Jakarta (ANTARA) - Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh mengatakan bahwa valuta asing (valas) yang dimilikinya antara lain merupakan hasil dari penjualan batu permata senilai 75 ribu dolar Singapura (SGD) yang ditemukan di sebuah perkebunan di Sydney, Australia.

Saat itu, dirinya masih bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Negeri Kanguru pada tahun 1993, sebelum menjadi hakim agung di Indonesia.

"Batu permata itu jenisnya pink diamond. Saya simpan sejak lama sampai di Jakarta dan barulah pada 2010 saya jual saat di Singapura," ucap Gazalba dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Setelah dijual, kata dia, uang dari hasil batu permata itu dipinjamkan kepada salah satu temannya, Irfan, yang merupakan seorang pengusaha di bidang tambang dengan bunga sebesar 20 persen sampai 35 persen sejak tahun 2010.

Ia mengaku sengaja meminjamkan uang dengan bunga yang cukup besar kepada Irfan lantaran berdasarkan cerita Irfan, keuntungan berbisnis di pertambangan sangat besar.

Gazalba menjelaskan sewaktu menemukan batu permata tersebut di Australia dan menyimpannya di Indonesia, ia tidak mengetahui bahwa batu permata itu berharga.

Namun beberapa waktu kemudian, dirinya mencoba membawa batu permata berjenis pink diamond itu ke sebuah toko emas di Jakarta dan ditawar senilai Rp10 juta.

"Saya bilang enggak ah, saya simpan saja sewaktu ditawar di Jakarta," ucap dia.

Kemudian saat dirinya pergi ke Singapura pada sekitar tahun 2010, ia mengaku kembali mencoba menawarkan batu permata tersebut kepada salah satu toko permata dan ditawar senilai 75 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp400 juta jika disetarakan dengan kurs saat itu.

"Saya kaget dan saya jual di situ. Kemudian uangnya saya bawa pulang ke Indonesia karena dibayar tunai," tutur Gazalba.

Gazalba tersandung kasus dugaan korupsi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Dalam kasus itu, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan total nilai Rp62,89 miliar.

Baca juga: Bersiap dengan aturan baru untuk pajak kripto
Baca juga: Kasus timah, Harvey Moeis didakwa rugikan negara Rp300 triliun

Dugaan penerimaan itu meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU yang terdiri atas 18 ribu dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar Amerika Serikat (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar dalam kurun waktu 2020–2022.

Gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba terkait dengan pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait dengan pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada tahun 2017.

Uang gratifikasi diduga diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyadh selaku penghubung antara Jawahirul Fuad dan Gazalba pada tahun 2022 setelah pengucapan putusan perkara.

Gazalba menerima uang sebesar Rp200 juta dan Riyadh menerima uang Rp450 juta, sehingga total gratifikasi yang diterima keduanya tercatat senilai Rp650 juta.

Selanjutnya uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU, antara lain, bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh dan teman dekat terdakwa, Fify Mulyani.

TPPU dilakukan dengan membelanjakan uang hasil gratifikasi dan penerimaan lain untuk pembelian mobil mewah, tanah atau bangunan, membayarkan pelunasan kredit pemilikan rumah (KPR), serta menukarkan mata uang asing senilai 139 ribu dolar Singapura dan 171 ribu dolar AS menjadi mata uang rupiah Rp3,96 miliar.

Atas perbuatannya, Gazalba terancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.


 

Pewarta : Agatha Olivia Victoria
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024