Lombok Tengah (ANTARA) -  

Candramawa dalam kamus bahasa Indonesia berarti  hitam bertabur putih, kira kira dengan istilah tersebut, penulis ingin menggambar realitas para politisi yang tengah berupaya keras mendapatkan persetujuan B1. KWK Parpol sebagai syarat pengajuan bakal Pasangan Calon Kepala Daerah.

Sebagaimana diketahui bahwa masa pendaftaran Calon Kepala Daerah tahun 2024 ini akan mulai dilaksanakan pada 27 – 29 Agustus 2024 di masing masing kantor KPU Daerah. Oleh karena itu, tulisan ini akan menyajikan bagaimana realitas para tokoh berproses dalam mendapatkan persetujuan Dewan Pengurus Pusat Partai Politik (DPP Parpol).

Untuk keperluan ini penulis meminjam model teori sosiologi awal tentang bagaimana sebuah realitas masyarakat dibagi ke dalam tiga kelompok formula klaster, pertanyaannya apakah klaster tersebut terhubung atau tersekat garis pembatas (demarcation)? Untuk keperluan pendekatan analisa penulis akan mencoba untuk menganalisis dengan pendekatan keterhubungan relatif.

Auguste Comte sebagai peletak awal teori positivisme sosial, sebelumnya ia adalah ahli dalam disiplin ilmu matematika, maka kerangka berfikirnya pun lebih cenderung bersifat matematis. Jika kita meyakini ilmu matematika sebagai kelompok ilmu natural, maka menurut pendekatan teori positivime secara linier gejala sosial pun akan difahami dengan rumus ilmu natural dimana hasil simpulannya akan bersifat statis. Sebaliknya jika menempatkan matematika sebagai bagian dari cara pendekatan berpikir saja maka hasil simpulannya akan bersifat dinamis.

Comte mengembangkan teori perkembangan sosial bahwa masyarakat mengalami perkembangan dalam tiga tahap yaitu tahap teologis, tahap metafisika, dan tahap positivistik.

 

Formula Teologis

Formula teologis ini adalah menempatkan awal ide manusia dimana manusia menyandar cita cita, harapan dan keberhasilannya terhadap momentum sosial tak ubahnya sebagai akibat kekuatan adanya supernatural dan mitos. Demikian halnya dengan mereka yang mencoba hadir sebagai bakal calon Kepala Daerah, jika mereka menitik beratkan perilaku politiknya dengan pola pola yang kurang bisa dikalkusi dengan kerangka rasional, maka perilaku mereka ini dapat dianggap sebagai kelompok formula teologis.

Perilaku politik Calon Kepala Daerah yang masuk dalam klaster formula teologis memiliki ciri ciri yaitu; secara massif bergerak dalam ruang ruang perkumpulan informal seperti majelis kelompok religius, ritus kebudayaan, menebarkan kesan pesona shaleh melalui plat form media media konservatif seperti pemasangan baleho, spanduk dan poster. Dengan muara tujuannya adalah mencari perhatian  pemilik otoritas kepartaian.

Selain suka tebar pesona, ciri lain calon kepala daerah dalam klaster ini cenderung mengandalkan kharisma, keturunan feodal, tidak terlalu mementingkan latar pendidikan formal dan informal yang baik. Sumber kekayaannya sebagian besar bersumber dari warisan. Berperilaku instan dengan proyeksi jual beli konvensional. Sehingga pergerakannya dalam memperoleh persetujuan DPP Parpol hanya mengandalkan mahar politik atau jual beli kursi syarat mendaftar menjadi calon kepala Daerah, misalnya 1 kursi dihargakan 100 dinar.

Saluran komunikasi mereka dalam klaster formula teologis ini dengan pimpinan pusat partai politik biasanya melalui mafia khusus atau lebih tenar dikenal dengan istilah makelar ‘tenaga ahli’. Mereka dalam klaster ini tidak mampu membangun komunikasi secara langsung dan intens dengan pucuk pimpinan parpol. Sehingga potensi gagal mendaftar menjadi calon kepala daerah sangat besar. Kegagalannya bisa saja karena akibat luput dari atensi DPP Parpol atau karena akibat uangnya ditipu makelar (broker). Misalnyapun benar benar gagal mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah tipe kelompok ini biasanya tidak reaktif bahkan terkesan sangat legawa ‘nrimo’ bahkan dianggapnya sebagai takdir yang baik atau kebaikan yang tertunda.

Fenomena calon kepala daerah dalam kelompok formula teologis ini seringkali menjadi lahan basah para kelompok makelar pencari ‘recehan’. Mereka para  makelar ini dapat dijumpai di pusat kota yang biasa ‘ngurusi’ stempel dan tanda tangan pimpinan parpol. Bahkan dalam banyak perbincangan  kadang kadang (sometimes) mereka dikelompokkan sebagai  tukang kibul orang daerah.

 

Formula Metafisika

Formula Metafisika menempatkan ide manusia untuk meraih harapan dengan menempatkan pola antara faktor keberuntungan kondisional dengan faktor modal logistik yang tidak berimbang. Sehingga dalam formula metafisika ini, perilaku yang dihadirkan adalah dengan menggunakan jabatan dan atribut yang sedang melekat padanya. Jabatan dan atribut yang dimilikinya diramu sedemikian rupa, untuk mendapatkan kesempatan memperoleh rekomendasi DPP Parpol, dengan kata lain tipe calon kepala daerah seperti ini adalah para birokrat yang tidak banyak memiliki uang, dan biasanya hanya loyal pada kelompok minoritas tertentu saja.

Mereka yang masuk dalam klaster formula metafisika ini, kecenderungan yang sering terjadi adalah para birokrat yang mendapat kesempatan menjadi semacam pengemban tugas suatu Jabatan Politik, kadang kadang dengan mendapat segala fasilitas jabatan, semisal patwal lengkap rotatornya, dan fasilitas khusus lainnya, lalu mulai timbul ide untuk menyandarkan keinginannya untuk dapat meraih jabatan definif, bukan sekedar pelaksana an sich.

Demikian ‘ngebetnya’ kadang kadang tipe kelompoknya ini menjadi tidak lumrah, penulis tidak mengatakan irasional, dimana nyaris semua tindakannya dalam melaksanakan tugas jabatan dimotivasi pada upaya memperoleh persetujuan parpol menjadi Calon Kepala Daerah. Dalam aspek jabatan boleh dikatakan cukup leluasa dalam melakukan manuver politik disatu sisi, tetapi dalam catatan publik  rekam jejak dan kinerjanya dinilai tidak membawa happy satkernya disisi yang lain, tipe kelompok ini adalah tipe birokrat loyal pada kelompoknya saja atau sering diistilahkan birokrat yang tumbuh besar dalam asuhan asal bapak senang (ABS).

Prototipe pada kelompok formula metafisika ini, dalam pergerakan memperoleh persetujuan DPP Parpol biasanya tidak mampu membayar (bukan tidak mau) mahar politik. Ketidakmampuannya dalam membayar mahar politik karena mereka tidak termasuk dalam kelompok birokrat ‘nyambi’ pengusaha dengan kata lain harta bendanya diperoleh dari usaha kebirokrasiannya saja dengan segala catatan raport merahnya.

Mereka yang dalam klaster ini kalaupun berhasil mendapat rekomendasi DPP Parpol biasanya pasca pelelangan bursa kursi. Sehingga seringkali mereka yang dalam kelompok ini menjadi bullying politik.

 

Formula Positivistik

Formula positivistik dalam perkembangan sosial masyarakat, menurut perspektif sosiologi, manusia  pada tahap ini mengadopsi pendekatan   empiris untuk menjelaskan fenomena peristiwa sosial yang dialaminya. Semua raihan penobatan kesuksesan seseorang dalam konteks formula positivistik ini adalah akibat dari adanya kalkulasi logis dan emperis dari semua tindakan mereka.

Tipe Calon Kepala Daerah yang masuk dalam kelompok formula positivistik ini adalah mereka yang berangkat dari saluran kemampuan ide, pengalaman dan kepemilikan modal. Secara umum mereka yang termasuk dalam klaster ini memiliki tingkat kemapanan dalam sektor   logistik, memiliki jabatan strategis di perusahaan seperti komisaris, direktur atau direksi dengan jumlah saham yang cukup besar.

Dalam banyak penilaian, klaster ini biasanya paling mudah mendapatkan rekomendasi DPP Parpol. Cara kerjanya mereka yang termasuk klaster ini hadir dengan konsolidasi yang terjadwal, terukur dan massif, bahkan saking jumawanya, kegiatan kampanye lebih awal mereka lakukan dari jadwal dan tahapan Pilkada baik melalui media online maupun offline, untuk menghindari sanksi dugaan pelanggaran terhadap tata cara, prosedur  dan mekanisme kampanye, kadang mereka alibikan kegiatan kampanye tersebut sebagai bentuk kegiatan sosialisasi Bakal Pasangan Calon Kepala Daerah semata.

Pendekatan yang mereka digunakan biasanya dengan membangun perikatan bersama lembaga lembaga survei. Lembaga survei inilah yang kemudian mem-back up promosi popularitas dan elektabilitas mereka. Dengan demikian maka saluran komunikasinya dengan DPP Parpol lebih mudah dan cenderung tidak mementingkan perantara. Sehingga kadang kadang mengesankan tanpa mahar politik, akan tetapi publik nampaknya   masih meyakini, adagium politik tidak ada makan siang gratis, dan masyarakat seringkali menambatkan adagium ini terutama pada momentum Pilkada seperti saat ini.

Berbicara soal mahar politik sesungguhnya telah diatur secara detil pada Undang Undang Pilkada Nomor 8 tahun 2015 bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan, Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Demikian juga sebaliknya bahwa setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Jika terbukti melanggar ketentuan tersebut maka sanksinya adalah dibatalkan sebagai calon.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa fenomena perebutan rekomendasi DPP Parpol menjadi arena terbuka dengan segala kemampuan para kompetitor untuk memperolehnya, soal kemudian termasuk dalam klaster yang mana, apakah dalam klaster pertama atau  klaster ketiga tergantung situasi mereka yang bersangkutan. Ruang terbuka hendaknya dikompetisikan secara terbuka dengan proporsional, rasional dan tentu beradab demi mewujudkan demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan. Wallahu a’lam.

 

*) Penulis adalah Ketua KPU Lombok Tengah 2020-2024 dan aktivis LBH Amal Bhakti Insan.

 

 


Pewarta : Lalu Darmawan*)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024