Jakarta (ANTARA) - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Dr. Trubus Rahardiansyah mengatakan, wacana DPR yang akan mengevaluasi Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menjadi masalah sepanjang tidak mencabut fungsi pokoknya.
"Jangan membuat ultra petitum atau keputusan baru lagi. Karena seolah-olah MK ini membuat undang-undang sendiri. Jadi itu menurut saya yang perlu diubah, dan kalau itu saja tak apa," kata Trubus saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Trubus menekankan bahwa ketika ada wacana dari DPR yang akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya tidak menjadi persoalan.
Karena tugas MK sesuai dengan undang-undang lanjut Trubus, yaitu terdapat enam kewenangan di antaranya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, dan beberapa kewenangan lainnya.
Menurut dia, selama kewenangan tersebut masih dimiliki MK, tidak menjadi masalah, karena selama ini banyak yang berpandangan MK seakan-akan membuat aturan sendiri, padahal yang berwenang untuk membentuk undang-undang adalah DPR dan Pemerintah.
"Nanti kalau dicabut semua MK jadi mandul, kasihan masyarakat kita. Karena ketika DPR dikuasai oleh koalisi, maka semua undang-undang dan aturan dibuat semaunya tanpa memikirkan masyarakat. Oleh karena itu MK masih dibutuhkan untuk menguji undang-undang, bukan membuat undang-undang," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.
“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (29/8).
Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.
Baca juga: Apresiasi DPR percepat PKPU adopsi putusan MK
Baca juga: Rieke Pitaloka sebut PKPU akomodasi Putusan MK adalah perjuangan rakyat
"Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” katanya.
"Jangan membuat ultra petitum atau keputusan baru lagi. Karena seolah-olah MK ini membuat undang-undang sendiri. Jadi itu menurut saya yang perlu diubah, dan kalau itu saja tak apa," kata Trubus saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Trubus menekankan bahwa ketika ada wacana dari DPR yang akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya tidak menjadi persoalan.
Karena tugas MK sesuai dengan undang-undang lanjut Trubus, yaitu terdapat enam kewenangan di antaranya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, dan beberapa kewenangan lainnya.
Menurut dia, selama kewenangan tersebut masih dimiliki MK, tidak menjadi masalah, karena selama ini banyak yang berpandangan MK seakan-akan membuat aturan sendiri, padahal yang berwenang untuk membentuk undang-undang adalah DPR dan Pemerintah.
"Nanti kalau dicabut semua MK jadi mandul, kasihan masyarakat kita. Karena ketika DPR dikuasai oleh koalisi, maka semua undang-undang dan aturan dibuat semaunya tanpa memikirkan masyarakat. Oleh karena itu MK masih dibutuhkan untuk menguji undang-undang, bukan membuat undang-undang," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.
“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (29/8).
Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.
Baca juga: Apresiasi DPR percepat PKPU adopsi putusan MK
Baca juga: Rieke Pitaloka sebut PKPU akomodasi Putusan MK adalah perjuangan rakyat
"Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” katanya.