Melihat berbagai kasus yang ada, modus operandi narkotika peredaran gelap narkotika kini kian beragam sesuai dengan perkembangan teknologi, pemikiran manusia, dan cara penegak hukum mendeteksi peredaran gelap narkotika itu sendiri.
Semakin aparat penegak hukum berhasil mendeteksi suatu modus operandi, maka para pengedar juga akan melakukan perubahan modus operandi tersebut. Untuk itu, diperlukan upaya keras dalam mencegah berbagai modus operandi baru penyebaran narkotika, termasuk di dalamnya dengan berbagi informasi maupun pengalaman tentang berbagai temuan di lapangan antara para penegak hukum.
Sementara itu, modus menjadikan suatu negara sebagai tempat transit untuk dikirim ke negara tujuan tertentu bukan cara baru dalam peredaran gelap narkotika. Hal tersebut juga didukung dengan adanya sistem sel dari para pelaku yang terlibat.
Modus operandi tersebut biasanya merupakan salah satu cara dari kelompok kriminal terorganisasi yang akan menghambat atau menyulitkan upaya penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika yang memiliki karakter transnasional.
Oleh karena itu, pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Sigid Suseno menyarankan beberapa langkah untuk mencegah dan mendeteksi berbagai modus tersebut, yakni terlebih dahulu memahami secara mendalam berbagai modus peredaran gelap narkotika global atau transnasional dan kecenderungan peredarannya.
Selain itu, diperlukan pula optimalisasi teknologi informasi serta langkah pengetatan masuknya orang maupun barang dari dan keluar Indonesia.
Kolaborasi
Kolaborasi antarlembaga, baik nasional dan internasional, dalam pencegahan serta pemberantasan peredaran gelap narkotika juga sangat diperlukan, seperti antara Kepolisian, BNN, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Bea Cukai, dan lain-lain.
Begitu pula dengan kepolisian dan lembaga negara lain serta Organisasi Polisi Kriminalitas Internasional (Interpol). Kolaborasi diperlukan karena penyebaran narkotika bukan sekadar masalah penegakan hukum. Narkoba memiliki permasalahan spektrum yang sangat luas.
Berbagai modus operandi yang dikembangkan hingga berbagai potensi gejala masyarakat yang dimanfaatkan, baik kemiskinan, masalah sosial, serta masalah perbatasan, menjadi satu masalah yang menjadi akumulasi permasalahan yang harus bisa didekati secara lintas sektor.
Pentingnya kolaborasi sudah terlihat dalam kasus penyelundupan ganja dari Thailand ke Indonesia, di mana pengungkapan 214 bungkus ganja seberat 113,65 kg berawal dari informasi petugas Bea Cukai di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Petugas Bea Cukai yang mencurigai paket kiriman dari Thailand yang diduga berisi narkotika tersebut pun menginformasikan kepada BNN, yang ditindaklanjuti oleh tim gabungan BNN-Bea Cukai dengan penelusuran lebih lanjut.
Tak hanya dalam kasus penyelundupan ganja dari Thailand, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani menyebutkan setidaknya sudah terdapat 726 penindakan Bea Cukai terkait narkotika, psikotropika, dan prekursor (NPP) yang dilakukan berkolaborasi dengan BNN, Bareskrim Polri, serta TNI sejak awal tahun 2024 hingga saat ini.
Sebanyak 726 penindakan terkait NPP tersebut, antara lain, meliputi 346 penindakan melalui jalur udara, 276 penindakan ekspedisi, 46 penindakan jalur laut, dan 40 penindakan jalur darat.
Dari berbagai kasus itu, modus operandi NPP yang ditemukan, yakni ditemukan melalui barang penumpang, barang kiriman, hingga kegiatan ilegal lainnya. Sementara itu, negara asal wilayah masuknya barang ilegal tersebut dari beragam negara, seperti Malaysia, Vietnam, China, Thailand, hingga Belanda.
Baca juga: Polisi sita 1 kg sabu-sabu dari warga Karang Bagu Mataram
Baca juga: Mantan anggota Polri dan ASN terlibat kasus sabu di Lombok Tengah
Banyaknya penindakan yang dilakukan pada tahun ini oleh Bea Cukai beserta penegak hukum lainnya menunjukkan suatu kolaborasi untuk menghadapi ancaman narkotika, sekaligus menjadi pesan bagi para bandar, pengedar, maupun sindikat bahwa Indonesia tidak sangat serius memberantas narkoba.
Harapannya, kolaborasi tersebut bisa terus berjalan. Namun ke depannya kolaborasi bukan hanya berasal dari lintas aparat Pemerintah, melainkan kerja sama yang lebih luas, mulai dari aparat Pemerintah, masyarakat, hingga berbagai elemen pegiat antinarkoba.
Dengan bergandengan tangan mencegah narkoba masuk ke Indonesia, maka seluruh pihak bisa mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini digunakan para bandar maupun pengedar gelap narkotika untuk mengembangkan bisnis gelapnya.
Editor: Achmad Zaenal M