Jakarta (ANTARA) - Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai bahwa calon tunggal pada Pilkada 2024 bukan agenda lokal, tetapi ekses dari agenda elite nasional.

“Kemudian ada penetrasi melalui rekomendasi dewan pengurus pusat (DPP) partai politik yang hanya menghasilkan calon tunggal,” kata Titi dalam webinar yang disaksikan dari Jakarta, Minggu.

Sehingga, dia mengatakan bahwa calon tunggal di pilkada bukan hanya soal permasalahan daerah atau demokrasi lokal di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tetapi telah menjadi sesuatu yang diciptakan oleh propaganda politik nasional.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa fenomena calon tunggal saat ini memiliki pola dengan memborong dukungan mayoritas partai politik, mulai dari 12 hingga 18 dukungan.

Baca juga: Pragmatisme dan kurangnya kaderisasi sebabkan calon tunggal di Pilkada 2024

Walaupun demikian, ia mengatakan bahwa fenomena tersebut sempat terselamatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah .

“Tangerang Selatan hampir calon tunggal, 16 partai versus satu partai. Selamat karena putusan MK,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia merekomendasikan adanya evaluasi atas sentralisasi pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Selain itu, ia menyarankan agar otonomi pencalonan diberikan kepada pengurus partai di daerah, bukan seperti saat ini yang terpusat di DPP.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum mencatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal pada Pilkada 2024 berdasarkan data per Rabu (4/9) pukul 23.59 WIB. Adapun 41 daerah itu terdiri atas satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota.

Baca juga: Pilkada diulang tahun berikutnya jika calon tunggal kalah
Baca juga: Berikut daftar daerah dengan satu pasangan calon pada Pilkada Serentak 2024
 

Pewarta : Rio Feisal
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024