Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) menolak larangan iklan luar ruang 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Ketua Umum AMLI Fabianus Bernadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis menilai PP 28/2024 disahkan tanpa melibatkan berbagai pemangku kepentingan terdampak.
Akibatnya, kata dia, terdapat berbagai pasal yang mustahil untuk diimplementasikan di lapangan karena berpotensi menimbulkan pemahaman yang beragam, termasuk di Pasal 449.
Pasal 449 pada PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur larangan pemajangan iklan produk tembakau dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Di pasal tersebut, mispersepsi terhadap detil penentuan jarak yang dimaksud bisa terjadi serta pemerintah dinilai gagal untuk memahami teknis operasional sektor periklanan.
"Aturan radius inilah yang bermasalah dan akan mematikan bisnis kami. Jumlah tenaga kerja media luar-griya ini bisa semakin drop sampai ke pemecatan atau PHK langsung, angkanya bisa sampai 59 persen dari total pekerja," ujar Fabianus.
Ia menambahkan sebanyak 86 persen anggota AMLI akan terdampak langsung akibat aturan tersebut. Secara rinci dari angka tersebut, setidaknya 44 persen akan mengalami dampak negatif yang signifikan karena 50 persen penghasilannya berasal dari iklan produk tembakau.
Sedangkan, sebanyak 23 persen sisanya dipastikan terancam gulung tikar jika aturan itu diberlakukan karena sebanyak 75 persen penghasilannya berasal dari iklan produk tembakau. Mewakili pelaku usaha media luar-griya, Fabianus memohon agar peraturan itu direvisi dengan mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha yang terdampak.
"Harapannya, aspirasi kami didengar oleh pemerintah. Sebaiknya, aturan terkait reklame di luar-griya mengacu pada PP 109/2012 saja. Yang terbaru ini (Pasal 449) dihapuskan saja," kata dia.
Sementara itu, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sekaligus anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia Herry Margono mengatakan pengambilan kebijakan tersebut seakan tidak memahami situasi yang terjadi di lapangan.
Sebelum aturan ini disahkan, DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), namun tidak pernah direspons. DPI juga menyoroti bahwa mayoritas sektor periklanan di daerah terdampak langsung dari zonasi 500 meter pelarangan iklan produk tembakau tersebut dan nilainya besar sehingga dapat mempengaruhi usaha periklanan secara signifikan.
Sedangkan, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono menyampaikan dari sisi hukum, Apindo melihat PP 28/2024 cacat proses sejak awal karena tidak melibatkan pemangku kepentingan yang terdampak. Kemunculan peraturan itu telah menimbulkan gejolak yang luar biasa dari lintas sektor, termasuk penolakan secara tegas dari para pengusaha periklanan serta pedagang dan peritel.
"Berbagai penolakan ini menandakan bahwa belum adanya komunikasi yang terjalin antara pemerintah dan pelaku usaha. Setahu saya di Apindo, saya juga tidak pernah terlibat diskusi tersebut. Maka, bisa disimpulkan bahwa kebijakan ini memiliki banyak persoalan dan cacat dalam implementasi sehingga sulit untuk dilaksanakan di lapangan," tuturnya.
Baca juga: Masyarakat NTB diimbau tak tergiur iklan rokok nasional
Baca juga: Komnas Perempuan meminta pemerintah awasi iklan dan praktik medis P2GP
Selain itu, aturan tersebut dinilai dapat mengancam serapan tenaga kerja di berbagai sektor yang berkaitan dengan industri tembakau hingga mendorong maraknya peredaran rokok ilegal akibat pelarangan yang sepihak.
Untuk itu, Iwantono mengharapkan berbagai masukan dari pelaku usaha dapat dijadikan pertimbangan utama bagi pemerintah saat ini. Khusus untuk PP 28/2024, ia meminta untuk direvisi atau diundur karena tidak memungkinkan untuk dijalankan berdasarkan desakan dari berbagai sektor.
Ketua Umum AMLI Fabianus Bernadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis menilai PP 28/2024 disahkan tanpa melibatkan berbagai pemangku kepentingan terdampak.
Akibatnya, kata dia, terdapat berbagai pasal yang mustahil untuk diimplementasikan di lapangan karena berpotensi menimbulkan pemahaman yang beragam, termasuk di Pasal 449.
Pasal 449 pada PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur larangan pemajangan iklan produk tembakau dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Di pasal tersebut, mispersepsi terhadap detil penentuan jarak yang dimaksud bisa terjadi serta pemerintah dinilai gagal untuk memahami teknis operasional sektor periklanan.
"Aturan radius inilah yang bermasalah dan akan mematikan bisnis kami. Jumlah tenaga kerja media luar-griya ini bisa semakin drop sampai ke pemecatan atau PHK langsung, angkanya bisa sampai 59 persen dari total pekerja," ujar Fabianus.
Ia menambahkan sebanyak 86 persen anggota AMLI akan terdampak langsung akibat aturan tersebut. Secara rinci dari angka tersebut, setidaknya 44 persen akan mengalami dampak negatif yang signifikan karena 50 persen penghasilannya berasal dari iklan produk tembakau.
Sedangkan, sebanyak 23 persen sisanya dipastikan terancam gulung tikar jika aturan itu diberlakukan karena sebanyak 75 persen penghasilannya berasal dari iklan produk tembakau. Mewakili pelaku usaha media luar-griya, Fabianus memohon agar peraturan itu direvisi dengan mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha yang terdampak.
"Harapannya, aspirasi kami didengar oleh pemerintah. Sebaiknya, aturan terkait reklame di luar-griya mengacu pada PP 109/2012 saja. Yang terbaru ini (Pasal 449) dihapuskan saja," kata dia.
Sementara itu, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sekaligus anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia Herry Margono mengatakan pengambilan kebijakan tersebut seakan tidak memahami situasi yang terjadi di lapangan.
Sebelum aturan ini disahkan, DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), namun tidak pernah direspons. DPI juga menyoroti bahwa mayoritas sektor periklanan di daerah terdampak langsung dari zonasi 500 meter pelarangan iklan produk tembakau tersebut dan nilainya besar sehingga dapat mempengaruhi usaha periklanan secara signifikan.
Sedangkan, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono menyampaikan dari sisi hukum, Apindo melihat PP 28/2024 cacat proses sejak awal karena tidak melibatkan pemangku kepentingan yang terdampak. Kemunculan peraturan itu telah menimbulkan gejolak yang luar biasa dari lintas sektor, termasuk penolakan secara tegas dari para pengusaha periklanan serta pedagang dan peritel.
"Berbagai penolakan ini menandakan bahwa belum adanya komunikasi yang terjalin antara pemerintah dan pelaku usaha. Setahu saya di Apindo, saya juga tidak pernah terlibat diskusi tersebut. Maka, bisa disimpulkan bahwa kebijakan ini memiliki banyak persoalan dan cacat dalam implementasi sehingga sulit untuk dilaksanakan di lapangan," tuturnya.
Baca juga: Masyarakat NTB diimbau tak tergiur iklan rokok nasional
Baca juga: Komnas Perempuan meminta pemerintah awasi iklan dan praktik medis P2GP
Selain itu, aturan tersebut dinilai dapat mengancam serapan tenaga kerja di berbagai sektor yang berkaitan dengan industri tembakau hingga mendorong maraknya peredaran rokok ilegal akibat pelarangan yang sepihak.
Untuk itu, Iwantono mengharapkan berbagai masukan dari pelaku usaha dapat dijadikan pertimbangan utama bagi pemerintah saat ini. Khusus untuk PP 28/2024, ia meminta untuk direvisi atau diundur karena tidak memungkinkan untuk dijalankan berdasarkan desakan dari berbagai sektor.